Buy now

28 C
Semarang
Jumat, April 19, 2024
spot_img

Pulang

Foto: Lpmmissi.com/ Artikula.id

Sang Surya mulai menampakkan diri. Terik yang kian meninggi, membias masuk menerangi sebuah ruang. Pergerakan cahayanya lambat laun memperlihatkan isi ruangan yang tak karuan itu. Mula-mula botol-botol minuman yang tergeletak sembarang, baju yang berserakan di segala arah, bungkus “obat” yang tercecer isinya, dan benda lain yang tak di tempatkan semestinya. Sepertinya terik membangunkan penghuninya. Pancaran sinar, membuat mata bermata coklat itu menyipitkan sedikit kelopaknya. Ia bangun, jelas sekali laki-laki berperawakan remaja itu depresi.

Kemudian ia beranjak dari tempat tidurnya, dengan langkah gontai ia tempatkan dirinya di depan cermin. Mendapati bahwa luka semalam masih setia bertengger di wajahnya, Ia mendecit mengingat pertengkaran bersama ibunya yang cukup sengit. Tak hanya sekali, bahkan ia kerap berselisih dengan wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk dijadikannya seorang ibu. Begitulah kenyataannya, setidaknya remaja 18 tahun itu masih menganggapnya ada. 

Julian bergegas mandi, lalu beganti baju untuk kemudian keluar menuruni tangga kamarnya dengan cepat sembari menenteng helm lalu memakainya segera.

Baca juga: Nasib dan Ironi

 “Mau kemana kak?,” begitu ujar Hakim kala melihat anak tirinya pergi.

Seolah pertanyaan itu tak pernah ada, Julian lantas melangkah keluar dari bangunan mewah itu, menaiki motor besarnya dan melaju cepat.

***

  Di hadapannya sudah ada gundukan tanah dengan papan nisan menunjukkan nama seorang lelaki yang ia panggil Ayah. Kemudian Julian meletakkan helmnya sembari mengelus nisan milik Ayahnya.

” Lama ga kesini rasanya aneh juga,” Ia bergumam, menundukkan kepala lalu mengusap wajahnya yang gusar.

“Tau gini mending dulu Ibu engga ngelahirin aku, apa susahnya sih?”

“Kenapa dulu Ayah nekat ngerawat aku, Yah? Harusnya aku dibiarin mati aja lebih dulu dari Ayah.” Julian berbicara pada pusaran makam Ayahnya seolah teman bicara. Ia memijat pelipisnya, terkekeh menyakitkan kemudian diakhiri dengan senyum kecutnya.

Baca juga: Generasi Kalah

“Aku berantem lagi sama ibu,” katanya sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal dan meringis.

“Udah lama bareng tapi ga pernah akur hehe.. “

” Yah hidup ternyata capek juga ya.. Harusnya aku yang mati duluan.” Angin berhembus menerpa wajah Julian.

 Membuat surai di atas kepalanya menari mengikuti semilir, sebagian menutup matanya hingga mengharuskan Julian menyibak helai itu.

” Aku lebih suka makan mie melar buatan Ayah dibanding makan steak sama ibu”

“Aku lebih suka naik motor butut Ayah dibanding naik mobil mewah sama Ibu”

“Aku juga lebih suka nyari akar bareng Ayah ke hutan dibanding jalan-jalan ke Mall bareng Ibu,” ujarnya diiringi tawa ngilu, tenggorokannya terasa kering kala ia menelan ludah.

Baca juga: Ramalan Perahu Kertas

“Kalau gini mah disentil Ayah ngeluh mulu hehe.” Remaja itu tertawa hambar mengingat memori yang bersama Ayahnya.

“Rasanya aku pingin hidup selama enam tahun aja terus meninggal”

“Biar cuma tentang Ayah doang yang aku tau”
“Itu lebih baik, aku ngerasa lebih dekat dibanding hidup mewah”

*

“Udah lama banget ga keliatan Jul, sibuk sekolah ya?” Julian mengangguk pada wanita paruh baya pemilik kontrakan menyerahkan sebuah  kunci padanya.

Ia buka sebuah kontrakan, lalu terdiam kala mendapati ruangan gelap seukuran kamarnya kini. Ia menyalakan blitz kamera ponselnya, untuk menerangi ruangan itu. kemudian mengambil beberapa gambar untuk disimpan.

Tawa yang terlepas tanpa ada makna
Cerita lama yang selalu dibawa
Diam-diam hati ini mengerti
Teringat dan jadi ciri tentangmu, tentangmu.

Ia menyusuri tembok, melihat beberapa coretan krayon khas anak kecil di atas tembok kayu, terlihat beberapa cat telah terkelupas dari permukaannya. Kemudian ia menemukan sebuah meja lipat kayu di sudut ruangan, lantas Julian mengambilnya. Ia melihat meja itu juga dipenuhi coretan, ada gambar dua orang berbeda ukuran saling bergandengan tangan. 

Baca juga: Mengenang Seorang Perempuan Kritis

Ia terus memandangi meja itu, teringat hal yang telah diperbuatnya beberapa tahun silam. Matanya berkaca-kaca.

“Ayok makan yang banyak biar bisa jadi Jagoan!” Seorang pria mengangkat tangan sembari mengepal diikuti raut wajah yang lucu.

Ruangan kumuh itu seolah menjadi saksi bisu bahwa ia pernah bahagia disana.

