Wacana menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah bagaikan riak di telaga yang tenang. Mengapa demikian? Mari mengingat sejarah tentang pembentukan Pancasila oleh para founding fathers. Ketika masa perumusan, dibuatlah keputusan untuk menghapus kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Seandainya tujuh kata itu tidak dihapus , besar kemungkinan Indonesia akan menjalankan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Namun karena tokoh-tokoh pendiri Indonesia sadar bahwa bangsa ini adalah bangsa yang plural, maka tujuh kalimat tersebut diagnti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Siapa yang tega meragukan ilmu dan kecintaan pahlawan dari kalangan muslim Indonesia kala itu kepada Islam dan bangsa Indonesia? Meraka mengerahkan waktu, tenaga, pikiran, dan hati dengan satu keyakinan, “Merangkul seluruh elemen ke dalam NKRI agar mendarah daging dalam diri bangsanya”.
Lalu kini dengan mudahnya banyak oknum ingin merubah total seluruh tatanan pemerintahan dan hukum Indonesia dengan konsep negara khilafah yang mengatasnamakan umat Islam. Mereka mengira bahwa mengislamkan suatu negara adalah bagian dari Jihad. Itu salah besar, seharusnya mereka tidak hanya memahami Islam di permukaan saja, atau mengambil suatu ayat Alquran tanpa memahami makna dan tafsirnya secara luas. Padahal Islam itu Agama Rahmatan Lil ‘Alamin.
Rasulullah saja mengajarkan umatnya untuk bermusyawarah saat menyelesaikan masalah pemerintahan sebagai cermin demokrasi. Bukankah nilai-nilai itu sudah terkandung dalam Pancasila? Jika dicermati, setiap sila demi sila mengandung nilai yang disesuaikan dengan karakteristik bangsa.
Terlepas dari itu semua, dengan keadaan bangsa Indonesia yang mempunyai ragam agama, budaya, dan ras, rasanya tidak mungkin untuk menjadikan satu agama menjadi dasar hukum suatu negara yang di dalamnya terdapat banyak agama. Kalaupun mungkin, tentu akan lebih banyak mudharatnya daripada kemanfaatan. Dan jika itu terjadi, bersiaplah sedikit demi sedikit wilayah NKRI akan memisahkan diri. Karena menurut kaidah Ushul Fiqh, “Menghindarkan terjadinya keburukan itu lebih diutamakan daripada menyerukan kebaikan” atau bisa diartikan, “Menyerukan khilafah yang menurut mereka baik, sebaiknya diprtimbangkan kembali demi menghindarkan retaknya NKRI”.
Ibarat kata, ketika seseorang sudah menikah lalu terjadi masalah dalam rumah tangganya, jangan hancurkan pernikahan itu, sebab pernikahannya tidak pernah salah. Jangan pula dengan mudahnya mengganti istri dengan wanita lain karena dianggap lebih baik. Namun yang harus dilakukan adalah suami dan istri saling berbenah diri agar rumah tangga kembali baik. Nah, jika terjadi masalah besar di negara ini, bukan serta merta merusak NKRI atau mengganti dasar negara, melainkan saling berbenah untuk sama-sama membangun NKRI. Oleh: Winarti