Buy now

33 C
Semarang
Jumat, Oktober 11, 2024
spot_img

Masyarakat Semarang Suarakan Kondisi Lingkungan Lewat Keroncong

 

Tiap tanggal 22 April yang diperingati sebagai hari bumi, jutaan orang di penjuru dunia, berbondong-bondong melakukan kampanye mengenai kesehatan lingkungan. Pada 2022, hari bumi diusung dengan tema “Invest In Our Planet—Nature in the Race to Zero”.

 

Kegiatan diskusi, demonstrasi, orasi, pemutaran film dan musik, pembacaan puisi, penanaman pohon, bersih sampah dan sejenisnya mewarnai kanal-kanal media sosial kita, baik di tanah air maupun mancanegara.

 

Di Kota Semarang, semua elemen masyarakat mulai dari warga, buruh, mahasiswa, pekerja kreatif, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seniman serta budayawan berpadu menjadi satu dalam Panggung Penghuni Bumi Jawa Tengah di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Open Theatre, pada Jumat (22/4).

 

Berbeda dengan perayaan pada tahun-tahun yang sebelumnya, kampanye tahun ini tak hanya dikemas dengan panggung orasi, pertunjukan teater serta pembacaan puisi namun juga dengan menampilkan performa dari paguyuban Begundal Keroncong.

 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah, Fahmi Bastian, menyampaikan bahwa menyuarakan kondisi lingkungan saat ini bisa dengan cara apa pun termasuk lewat seni.

 

“Semarang diprediksi akan tenggelam pada 2045, untuk menghadapi krisis iklim dan kampanye terkait hal ini perlu kolaborasi dengan seniman, ilustrator, pelukis, dan salah satunya lewat musik keroncong ini,” jelasnya saat menyampaikan aspirasi.

 

Ade Bahtiar selaku perwakilan dari Begundal Keroncong, berharap bahwa ke depan bicara keroncong hanya satu yaitu bagian musik di Semarang, lepas dari pendapat apa orang menyebutnya.

 

“Entah dengan sebutan apa orang bicara keroncong Semarang, Musik Keroncong Semarang, Jagad Keroncong, itu terserah. Yang penting ketika bicara komunitas keroncong juga baiknya menggandeng komunitas yang lain, juga sebaliknya,” singgung Ade.

 

Menjelang petang di bawah rimbunnya pepohonan komplek TBRS, Widyo Leksono seniman yang akrab disapa Babahe merespons perayaan ini dengan menyumbangkan lagu yang berjudul “Hamba Menyanyi.”

 

Sayup-sayup mulai terdengar paduan suara antara suling, siter, cello, bass, ukulele dan biola yang amat memanjakan telinga.

 

Hamba menyanyi
Mencinta suara

 

Turut kepada seni Ibu Indonesia
Hanyalah ini hamba memberi

 

Tanda pencinta hati
Pada Bu Pertiwi

 

Hanya maksud jangan sampai
Hamba dengan tangan hampa

 

Bakti pada maha Indonesia
Terima hamba, sebagai putra
Meskipun hamba hanya dapat urun suara

 

“Begundal Keroncong hanya bisa urun suara di hari bumi ini,” tutup Babahe atas performanya.

 

Kalimat “hanya bisa urun suara” diinterpretasikan menjadi dua makna sekaligus, pertama ketidakberdayaan atas sebuah sistem, kedua sebagai bentuk otokritik.

 

Hal tersebut seakan ditangkap oleh Adhitia Armitrianto pegiat seni yang terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Semarang (Dekase) periode 2021-2025. Adhit sapaan akrabnya, menyampaikan perumpamaan bahwa sejak dulu sudah banyak perusahaan menggunakan greenwashing untuk meningkatkan persepsi publik terhadap produk mereka.

 

“Pada tahun 1986 di Washington, hotel-hotel di tepi pantai beralasan handuk tidak usah dicuci demi faktor lingkungan. Akan tetapi sejatinya itu hanya kedok agar tidak keluar lebih banyak biaya,” jelas Adhit.

 

Ia menambahkan bahwa perusahaan tersebut cenderung lebih banyak merusak lingkungan daripada klaim hijau yang diberikan. Di sinilah fungsi kesenian yaitu menjadi dasar bersikap dalam kehidupan.

 

Gema Irama, Hatiku Gelisah, Tretes Raya dan judul lainnya turut mengiringi perayaan hari ini. Dengan aransemen juga lirik-lirik yang penuh makna begitu kuat untuk mewakili aspirasi panggung ini. Bayangan makna di balik lirik yang bernuansa naturalis akan kering kerontang apabila tidak disertai dengan realitas bahwa masih terdapat lingkungan yang sehat dan layak huni.

 

Front Nahdliyin untuk Kedaulatan dan Sumber Daya Alam (FNKSDA) melalui Adit juga turut menyampaikan orasi. Dalam penyampaiannya ia mengajak untuk melacak siapakah aktor yang mendorong bencana krisis iklim bisa terjadi.

 

“Ia adalah sistem bernama kapitalisme. Menjadikan mereka yang kaya semakin kaya, mereka yang miskin semakin miskin karena tidak mempunyai alat produksi,” jelasnya.

 

Adit juga menuturkan sistem tersebut sangat berhubungan dengan bumi karena sifatnya yang ingin memanfaatkan celah-celah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

 

“Kapitalisme sangat eksploitatif terhadap bumi, ia menjadikan yang berada di luar dirinya sebagai komoditas atau hanya barang dagangan,” tambah Adit.

 

Lebih lanjut, perwakilan FNKSDA itu menyinggung tema panggung penghuni bumi sangat ideal terhadap kondisi yang sedang terjadi.

 

” Memayu hayuning bawono, ambrasto dur angkoro yang jika saya mengartikan semangat merawat bumi sama dengan semangat melawan kapitalisme,” pungkasnya.

 

Penulis : Fikri Thoharudin

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini