Buy now

25 C
Semarang
Kamis, Desember 5, 2024
spot_img

Gebyuran Bustaman, Tradisi Basah-Basahan Sambut Bulan Ramadan

Gebyuran Bustaman, tradisi basah-basahan sambut bulan Ramadan pada Minggu (3/3)
Gebyuran Bustaman, tradisi basah-basahan sambut bulan Ramadan pada Minggu (3/3)

SEMARANG,LPMMISSI.COM-Menyambut bulan suci Ramadan, Kampung Bustaman, Semarang memiliki tradisi budaya unik. Tradisi ini dinamakan Gebyuran Bustaman. Dimulai dari hari Kamis (29/02), Jumat (1/3), dan puncaknya pada Minggu (3/3) di Jl. MT. Haryono, Purwodinatan, Kota Semarang.

Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, gebyuran artinya adalah berbasah-basahan (dengan sengaja), dan pembaca tentu sudah tahu bagaimana akhir ceritanya, basah kuyup.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di lokasi, wajah saya dan teman saya langsung disambut dengan corat-coret menggunakan kuas oleh tetua kampung tersebut. Bahan cat tersebut menggunakan pewarna alami sehingga aman bagi kulit.

Baca Juga: 100 Tahun Tanpa Khilafah Islam

Di sekitar lokasi berjejeran stand penjual pakaian dan makanan ringan. Tradisi ini diikuti oleh warga lokal dan terbuka bagi wisatawan. Kegiatan ini dimeriahkan dengan live music oleh Udin Lar (pemilik Angkringan West) dan terdapat pula seni tari.

Memasuki gang Kampung Bustaman, pengunjung akan mendapati beberapa mural yang mengambarkan keunikan dan sejarah tradisi Gebyuran Bustaman.

Baca Juga: Berdakwah Tanpa Meninggalkan Budaya

Dalam sejarahnya, Gebyuran Bustaman merupakan tradisi tahunan warga Kampung Bustaman yang dulunya diinisiasi oleh Kyai Bustam. Dahulu Kyai Bustam mempunyai kebiasaan memandikan cucunya agar bersih lahir-batin untuk menyongsong bulan Ramadan.

Seiring berjalannya waktu, tradisi ini diikuti oleh warga Bustaman dan tak sekedar menyiram air saja, melainkan berkembang menjadi perang air dan melibatkan masyarakat umum.

Baca Juga: Meluruskan Paham Sistem Matrilineal di Minangkabau

Udin Lar atau Fahrudin Raharso nama aslinya, mengaku sangat senang ketika diundang mengisi lagu di kegiatan Gebyuran Bustaman ini. Ia sudah beberapa kali diundang dan ikut serta berbasah-basahan dalam kegiatan ini.

Ia juga berpesan agar masyarakat tetap melestarikan budaya Indonesia, supaya nantinya tidak luntur dengan perkembangan zaman. “Jowo ojo ilang Jowone, Indonesia ojo ilang Indonesiane “(orang Jawa jangan hilang budaya Jawanya, orang Indonesia jangan hilang budaya Indonesianya).”

Pukul 15.25 WIB setelah penampilan live music dan seni tari, sampailah di puncak acara Gebyuran Bustaman. Sebelum perang air, warga Bustaman mengarak anak-anak yang nantinya akan dimandikan di depan Musholla Al-Barokah.

Alunan tabuan dan petasan meramaikan prosesi pengarakan diikuti oleh semua pengunjung yang hadir di belakangnya. Sebelumnya warga sekitar memberikan kantong plastik guna mengamankan barang elektronik, seperti ponsel dan kamera agar tidak kemasukan air.

Di sepanjang jalan menuju musholla, terdapat banyak ember yang berisikan kantong plastik yang sudah disiapkan oleh warga sekitar. Kantong plastik tadi diisi dengan air warna sehingga menyerupai bola-bola air. Tahukan akan diapakan nantinya semua kantong-kantong plastik tersebut? terlihat dari eskpresi warga sekitar yang cengar-cengir sedari tadi.

Baca Juga: Kemunduran Adab Kartini Zaman Now

Sesampainya di Musholla anak-anak tadi didudukkan di kursi sesambil di corat-coret wajanya mengunakan cat warna. Terdapat sambutan dari Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) dan beberapa tokoh masyarakat lainnya, setelah itu diakhiri dengan do’a bersama. Kepala Disbudpar mengawali memandikan anak-anak tersebut mengunakan kendi air secara bergantian.

Barulah setelah itu perang air dimulai, tidak ada yang selamat dari lemparan-lemparan bola air dari warga lokal dan pengunjung. Termasuk ponsel saya yang mati kemasukan air. Bola-bola air tersebut datang dari segala arah, kanan-kiri, depan-belakang, bahkan dari lantai atas rumah seakan tiada habisnya.

Remaja, anak-anak, orang tua, hingga mereka yang bersembunyi di rumah tak ada yang lepas dari lemparan bola air. Semua bahagia.

Setelah berbasah ria, kami menemui Kepala Disbudpar Kota Semarang, R. Wing Wiyarso. Beliau menyebut adanya Gebyuran Bustaman ini merupakan upaya melestarikan sejarah dan mengangkat tradisi menjelang bulan Ramadan. Ia juga mengatakan bahwa adanya corat-coret di wajah mengambarkan dosa-dosa masa lalu, yang nantinya disiram sehingga menjadi suci.

Wiyarso juga menyebut tradisi ini sebagai salah satu tahapan pelestarian dan pengembangan pariwisata. “Kita berharap tradisi Bustaman bisa memperkuat sektor pariwisata, khususnya Pemkot Semarang dalam menerapkan UU Kemajuan Kebudayaan.”

Reporter: Abdul Fatah dan Haqqi Idral

Editor: M. Zaky Ramadhan

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini