Foto: LPM MISSI |
SEMARANG, LPMMISSI.COM – PEMBUKAAN Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Walisongo resmi dihapuskan mulai tahun 2018. KKL dinilai belum mencapai tujuan sesuai kompetensi untuk menambah kemampuan dan pengetahuan mahasiswa, serta lebih banyak digunakan sebagai ajang wisata.
Mengingat anggaran KKL masih tertera pada rincian Uang Kuliah Tunggal (UKT). Maka agar anggaran tersebut tidak hangus, program KKL diganti dengan kebijakan baru berupa pelatihan kepada mahasiswa sesuai dengan jurusan masing-masing atau benchmarking.
Penggunaan benchmarking sendiri mulai diberlakukan pada mahasiswa angkatan 2015 awal tahun 2018 kemarin. Dalam penggunaan program baru ini, FDK mengacu pada Kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 08 tahun 2012, menyebut KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa Kurikulum ini mengharapkan universitas memperjelas profil lulusannya, sehingga setelah lulus dapat memasuki dunia kerja sesuai degan jurusan kuliah masing-masing. Output dari program ini berupa sertifikasi keahlian yang berguna sebagai pendamping ijazah, serta relevan dengan kurikulum KKNI.
Polemik Benchmarking
Tak ubahnya manusia yang baru saja terlahir, diperlukan banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran, begitu juga program baru fakultas. Kebijakan baru sudah tentu memiliki pro dan kontra tersendiri. Setelah berjalan satu tahun, pelaksanaan program benchmarking memiliki beberapa problem yang harus diselesaikan bersama.
Salah satunya yaitu pada regulasi penggunaan dana dari Kampus I, yang menyebabkan pembayaran program tersebut dilimpahkan sementara kepada fakultas dan jurusan. Sehingga setiap Kepala Jurusan (kajur) di FDK harus menutupi dengan memberikan pinjaman sampai dana dari Kampus I turun.
Kajur Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Siti Sholikhati berinisiatif menggunakan dana talangan dari tabungan pribadi. “Kalau menggunakan pinjaman uang koperasi pasti memiliki bunga 1% yang itu nanti dibebankan kepada mahasiswa, maka saya memilih menggunakan uang rekening pribadi untuk menutupi kekurangannya,” ungkapnya pada Jumat (28/12/2018).
Baca juga: KKL Bukan Sekedar Piknik
Hal serupa juga disampaikan oleh Kajur Manajemen Dakwah (MD) Saerozi, ketika diwawancarai kru LPMMISSI.COM.
“Kekurangan kemarin ada 20 juta, 14 juta menggunakan uang pribadi dan enam juta menggunakan uang jurusan. Uang itu buat DP dulu, karena uang dari UIN walisongo (kampus I) keluar kalau sudah ada SPJ. Padahal pelaksanaan benchmarking lebih dulu,” tuturnya.
Selain itu, tidak disampaikannya jumlah anggaran yang dipakai pada program benchmarking termasuk rincian dana yang sudah digunakan, menimbulkan berbagai anggapan dari beberapa mahasiswa, salah satunya seperti yang dituturkan oleh Ainis Shofwah Mufarriha Mahasiswi Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI).
“Karena saya angkatan pertama yang ikut program ini, masih banyak PR untuk fakultas agar lebih baik, diantaranya melakukan transparansi dana dari KKL ke benchmarking,” ujar mahasiswi semester VII ini.
Infografis: Anisatul Khoiriah |
Menanggapi hal tersebut Sekretaris Jurusan (Sekjur) PMI, Agus Riyadi menanggapi bahwa penggunaan dana KKL dan benchmarking jurusan PMI sama pada kisaran angka Rp500.000 untuk akomodasi, makan, trasnportasi, dan penginapan.
Selanjutnya, mahasiswa menilai kurang ada sosialisasi terkait penggantian KKL menjadi benchmarking kepada mahasiswa, menyebabkan kebijakan baru ini dianggap tergesa-gesa dan kurang memberi informasi terkait prosedur program baru tersebut.
“Setahu saya tidak ada pemberitahuan/sosialisasi terkait benchmarking, hanya ada penyampaian kajur mengenai pengahapusan KKL,” tutur Raveno, mahasiswa jurusan PMI angkatan 2015.
Akibat kurangnya sosialisasi ini, salah satu temannya tidak mengetahui program baru pengganti KKL dan harus megikuti benchmarking tahun selanjutnya. “Teman saya ada yang tidak tahu, terlambat daftar dan harus mengikuti tahun depan dengan biaya sendiri,” jelasnya.
