Buy now

33 C
Semarang
Kamis, November 14, 2024
spot_img

Pertarungan Argasoka Milikku

argasoka

Tak trak tak tak tak…

Bumi gonjang ganjing, langit kelap kelip

Rahwana ingkang kawujud dados brahmana nyedeki Dewi Shinta, Dewi Shinta kang due welas asih maringi sedekah dateng brahmana wau. Nalika maringi sedekah asthonipun Dewi Shinta ditarik metu bunderan, banjur dibekto mabur Rahwana.

“benar saja Rahwana jadi lambang dari angkara murka, wong dia nyulik istri orang begitu,” ucapnya sinis saat melihat adegan Rahwana yang menculik Shinta.

Aku hanya terkekeh melihat matanya yang kesal namun tetap menikmati pertarungan Rahwana dan Jatayu dihadapannya. Selama pementasan sesekali ia berapi-api, sesekali juga ia tertawa melihat kelakuan Anoman, sesekali juga ia terharu melihat melodrama dari Shinta dan Rama.

“siapa yang bisa jadi Rama dalam hidupku ya, Ren?” tanyanya begitu keluar dari gedung teater, matamu menatap entah ke arah mana.

Aku terdiam, tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaanmu yang satu itu. Jadi yang bisa aku lakukan hanya ikut menatap ke arah mana saja sampai mataku menangkap bulan purnama yang terlihat memerah malam itu.

“bulan malam ini cantik ya Ta” kemudian ku tatap pantulan bulan purnama malam itu di matanya, candu. Rasanya malam itu ingin ku bekukan dan ku nikmati selamanya.

***

Di taman yang tidak seindah Argasoka kutemukan sosoknya yang sedang menikmati semilir angin dari kipas mini bergambar hello kitty miliknya, panas sekali memang hari ini. Ku tatap ia dengan lamat sampai ia sadar aku sedang memperhatikannya.

“hey, Ren kenapa menatapku begitu? terpesona kecantikanku ya” ledeknya sambil memukul lenganku.

“iya… eh tidak, apaan sih Ta!” aku terbata-bata menjawab ledekannya yang sebenarnya adalah fakta. Aku terpesona bukan hanya cantiknya tapi segala tentangnya.

“haha, tenang Aren tenang… jangan grogi gitu dong” ia semakin senang menggodaku.

“aku selalu tidak bisa tenang kalau ada kamu!” ucapku dengan nada ketus mencoba menutupi degupku yang makin tidak karuan.

“oh begitu, ya sudah aku pergi saja,” ia beranjak dari tempatnya.  Arrgggh… kenapa ia menganggap bicaraku serius, padahal sedari tadi ia yang sedang meledekku. Sulit sekali memahaminya.

“eh, bukan begitu… Sinta,” tidak kuizinkan ia pergi dari tempatnya.

“haha, serius banget toh kamu!” ia tertawa puas melihat raut wajahku yang mungkin terlihat memelas karena takut ia pergi.

Benar kata orang memahami perempuan memang pekerjaan yang tidak mudah, jika ada buku yang dapat kubaca untuk melakukannya mungkin butuh waktu yang panjang agar rampung. Tapi memahaminya juga menyenangkan, misterinya menyiksa tapi sungguh candu.

“kenapa mereka begitu sempurna ya Ren?” pertanyaannya berhasil membuat aku kebingungan, ku putar pandanganku ke sekeliling dan tidak kutemui apa yang ia maksud. Lalu aku diam sejenak, berpikir apa yang membuat ia menanyakan itu. Rupanya layar ponsel di genggamannya menampilkan foto yang terlihat sempurna.

“sempurna?” aku kebingungan sempurna mana yang ia maksud, apa gadis putih nan tinggi di postingan itu atau senyum bahagia yang terpancar dari wajahnya atau mungkin keberadaan pasangan di sebelahnya. Ingin ku jawab ia juga sempurna tapi ku ingat lagi bahwa tidak ada makhluk yang ada pada level itu. Yang Maha Sempurna adalah Sang Kholiq, pencipta setiap mahluk di semesta. Lalu ingin ku jawab sempurnanya mereka hanyalah fana sebab tidak ada manusia yang benar-benar sempurna. Tapi, justru aku terbata-bata sebab aku melihatnya sebagai makhluk sempurna ciptaan Sang Kholik. Aku bingung.

***

Dengan semburat kemerahan di langit sore, aku seperti sedang melihat Alengka yang dibakar Anoman saat menemui Dewi Shinta. Sepiring ubi goreng dan secangkir teh menjadi perpaduan paling sempurna saat ini, aku buka halaman-halaman surat cinta Rahwana dalam buku karya Sudjiwo Tejo. Romantis benar raksasa satu ini, pikirku. Perlahan semburat kemerahan mulai menghitam, aku bertanya-tanya apakah alengka sudah padam dan pertempuran akan segera dimulai. Seperti kata Mbah Djiwo, gelembung-gelembung Rahwana sepertinya melingkupi diriku karena entah bagaimana kali ini aku ingin Rahwana yang memenangkan pertempuran.

Ren, aku mau cerita.

Kalimat tanpa keterangan itu mendarat sempurna di laman chat-ku dengan Sinta. Ada apa lagi kali ini. Dan tidak bisa ku tebak, lima menit setelah pesan itu mendarat aku melihat sosoknya di depan gerbang rumahku. Aku menerka sepenting apa kisahnya kali ini sampai ia begitu semangat menemuiku.

“Aren, how are you?” sapaannya terlihat begitu ceria.

“good” jawabku sambil membukakan gerbang.

“haha, I miss you soooo much” ia begitu bahagia seperti menang lotre lima miliar.

“ada apa sampe kamu senyum-senyum begitu” aku benar-benar keheranan dengan tingkahnya.

“sek tho.. ambekan sek” desisnya.

“ya, tak buatkan teh ya” tanpa menunggu persetujuannya aku melenggang ke dapur, membuatkan secangkir teh untuknya.

Raut wajahnya begitu berseri, jangan-jangan benar ia menang lotre lima miliar. Atau akhirnya Bu Martinah acc judul skripsinya. Sulit sekali menebak senyumnya kali ini.

“makasih Ren” ucapnya saat ku sajikan secangkir teh hangat dihadapannya.

“ya, ada apa sampe jauh-jauh kesini?” aku benar-benar penasaran, karena ini kejadian luar biasa. Biasanya ia memilih menelponku berjam-jam untuk menceritakan hari-harinya, tapi kali ini ia datang dengan senyuman layaknya Dewi Shinta yang mendapatkan Rama.

“aku enggak jomlo lagi Ren” Ia benar-benar tersenyum cerah saat mengatakannya. Ternyata tidak ada satupun tebakanku yang benar.

“hah? Siapa yang mau sama kamu, Ta? Haha” aku menertawakan pernyataannya.

“hih, Bayu Pradipta loh.. Ba-yu Pra-dip-ta” ia mengejanya dengan penuh penekanan.

“hah? Si populer dari fakultas mu itu? Mana bisa?” aku menolak kenyataan yang ia suguhkan.

“akhir-akhir ini kita sering ketemu, terus deket deket eh jadian” gelagatnya benar-benar bahagia.

“oh, gitu” aku tidak tau harus bagaimana menanggapi ceritanya. Inikah pertempuran selepas semburat merah menghitam.

***

Tak trak tak tak tak…

Perang antara Rama lan Rahwana akhire kadaden. Kumbakarna seda dipanah dateng Rama nalika ngrewangi Rahwana, Indrajit tumut seda pisan amergi ngrewangi Rahwana. Akhire kadadean perang sengit antara Rahwana lan Rama. Rahwana dipanah dening Rama banjur niku dijepit gunung. Sakrampunge ngalahke Rahwana, Rama ketemu maleh kalihan Dewi Shinta.

Matanya benar-benar tidak teralihkan dari pertunjukan dihadapannya. Ia bertepuk tangan pelan saat Rama favoritnya berhasil mengalahkan Rahwana dan menemui Dewi Shinta. Ia tersenyum ceria saat Shinta dan Rama menari seirama dengan alunan gendhing. Tapi sorotnya kecewa ketika Rama meminta Shinta berjalan di atas bara. Tapi sekali lagi tokoh favoritnya masih Rama.