” Yah, kalo udah gede aku mau jadi orang kaya biar bisa beli minyak urut buat Ayah supaya ga capek lagi.” Ucapan polos khas anak kecil menggema di seluruh ruangan, ucapan yang pernah Julian ucapkan pada Ayahnya.

Julian merebahkan dirinya di lantai, menatap langit-langit, menerawang jauh ke masa kecilnya. Ruangan itu dipenuhi tawa anak kecil karena tingkah konyol Ayahnya.

Baca juga: Ketika Cinta Berbicara

Bagaimana Ayahnya yang berubah wujud menjadi super hero dengan ujung sarung yang diikat di lehernya, atau Ayahnya yang berperan seolah-olah menjadi penjahat yang berhasil ditangkap “Pak Polisi Juli.” Detik kian berjalan, Memutar kembali masa-masa indah kala Ayahnya bersusah payah memasah makanan untuknya walau hasilnya gagal.

Namun Julian kecil tetap menyantap itu dengan riang, terkadang Ayahnya membujuk sembari menyuapi Julian ketika Julian tidak mau makan. Ia membayangkan sosok lelaki yang menepuk kepala sosok anak kecil di pangkuannya.

Tuk sementara, sampai berjumpa
Bersama-sama, bercanda lagi
Kenangan manis di hari ini
Jadi alasan untuk kembali

Tanpa terasa, sadari tadi lelehan cairan keluar dari sudut matanya. Remaja itu menangis, mebiarkan air matanya membentuk aliran sungai. Kemudian ia mematikan blitz kamera.

Baca juga: Deadlock

Dalam kegelapan ia membayangkan lelaki yang sangat dirindukannya itu mengusap surai hitamnya sembari membisikkan kalimat, agar ia tak khawatir dengan bisingnya dunia.

Julian tersenyum pahit, menutup wajah yang sudah banjir air mata. Ia menggigit bibirnya sendiri. Menahan geram isakan, wajahnya memerah, napasnya memberat.

Kemudian memori berbalik, memutar ingatan beberapa tahun kebelakang. Kala sosok terhebatnya meninggalkan ia sendiri di dunia yang kejam ini. Lalu adegan berganti menjadi sesosok permpuan asing yang mengakatan bahwa dirinya adalah “ibu” tetapi tak sekalipun ia menunjukkan perangai keibuan di depannya. Juga ingatan tentang masa kecil dimana pacar ibunya menghina pahlawannya di depan matanya sendiri. Masih begitu segar, laki-laki itu mengucapkan ” Anak dari laki-laki gagal.” Penghinaan yang begitu tajam dari katana yang terus tertanam di ulu hatinya, terekam dalam ingatan sepanjang masa.

Meskipun lelaki itu berkata bahwa ia hanya terkejut mendapati kekasihnya ternyata sudah punya anak. Sejatinya “Papanya” adalah sosok laki-laki lembut nan baik. Hanya saja, Julian tak mau membuka hati untuknya hingga kini.

Baca juga: Asa

Julian telah memaafkannya, namun tidak untuk melupakannya.

Ia berbalik dari posisi berbaring, Julian bersandar pada tembok. Di dalam ruangan sempit itu ia merenung. Ia tak butuh uang sebanyak udara, rumah semewah istana. Ia hanya butuh sosok yang mampu mengahancurkan baja di hatinya. Membuatnya percaya dunia tak selamanya buram.

Julian adalah remaja tangguh dan mandiri.
Ia tak selalu menampakkan ekspresi.
Julian bukan remaja baik-baik.
Karena trauma masa lalu, menjadikannya remaja brengsek dengan segudang masalah.
Namun tidak untuk Julian kali ini.

Julian menarik napas dalam dalam menghapus jejak air mata di wajahnya. Ia membuka ponsel melihat jam yang menunjukkan pukul tujuh malam.

Semua mimpi tinggi dan segala drama
Dijadikan canda, dikeluh bersama
Terkadang-kadang mata bicara
Seakan-akan semua rahasia
Oh, kebodohan antara kita jadi kenangan manis

**

Baca juga: Luka

Julian melaju dengan kecepatan tinggi, dadanya terasa amat sesak. Matanya sungguh perih, perjalanan kali ini sedikit berbeda rasanya.

Sayup sayup dari jauh Julian melihat bangunan bernuansa damai. Kemudian memelankan laju kendaraannya kala bangunan itu kian dekat. Suara dari bahasa yang tak dimengertinya terdengar indah, kumandang itu sungguh sopan masuk di telinganya. Julian menghentikan laju motornya di depan bangunan itu, menatap sekitar dengan raut wajah berantakan. Ia terdiam lalu seketika ada yang menghangat dari bagian dalam dadanya. Ia kembali menghela napas, kemudian terlintas di otaknya sebuah pertanyaan. ” Apa sekarang waktunya ia harus kembali?” Ia menyadari telah terlalu jauh pergi, melenceng dan mendapati bahwa hidupnya telah benar benar dipenuhi masalah. Sudah lama sekali rasanya Ia tak ke tempat seperti ini, bahkan untuk mengingat kekuatan besar di balik hidupnya yang kelam. Ia benar-benar abai.

Julian sungguh paham bahwa dirinya harus “Pulang” ia harus segera menemukan “Rumahnya”

Kemudian Julian memarkirkan kendaraanya di halaman sekitar tempat itu, lantas memasuki sebuah masjid.

Kenangan manis di hari ini
Jadi alasan untuk kembali

Oleh: MC Audina

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini