Buy now

33 C
Semarang
Jumat, April 19, 2024
spot_img

Nasib dan Ironi

Foto: lpmmissi.com/ waterloocatholics.org

Isak tangis terus terdengar. Lirih namun masih dapat masuk ke telingaku. Aku menarik nafas panjang mencoba mengendapkan segala perasaan yang ada.

Bukan apa-apa, hanya saja aku ingin terlihat baik-baik saja. Aku memasang muka datar. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan adik-adikku, mereka tampak nelangsa dan kehilangan. Mereka jelas kehilangan, sangat kehilangan malah. Ayah kami baru saja dimakamkan, siapa yang tidak akan sedih? 

Aku berusaha terlihat nelangsa seperti adik-adikku, tapi rasanya sulit bukan main. Hei, Bukankah ini di kuburan? Seharusnya aku kacau, berantakan, kehilangan, kan? Yah, walaupun tidak ada siapa-siapa yang melayat kecuali aku dan kedua adikku. Mau bagaimana lagi, itu memang sudah aturan dari pemerintah. 

*** 

5 jam kemudian 

Sial. Isak tangis masih saja terdengar dari kamar adik-adikku. Aku tersenyum sinis. Buat apa kalian menangisi orang yang sudah mati, batinku. Kau boleh sebut aku manusia tanpa perasaan ataupun manusia kejam. Terserah. Karena memang begitulah adanya. Lagipula tidak setetes pun ku keluarkan air mata. Bahkan merasa sedih pun tidak. Entahlah semua terasa kebas, mati rasa.

Aku berusaha mengenang ayahku. Mengingat masa-masa yang indah saat kami masih utuh dan saling memiliki. Dalih terisak dan menangis sesenggukan seperti adik-adikku, justru amarah lah yang tersulut. Aku tak mengerti mengapa demikian. Bagiku ayahku telah mati jauh sebelum ini, sesaat setelah ibu kami meregang nyawa. 

Baca juga: Generasi Kalah

Maka ketika ayah benar-benar pergi meninggalkan dunia ini semua seolah tiada artinya. Ironis memang. Namun saat itu juga lah, aku sadar aku adalah pengganti ayahku. Itu artinya aku adalah ayah untuk adik-adikku.

Malapetaka itu dimulai dari empat tahun yang lalu. Saat itu kami adalah keluarga yang bahagia, berkecukupan, cukup terpandang juga di masyarakat. Tapi roda terus berputar bukan? Hingga suatu ketika ayahku ditipu oleh rekan bisnisnya. Semua harta kami raib tak berbekas. Klise? Memang. Bahkan aku masih tidak percaya. Seperti kisah di film-film saja, tapi itulah yang sebenar-benarnya terjadi.

Apa yang terjadi selanjutnya tentu bisa kau tebak. Kami akhirnya jatuh miskin dan kesehatan ibu mulai memburuk. Ibu sering sakit-sakitan hingga dua tahun kemudian beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Kepergian ibu menyisakan duka mendalam di hati ayah. Setelah itu ia seperti hidup dalam dunianya sendiri. Mungkin pikirnya hanya ia seorang yang kehilangan. 

Ayah lupa ada tiga jiwa yang justru harus direngkuh dan dikuatkan. Aku rasa ayahku memang menunggu hari ini datang. “Apa kau senang sekarang ayah? Apa kau bertemu ibu di sana? Romantis sekali.” Ucapku sarkastik.
“Apa kau tahu yah, kau mati di waktu yang salah! Bahkan masyarakat tidak sudi menerima kau dimakamkan di tempat mereka. 

Masyarakat yang dulu penjilat, tukang cari muka. Lihat sekarang! Mereka menghujatmu, menganggap mu seperti wabah. Mereka ketakutan! Mereka takut, dengan menguburmu di pemakaman sini lantas mereka akan terjangkiti virus yang sedang merajai tanah tercinta ini.

Bukankah mereka tahu sejak sebelum virus itu datang, kau memang sudah sering batuk-batuk parah seperti itu. Seandainya engkau tahu ayah, kami sampai harus mencari kuburan yang mau menerimamu. Dan engkau tahu? Semua itu tidak gratis!” Aku menarik nafas dalam-dalam. Memejamkan mata rapat-rapat. Mencoba tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalu dan berhenti marah padanya. 

Baca juga: Ramalan Perahu Kertas

Bagaimanapun juga direlung hatiku yang terdalam aku tetap menyayangi ayahku. Lagi pula ia juga telah tiada.  Anehnya lagi-lagi tidak ada air mata yang keluar. Aku kembali memejamkan mata menghalau segala bayangan-bayangan kelam nan pahit yang telah ku alami kurang lebih empat tahun belakangan ini. 
Aku harus tetap waras setidaknya untuk kedua adik perempuanku. 

Mereka harus jadi orang, jangan sampai mereka seperti abangnya yang putus sekolah di tengah jalan. Aku bangkit dari dudukku, menatap nanar ruangan kecil ini. Ruangan yang biasa kami gunakan untuk menerima tamu. Sepertinya aku butuh tidur. 

Setidaknya dengan adanya virus sialan ini aku tidak perlu duduk seharian menunggui tamu sambil memasang wajah berduka bukan? Itu sisi positifnya. Tapi semua tidak lantas berhenti disini. Aku harus menerima sisi negatifnya juga.  Sekarang ini aku resmi menjadi seorang pengangguran. Bagaimana tidak? Setelah sebelumnya pemerintah mengeluarkan aturan untuk selalu memakai masker saat bepergian, kini pemerintah kembali mengeluarkan aturan yang jujur saja bagiku sangat merugikan. 

Dilarang berboncengan saat mengendarai motor. Bukankah itu aturan gila? Lalu apa kabar dengan nasib kami para ojek. Apa pemerintah mau bertanggung jawab? Ada tiga mulut yang harus diberi makan setiap harinya, iya minimal dua kali sehari. Aku bukan tipe orang yang suka memelas untuk sekedar mendapat sesuap nasi. Tapi disaat pandemi seperti ini aku bisa apa? Aku nyaris tak mengerti. Hanya gara-gara sebuah virus semua orang menjadi kalap dan ketakutan. 

Orang-orang berbondong-bondong membeli masker, memborong sembako. Untuk persediaan bulanan, untuk berjaga-jaga katanya. Lantas bagaimana dengan kami yang tidak memiliki uang? Boro-boro untuk persediaan satu bulan, besok mau makan apa saja masih harus dipikirkan. Padahal hanya itulah satu-satunya pekerjaanku. Ojek. Aku tertawa sumbang. Lebih tepatnya menertawakan hidupku yang malang. Oya, Namaku Sarbejo.


Selesai.

Penulis: Amin Hambali 

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini