Buy now

27 C
Semarang
Senin, November 25, 2024
spot_img

Pemilwa Ialah Tamparan Perpolitikan

DEBAT PEMILWA 2022 FOTO 2
Doc. lpmmissi.com

Gejolak pesta Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) 2022 UIN Walisongo telah bergejolak. Poster-poster kampanye terpampang di media sosial maupun di lingkungan kampus. Visi, misi dan program-program yang dijanjikan pun beradu.

Namun, lagi-lagi kita menghadapi masalah yang berulang, calon tunggal. Walau pun tidak semua posisi calon tunggal, apakah kita perlu khawatir? Bisa jadi, tak ada pilihan lain seakan menjadi jalan mulus kandidat tanpa pesaing. Tidak ada pembanding, tidak ada lawan, dan boleh jadi tak ada kubu oposisi.

Ini pun bisa saja berdampak pada pemilih. Pemilih mungkin saja lebih banyak memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya dengan anggapan “Sudah pasti dia yang menang.” Tidak salah, walau masih ada kemungkinan kotak kosong yang menang. Bisa saja pemilih memenangkan kotak kosong bila calon pemimpin dinilai tak layak atau alasan lainnya yang masuk akal.

Persoalan kepedulian untuk menggunakan hak suara tampaknya perlu menjadi perhatian Komisi Pemilihan Mahasiswa (KPM) dan partai-partai peserta Pemilwa. Rendahnya keinginan menggunakan hak pilih seharusnya menjadi tamparan. Hal ini karena pemilih bisa saja sudah kecewa dari masa sebelumnya atau tak ada warna-warna lain yang dihadirkan.

Bisa jadi pula minat terhadap keikutsertaan pesta seperti ini tidak diketahui oleh mahasiswa UIN Walisongo. Beberapa sebab yang memungkinkan hal ini terjadi, seperti memang tidak ingin tahu, sosialisasi yang kurang, atau tidak peduli. Padahal Pemilwa inilah yang menjadi penghubung antara mahasiswa dan birokrasi mulai dari jurusan, fakultas, hingga kampus.

Pemilih pun seharusnya peka dan kritis terhadap proses terpilihnya seorang pemimpin. Bukan hanya melihat visi, misi, program, dan riwayat, tetapi bagaimana proses Pemilwa. Apa lagi bila bisa mencium aroma ketidakberesan. Bisa jadi pemilih lebih “galak” dari Badan Pengawas Pemilwa (Bawaswa).

Pemilwa di UIN Walisongo bisa saja dianggap hanya permainan golongan itu-itu saja. Ini bisa saja yang menjadi sebab calon posisi pemimpin mahasiswa berasal dari kalangan itu-itu saja dan rendahnya minat memilih. Padahal siapa saja bisa mendirikan partai mahasiswa dan mendaftarkan ke Bagian Dalam Negeri Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) tingkat universitas. Ini artinya juga membuka peluang siapa pun mencalonkan diri menjadi pemimpin.

Bila kita sebagai mahasiswa selalu bertanya-tanya tentang progres mereka yang telah terpilih atau bahkan menganggap mereka tidak memiliki progres, itu sah-sah saja. Namun kita perlu menyadari bahwa sebagai pemilih, kita memiliki peran cukup besar dalam menentukan perubahan.

Jika ingin lebih, bisa saja dengan mencemplungkan diri ke pusaran Pemilwa. Dosen Ilmu Politik, Nur Syamsuddin, dalam pemberitaan lpmmissi.com, menyerukan mahasiswa lebih baik masuk ke dalam partai politik dengan tujuan memperbaiki sistim perpolitikan Indonesia. Ini bisa juga dilakukan untuk memperbaiki perpolitikan mahasiswa di kampus.

Boleh jadi jika muncul partai baru atau kandidat dari partai yang memiliki massa yang kecil dapat memberikan warna baru. Apabila masuk ke partai yang sudah tentu besar tentu independensi dan misi memperbaiki perpolitikan mahasiswa di kampus akan menjadi tantangan.

Siapa Oposisi?
Banyaknya calon tunggal bisa jadi karena fungsi Senat Mahasiswa (Sema) sebagai pengawas Dema tidak berjalan. Inilah ujian bagi penakluk kotak kosong. Mungkin saja pemenang ketika mengemban amanahnya semena-mena. Sehingga perlu kesadaran dan rasa was-was terhadap langkah-langkah yang diambil ketika menjabat.

Ketika masa kampanye, kita sah-sah saja mengekspresikan dukungan kepada kandidat mana pun. Tetapi bila masa pemilihan alangkah lebih baiknya kita kesampingkan kita pendukung siapa. Memposisikan diri sebagai mahasiswa yang tak mendukung siapa pun ketika hari pemilihan bisa saja menjernihkan pikiran dan hati dalam memilih. Ketika hari inilah prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber) berjalan sebagaimana mestinya. Artinya seharusnya tak ada paksaan atau tekanan ketika memilih.

Sementara, mahasiswa pun perlu mendukung dan kritis terhadap pemimpinnya. Bila bagus programnya mari didukung. Bila mulai mengarah ke hal yang salah mari kita ingatkan. Selepas Pemilwa dan para pemimpin mahasiswa dilantik, kita kesampingkan sebagai pendukung kubu mana. Kita kembalikan posisi yang sama sebagai mahasiswa.

Oleh: Muhammad Irfan Habibi

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[td_block_social_counter twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333" instagram="https://www.instagram.com/lpm_missi/?hl=en"]

terkini