Judul: Nisan Tanpa Keadilan
Durasi: 56 menit 23 detik
Tanggal Rilis: 1 Oktober 2023
Sutradara: Rizky PP
Resentator: Indah Wulan
Siapa yang tak suka dengan sepakbola? Sepakbola menjadi permainan olahraga paling populer di dunia dengan jutaan penggemarnya. Tak hanya laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan orang tua sangat antusias dengan adanya pertandingan sepakbola.
Antusiasme masyarakat terhadap sepakbola, tak jarang membuat mereka mau melakukan apa saja untuk mendukung klub favoritnya. Kecintaan terhadap klub sepakbola inilah yang melahirkan “pemain ke-12” atau biasa dikenal dengan suporter bola.
Agaknya hal ini juga dirasakan oleh para suporter klub Arema FC atau yang lebih dikenal sebagai Aremania. Arema FC sendiri termasuk salah satu klub sepakbola terbesar di Indonesia.
Pada 1 Oktober 2023, klub yang dijuluki singo edan ini menjamu tim Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Klub asal Malang tersebut memiliki rekor yang baik ketika melawan Persebaya di kandang sendiri. Hampir selama 23 tahun, Arema FC tak pernah alami kekalahan.
Namun, pada malam itu, Arema FC harus menelan kekalahan dengan skor 2 -3 atas Persebaya hingga peluit akhir dibunyikan. Hal ini menimbulkan kekecewaan di kubu Aremania.
Pertandingan dua klub kuat asal Jawa Timur itu disebut sebagai laga derby jatim dan kerap bertensi tinggi. Ditambah adanya rivalitas suporter yang kuat antara Aremania dengan Bonek.
Baca juga:Profil Nizar, Plt Rektor UIN Walisongo Pengganti Imam Taufiq
Malam Kelam di Kanjuruhan
Setelah peluit panjang dibunyikan, Aremania merangsek turun ke lapangan menghampiri para pemain Arema FC. Sayang, aparat kepolisian yang berjaga menganggap turunnya suporter ke lapangan sebagai ancaman.
Para polisi yang berjaga memutuskan menembakkan gas air mata ke berbagai arah, salah satunya ke tribun penonton. Tembakan gas air mata lantas menimbulkan kepanikan sehingga para suporter berbondong-bondong menuju pintu keluar.
Pintu keluar yang sempit dan tak semua dibuka membuat lautan manusia berebut dan berdesakan agar bisa menyelamatkan diri masing-masing. Anak-anak, perempuan, semua orang berhimpitan berusaha agar dapat bebas dari kondisi tersebut.
Hal ini lah yang menyebabkan 135 jiwa melayang dan ratusan lainnya luka-luka. Mirisnya, lebih dari 1/3 korban adalah anak-anak. Malam itu terjadilah tragedi kemanusiaan di Indonesia dan menjadi tragedi sepakbola terbesar kedua di dunia, yakni tragedi Kanjuruhan.
Baca juga:5 Seni Menghadapi Ketidakpastian ala Fahrudin Faiz
Kejanggalan dalam Proses Menuntut Keadilan
Sudah setahun berlalu, tanah makam para korban Tragedi Kanjuruhan pun agaknya sudah mengering. Namun, air mata keluarga masih bercucuran menuntut keadilan untuk mereka yang direnggut nyawanya oleh tembakan brutal gas air mata.
Atas terjadinya tragedi Kanjuruhan, hanya segelintir orang yang dihukum dan sanksi yang dijatuhkan pun dinilai sangat ringan, yakni Abdul Haris (Ketua Panitia Pelaksana) dan Hasdarmawan (Deputi Komandan Kompi 3 Brimob Polda Jatim) selama 1 tahun 6 bulan serta Suko Sutrisno (Security Officer) selama satu tahun.
Sedangkan tiga nama lainnya, yaitu Ahmad Haidan Lukita (Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB)), Wahuyu SS (Kabag ops Polres Malang), dan Bambam Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang) dibebaskan. Hukuman ini dinilai terlalu ringan dan menciderai keadilan di Indonesia.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pun telah dibentuk setelah terjadinya tragedi ini, mereka menyebut ada 11 jenis gas air mata yang ditembakkan ke tribun penonton. Namun, saat di persidangan hanya disebutkan 2 jenis gas air mata saja.
Para korban dan keluarga berupaya agar tragedi kanjuruhan ini digolongkan dalam kasus pelanggaran HAM berat dengan melihat jumlah korban yang banyak. Namun, Komnas HAM malah berpendapat sebaliknya. Tragedi ini dianggap bukan sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Selain itu, proses rekonstruksi seharusnya dilakukan di tempat kejadian perkara, yakni di Stadion Kanjuruhan. Akan tetapi, pada kenyataannya proses rekonstruksi malah dilaksanakan di Lapangan Polda Jawa Timur.
Dalam perjalanannya, penuntasan kasus ini makin jauh dari keadilan. Selama proses mencari keadilan, ada banyak sekali kejanggalan. Kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan menimbulkan pertanyaan di benak berbagai pihak, apakah negara serius dalam menangani kasus tragedi kanjuruhan ini?
Hakim menjatuhkan memvonis angin yang bersalah. “Asap dari gas air mata tersebut terdorong oleh angin ke arah selatan …” itulah yang disampaikan hakim ketua dalam proses persidangan. Hal ini semakin menambah kekecewaan semua orang. Vonis ini dinilai mencederai hati nurani manusia dan sistem peradilan di Indonesia.
Baca juga:Misi Walisongo Center Jadi Tempat Kajian Riset Pemikiran Ulama
Perjuangan Meraih Keadilan
Kartini, salah satu orang tua korban Tragedi Kanjuruhan, membutuhkan keadilan atas melayangnya nyawa sang anak. Ia berjanji akan memperjuangkan keadilan untuk anaknya sampai kapanpun. Hal itu juga dilakukan oleh kelurga korban yang lain. Mereka bersama-sama berjuang demi mendapat keadilan.
Di tengah perjuangan para korban dan keluarganya menuntut keadilan, pemerintah malah membuka lebar izin penyelenggaraan pertandingan. Dengan syarat, Arema harus menjalani laga kandang di luar Kota Malang dan tanpa suporter.
Hukuman kepada Arema FC dinilai tak sebanding dengan hilangnya nyawa 135 orang. Arema FC pun bukannya fokus untuk menangani kasus tragedi kanjuruhan, malah justru tetap ikut melanjutkan pertandingan.
Pada 16 Februari 2023, PSSI berganti nahkoda. Erik Thohir, Ketua Umum PSSI yang baru sempat membawa angin segar bagi para korban Tragedi Kanjuruhan. Mereka berharap agar Erik Thohir dapat mengusut tuntas dan menegakkan keadilan bagi mereka.
Namun apa daya, belum kering air mata korban muncul wacana adanya proyek renovasi Stadion Kanjuruhan dengan alasan untuk memenuhi standar FIFA. Hal ini menuai penolakan dari masyarakat karena di sanalah tempat yang bisa dilakukan untuk rekonstruksi ulang. Keluarga korban menuntut adanya keadilan yang seadil-adilnya. Sekali lagi keadilan diciderai.
Baca juga:Lakon Abimanyu Dekatkan Kesenian Wayang Orang pada Anak Muda
Dari film Nisan Tanpa Keadilan, kita dapat melihat tidak adanya keadilan yang diterima oleh para korban dan keluarga korban dari Tragedi Kanjuruhan. Film ini menyajikan fakta-fakta yang ditemukan juga menyajikan berbagai kejanggalan yang ada selama proses pengusut tuntasan kasus ini.
Ada beberapa scene video amatir para penonton yang saat itu hadir dalam pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya. Sangat terlihat jelas ada beberapa gas air mata yang ditembakkan ke tribun penonton.
Namun, dalam proses persidangan tak disebutkan ada gas air mata yang sengaja ditembakkan ke tribun penonton. Malah yang divonis bersalah ialah angin. Video tersebut seharusnya bisa menjadi bukti jika memang ada gas air mata yang diarahkan ke tribun.
Wawancara yang dilakukan kepada para penyintas dan keluarga korban menunjukkan kekecewaan mereka terhadap penegakan keadilan di negara ini. Selain itu, mereka berkeinginan kuat agar para oknum yang bersalah bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dihukum seadil-adilnya.
Film “Nisan tanpa Keadilan” ini menggambarkan tumpulnya sistem peradilan di Indonesia. Film ini tidak hanya ditujukan kepada para korban, keluarga korban, ataupun suporter aremania. Namun film ini bisa membuka pandangan kita terkait apa yang dirasakan oleh para korban Tragedi kanjuruhan yang hingga saat ini belum mendapat keadilan.
Apabila tragedi ini tidak segera diusut tuntas, dan semua orang yang bersalah tidak diadili. Maka jangan salahkan bila masa mendatang akan ada tragedi-tragedi kanjuruhan lain di sepakbola Indonesia.