Namun, Agus Riyadi membantah, menurutnya telah diadakan sosialisasi sebelum mahasiswa dilepas ketika benchmarking. “Ya tentu ada sosialisasi, kan dikumpulkan secara serentak se-fakultas di Laboratorium Dakwah. Ketika itu sudah dilakukan sosialisasi,” jelas Sekjur PMI ketika dikonfirmasi Kru LPMMISSI.COM.
Hal serupa juga terjadi di Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) dan KPI. Kedua jurusan tersebut memberikan sosialisasi kepada mahasiswa sebelum melakukan program benchmarking mupun saat penghapusan KKL. Lain halnya dengan Kajur MD yang menuturkan program benchmarking jurusan MD belum dilakukan sosialisasi secara penuh.
“Kalau ada mahasiswa yang menilai terburu-buru, sebenarnya tidak terburu-buru. Kita merancang kurikulum sudah lama, meskipun sosialisasi mungkin kurang,” ungkap Saerozi.
Fakultas Dakwah Menanggapi Benchmarking
Terlepas dari beberapa polemik di atas, beberapa mahasiswa menyambut dengan antusias program benchmarking tersebut. Salah satunya Fitri Astuti, mahasiswa MD ini mengatakan kegiatan benchmarking sangat menguntungkan mahasiswa MD.
”Dengan biaya yang murah kami mahasiswa MD sudah dibekali skill nyata dan sertifikat legal menjadi seorang tour gaide, jika kompeten. Karena jika mencari sertifikat di luar sana, membutuhkan waktu normal hingga satu minggu dan mahalnya hingga berjuta-juta,” katanya.
Selaras dengan Fitri, Abdan seorang mahasiswa BPI yang mengikuti benchmarking mengungkapkan bahwa dengan program baru ini sangat membantu untuk menunjang kemampuan mahasiswa per-jurusan yang bisa digunakan setelah kita lulus nanti.
“Benchmarking sangat membantu untuk menunjang mengenai jurusan, dan mendapatkan ilmu terkait penyuluhan agama, NKRI juga mendapatkan sertifikat penyuluh,” ungkapnya.
Benchmarking dinilai memiliki manfaat lebih banyak dibanding KKL, yakni adanya sertifikasi keahlian oleh lembaga terkait. Selain itu juga cukup potensial untuk memperdalam kompetensi mahasiswa.
Baca juga: FDK Resmi Hapus KKL Mulai Semester Genap 2017/2018
Kajur BPI menegaskan benchmarking tidak jauh berbeda dari KKL, hanya beda istilah dan muatan materinya saja, tapi adanya sertifikasi menjadi keunggulan program baru ini. “Kompetensi mengenai KKL tidak maksimal, sama-sama mengeluarkan biaya, mendingan memilih benchmarking yang outputnya lebih jelas, mahasiswa dapat sertifikat penyuluh meskipun sertifikatnya non PNS,” tegas Mariyatul Kibthiyah.
Senada dengan Mariyatul, Agus Riyadi juga mengungkapkan bahwa benchmarking lebih dalam menggali potensi mahasiswa. “Benchmarking yang berarti penggalian potensi terhadap mahasiswa sehingga mahasiswa yang dilatih secara serius sesuai bidang masing-masing,” ungkap Agus.
Begitu pula dengan jurusan MD , Saerozi juga menjelaskan adanya benchmarking sangat berguna untuk mahasiswa serta membuka peluang kerja untuk jurusa MD, “benchmarking lebih potensial dalam meningkatkan potensi mahasiswa, dan dapat sertifikat pendamping ijasah, jadi mudah dapat kerja dan untuk MD juga sudah bekerjasama dengan Himpunan Pramuwisata,” jelasnya.
Anggapan-anggapan tersebut diperkuat oleh Siti Sholihati, Ia berdalih bahwa jurusan KPI lebih memiliki kompetensi tentang penyiaran dan kejurnalisan dibanding jurusan lainnya. “Saya sebagai kajur lebih nyaman benchmarking karena lebih jelas tentang kompetensi kosentrasi,” tutup kajur KPI ini.
*Berita ini adalah hasil liputan bersama dalam rangka Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) LPM MISSI 2018.
Kru yang bertugas
Reporter: Hijriyati Nur Afni (koor), Anisatul Khoiriah, Khoirun Nisa’, Yasrul Amri
Penulis: Hijriyati Nur Afni, Khoirun nisa’
Editor: Litbang LPM MISSI