Dua kali mengajaknya menonton pertunjukkan Ramayana, benar-benar ku lihat binar matanya saat melihat Rama memanah. Tak jarang ia berkomentar kenapa Rahwana harus ada diantara keduanya. Untuk kedua kalinya ia berapi-api melihat pertempuran Rama dan Rahwana, ia pikir Rama benar-benar kesatria penuh cinta pada Shinta. Aku tertawa memikirkannya.

“woah, untuk kedua kalinya pertunjukkan tadi masih tetap menyenangkan” ucapnya begitu pertunjukkan selesai.

“sesekali ajak cinta sejatimu kesini Ta, Rama mu!” usulku padanya.

“haha, Bayu engga bakalan suka pertunjukkan kaya gini deh Ren” jawabnya.

Aku mematung, aku lupa bahwa Rama-nya sudah ia temukan.

“siapa tokoh favoritmu Ren?” pertanyaannya memecah keheninganku.

“kamu” jawabku singkat.

“hah, aku memangnya siapa Ren?” ia terlihat lucu saat kebingungan.

“haha, maksudnya Dewi Shinta, Ta. Dia perlambang kesucian dan kesetiaan, baginya Rama satu-satunya meski dengan keragu-raguannya” jelasku.

“kenapa harus ada Rahwana di antara keduanya Ren! Itu kan yang membuat Rama jadi ragu” pertanyaanmu benar-benar menohok isi kepalaku.

“seharusnya Rama tidak pernah ragu” celaku.

Asal ia tahu aku juga Rahwana. Pertunjukkan ini adalah Taman Argasoka-ku, aku juga menculik Sinta untuk beberapa waktu. Agar bisa ku pandangi binar matanya yang cerah, sambil sesekali ingin kubacakan puisi-puisiku padanya. Tapi urung niatku, sebab aku tidak segagah Rahwana raja Alengka. Aku hanya pendengar dan pengagum Sinta.

“hey.. kok ngelamun! Bukannya manusiawi kalau Rama ragu ya?” Ia masih tetap membela Ramawijaya.

“hah, manusiawi sekali Ta, tapi bukankah dia titisan dewata ya… dan mereka perlambang cinta sejati, tapi cinta Rama masih dengan tapi” jelasku dengan lembut. Sebab aku masih tidak tega membuat Rama yang begitu protagonis di benaknya menjadi seolah antagonis begitu saja. Aku biarkan angan-angannya berterbangan selepas pertunjukkan malam itu. Biarkan ia menemukan sendiri bagaimana kisah cinta yang tersirat pada Ramayana.

***

Ku telusuri gedung-gedung kampus, mataku memutar ke segala arah mencoba mencari sosoknya. Ia sedang duduk di gazebo fakultas yang mengingatkanku pada gubug Dewi Shinta dan Rama di hutan Dhandaka. Matanya benar-benar fokus membaca halaman-halaman di hadapannya sampai ia tidak menyadari aku berhasil menembus lingkarannya. Ku sodorkan selembar kertas bernuansa putih, sebuah tiket pertunjukkan teater kampus atau lebih tepatnya Argasoka milikku.

“Rahwana putih?” ia membolak-balik tiket yang kuberikan.

“iya, ini bukan di gedung biasanya ini teater kampus Ta, mau datang ya?” pintaku padanya, mungkin aku sudah terlihat begitu memohon di matanya.

“aku izin Bayu dulu ya” ucapnya.

“tidak perlu Ta, ikut saja lah pertunjukannya malam ini. Kamu seperti tidak pernah pergi denganku saja. ayolah!” paksaku.

“haduh, iya deh iya aku ikut, tapi aku harus bicara dulu kan dengan Bayu?” ia membuka layar ponselnya dan mengetikkan beberapa kalimat yang cukup panjang.

“kamu makin rumit ya Ta, hehehe” komentarku melihat tingkahnya.

“Bayu melarang Ren” kalimatnya membuatku membeku. Ia yang selalu semangat saat ku ajak menonton pertunjukkan berubah lemah karena larangan kekasihnya.

“Ayo lah Ta, please!” kali ini aku benar-benar memasang raut wajah memohon padanya.

“tapi…” ia ragu-ragu.

“ayo lah, kalau kamu enggak mau, tetep aku paksa haha… aku culik” paksaku padanya.

“kamu ini Ren, nanti jadi masalah pasti” matanya kebingungan.

Malam ini tokoh Rahwana terlihat bersinar dibanding tokoh lainnya. Tapi sorot mata Sinta terlihat tidak tenang, apa karena Taman Argasoka ku berubah malam ini atau karena ku paksa ia tanpa izin Rama-nya.

Tak trak tak tak tak…

Ing satengahe semerbak arume taman Argasoka, Rahwana nyedhaki Dewi Shinta kang kebak rasa kuwatir amarga mireng kabar perang kang kathah korbane. Rahwana maos geguritan kalih pamit marang Dewi Sintha. Rahwana ingkang gedhe duwur lan matane kang kaya srengenge berubah alus nalika maos geguritan kangge Dewi Shinta.

Raut wajahnya berubah saat Rahwana membacakan puisi untuk Dewi Shinta, ia benar-benar kebingungan melihat sisi lembut sang Raksasa. Matanya benar-benar penuh tanya, sepertinya hati dan pikiranya sedang bergejolak melihat Rahwana yang begitu ia tidak suka menjadi sosok yang begitu memuja Shinta tanpa tapi.

“ternyata Rahwana enggak sejahat itu ya Ren?” matanya mencari-cari jawaban di mataku. Kami bertatapan sekian detik, sekali lagi ingin kubekukan waktu.

“urip iku sawang sinawang Ta, kita hanya melihat apa yang bisa kita lihat tapi belum tentu itu seluruhnya” jawabku masih sambil mencuri pandang di matanya.

“seperti kata Shinta di ujung pentas tadi ya Ren? Kita tidak boleh melihat segala sesuatu hanya sepenggal-sepenggal” katanya.

“betul Ta, jika kita melihat Rahwana hanya dari kisah penculikan Shinta maka ia adalah orang paling tidak bermoral, tapi jika kita melihat kenapa dewa tidak mengizinkannya mati untuk menjadi sisi hitam dunia maka ia adalah penyeimbang alam semesta. Dan di mata cinta, hati Rahwana itu agung, ia mencintai satu wanita tanpa henti hingga reinkarnasi-reinkarnasi yang berujung pada Shinta” jelasku.

“tapi kenapa ya selama ini Rahwana terlihat begitu jahat” matanya menerawang ke bulan sabit yang menggantung di atas sana.

“sebab Rahwana adalah sisi hitam, sisi angkara murka, sisi negatif. Ia ada untuk menunjukan sisi putih, sisi kebajikan, pun sisi positif. Kalau di dunia ini tidak ada sisi hitam mana bisa kita melihat dan memahami sisi putih. Tapi ternyata kita bisa mendapat pelajaran juga dari sisi hitam itu kan Ta. Dan untuk pertanyaan kenapa dia terlihat begitu jahat, ya karena cerita yang sering kita dengar dan baca hanya datang dari sudut pandang Ramawijaya” jelasku sambil memandangi bulan sabit di matanya.

“ceritakan lebih banyak tentang Rahwana padaku Ren” pintanya. Mungkikah tokoh favoritnya berubah.

Aku tersenyum ketir sebab aku tidak bisa memenuhi permintaanya itu, ini adalah pertunjukkan terakhir ku bersamanya. Sebab setelah ini aku akan terbang ke negeri gingseng untuk mencari legenda-legenda lain. Aku bukan Rahwana raja Alengka yang penuh keberanian menanggung dosa karena menculik Dewi Sintha. Aku pengecut, aku hanya perlu mundur satu langkah, karena aku bukan tokoh utama dalam kisahnya kali ini.

“aku pamit Sinta Asmaranala Baswar, aku kalah” Bisikku.

oleh: Nur Laela Khoerunnisa

 

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini