Buy now

27 C
Semarang
Minggu, November 3, 2024
spot_img

Soal Minat Baca, Pustaka dan Angan-angan Tan Malaka

 

Apabila kita mengingat kutipan tulisan Tan Malaka yang menyoal buku dan pustaka dalam yang berjudul “Madilog,” Sebuah karya yang disebut-sebut sebagai magnum opus atau mahakarya sang bapak republik.

 

Kalimat yang terinspirasi dari kekaguman Tan Malaka pada cintanya kepada Bung Hatta yang rela di sel bersama buku dan Leon Trotsky yang membawa berpeti-peti buku ketika dibuang ke pulau entah berantah. Apakah kalimat itu masih relevan pada abad ini?

 

Sebuah tanda tanya itu muncul bukan dari hasil membaca Madilog. Melainkan dari kutipan dalam buku tersebut yang sering kali dipropagandakan dalam ajang literasi, khususnya pada Hari Buku Sedunia pada 23 April.

 

Angan Tan Malaka dalam Sepenggal Kutipan Lama

 

“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi (14)”

 

Dalam kutipan tersebut Tan Malaka menyebutkan “selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali”. Hal ini dapat diartikan bahwa eksistensi toko buku dan Perpustakaan begitu penting. Sebab sejak menjadi pelarian selama bertahun-tahun, buku adalah salah satu teman hidupnya. Berkawan dengan buku tak ubahnya menjadi serba tahu.

 

Penggalan kutipan selanjutnya “Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi” seolah Tan Malaka lebih mementingkan buku yang merupakan sumber pengetahuan dibandingkan dengan kebutuhan pangan dan sandang. Hal ini tentu tak bisa diterima sebagian orang. Sebab makanan dan pakaian adalah kebutuhan manusia yang tak terelakkan.

 

Tapi bagaimanapun juga itulah dunia ideal yang diangankan oleh seorang Tan Malaka. Dimana masyarakat sipil maupun pemerintah lebih merasa punya kepentingan terhadap isi (ilmu pengetahuan) dibandingkan dengan sampiran (makanan dan pakaian). Sebab logikanya, kita tak bisa mencukupi kebutuhan hidup jika kita tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kehidupan.

 

Pada kenyataannya, kutipan tersebut tak seindah kesan kita terhadapnya. Irfan Hamka dalam kata pengantar bukunya yang berjudul “Ayah” berseloroh bahwasanya orang-orang besar akan tetap besar dalam zamannya. Ketika ia meninggal ia akan meninggalkan kenang-kenangan yang indah dalam sejarah bangsa.

 

Namun, apabila orang-orang besar pada zaman dahulu hidup kembali, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Tan Malaka, maupun ayahnya sendiri, Buya Hamka pada zaman ini mereka hanya bakal jadi pengikut kita. Mereka hanya akan menjadi orang-orang biasa dan hanya menjadi seorang veteran masa lalu yang ditinggalkan zaman.

 

Maka kita tidak akan membahas keterkaitan antara unsur semantik dalam kutipan tersebut dan masa saat sekarang ini secara utuh. Apalagi meminta Tan Malaka untuk membuktikan tutur katanya terkait kutipan tadi.

 

Kita hanya akan mencari relevansi dari kutipan yang dipropagandakan oleh khalayak ramai itu dengan melihat kenyataan toko buku dan pustaka di Indonesia pada abad ke 21. Pada masa Tan Malaka sudah tak ada lagi di dunia. Sudah idealkah toko buku dan pustaka dalam angannya?

 

Gerak-gerik Pustaka dan Kurangnya Minat Baca

 

Kenyataan yang tak sedikit pun mengejutkan adalah fakta bahwa minat baca masyarakat Indonesia yang terbilang rendah. Hal ini merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2011. Hasil survei tersebut menujukkan tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya sekitar 0,001 persen.

 

Jika dihitung, maka hanya ada satu orang dari 1000 orang yang memiliki minat membaca buku secara serius. Kondisi ini memposisikan Indonesia pada peringkat 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

 

Hasil yang tak jauh berbeda juga ditunjukkan melalui riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang diselenggarakan Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016. Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

 

Kedua fakta yang tak lagi mengejutkan tersebut amat kontras dengan penilaian infrastruktur pendukung membaca. Padahal dari segi penilaian infrastruktur pendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Hal tersebut sempat disinggung oleh Kepala Perpustakaan Republik Indonesia, Drs. Muh Syarif Bando. Ia mengatakan Indonesia digadang-gadang sebagai top leader karena perpustakaan-perpustakaan kita dapat menjangkau masyarakat luas.

 

Ia menuturkan, jumlah perpustakaan di Indonesia (per 2019) sebanyak 164.610. Sedangkan urutan pertama ditempati oleh India, sebanyak 323.605 perpustakaan. Di urutan ketiga adalah Rusia, dengan 113.440 perpustakaan dan 105.831 perpustakaan di China di urutan keempat.

 

Tetapi kenyataan bahwa kita yang memiliki perpustakaan nomor dua terbanyak di dunia tanpa perlu mengurangi pasokan pangan dan papan seperti yang dituliskan oleh Tan Malaka dalam buku Madilog, masih saja tak punya minat baca yang membanggakan. Atau kasarnya minat bacanya masih memalukan.

 

Ada banyak masalah yang perlu dibenahi, ada kesadaran yang perlu dipupuk. Meski Indonesia memiliki perpustakaan terbanyak nomor dua di dunia. Hal itu tak lain karena negara kita yang maha luasnya. Sehingga tak mengherankan Infrastruktur perpustakaan khususnya di sekolah-sekolah gencar dilakukan. Maka perlu diperhatikan lagi, apakah buku-buku yang beredar di perpustakaan mampu menarik dan memenuhi kebutuhan pembaca.

 

Hal ini juga berlaku bagi toko buku. Sebab akses untuk mendapatkan buku masih sulit. Buku yang diterbitkan pertahunnya di Indonesia masih terbilang sedikit. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor kurangnya minat baca. Sehingga eksistensi toko buku itu sendiri menjadi mangkrak sebab daya beli masyarakat terhadap buku yang kurang tinggi.

 

Andai kata Tan Malaka masih hidup di dunia. Apakah ia akan menyarankan agar masyarakat meningkatkan minat baca sejak dini? Misal, membuat dengan membuat taman baca masyarakat (TBM) atau menuntut pemerintah untuk menciptakan ruang perpustakaan yang hidup. Agar pemerintah tidak hanya banyak membangun perpustakaan tetapi juga meningkatkan minat baca.

 

Sebagai masyarakat yang sadar bahwa membaca sejatinya adalah parameter kepandaian seseorang. Tak ada salahnya kita melepas baju dinas kita masing-masing yang hanya memikirkan bagaimana mendapatkan uang untuk memenuhi isi perut. Tapi lupa menambah kantong belacu dikepala yang teramat butuh asupan ilmu.

 

Penulis: Ihsanul Fikri

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini