Buy now

27 C
Semarang
Senin, November 25, 2024
spot_img

Konflik Agraria: Tanahmu, Tanahku

Film Tanah Moyangku, membahas tentang konflik agrariaa (foto: instagram @idbaruid)
Film Tanah Moyangku, membahas tentang konflik agrariaa (foto: instagram @idbaruid)

Judul: Tanah Moyangku

Durasi: 1 jam 24 menit 32 detik

Tanggal Rilis: 19 Januari 2024

Sutradara: Edy Purwanto

Resentator: Haqqi Idral

Seperti biasa, kanal Youtube “Wathcdoc Documentary” menyajikan film-film dokumenter yang mengangkat isu seputar Ke-Manusiaan dan Ke-Indonesiaan. Film “Tanah Moyangku” berangkat dari pengamatan Prof. Ward Berenschot (Peneliti Belanda) dan diskusi dengan JJ Rizal (Sejarawan) yang menggali langsung sejarah sengketa lahan di Indonesia.

Film yang dirilis pada tanggal 19 Januari 2024 tersebut, mengangkat isu terkait kondisi sosial, HAM, dan lingkungan di beberapa daerah Indonesia dengan berfokus pada masalah agraria.

Konflik agraria adalah konflik yang berhubungan dengan urusan pertanahan. Dalam hal ini terdapat dua kubu yang saling berseberangan, baik antar perseorangan ataupun kelompok. Dua kubu yang saling klaim atas pendudukan di wilayah tersebut.

Baca Juga:Jangan Bersedih

Di Indonesia sendiri, konflik agraria biasa terjadi pada sektor perkebunan, proyek infrastruktur, dan pertambangan.

Film “Tanah Moyangku” memperlihatkan bahwa konflik agraria yang terjadi di Indonesia, biasa disebabkan oleh tidak adanya sertifikat atau bukti kepemilikan tanah. Seseorang atau kelompok masyarakat yang mempunyai tanah warisan nenek moyangnya, bisa saja disengketakan sebab tidak adanya bukti kepemilikan tanah.

Dalam hal ini tentu masyarakat adat yang paling terdampak, karena memiliki tanah peninggalan nenek moyang mereka yang tidak mempunyai bukti tertulis. Masyarakat adat zaman dahulu biasa mengunakan pembatas wilayah berupa sungai, tanaman, ataupun makam sebagai tanda pembatas wilayah mereka.

Nahasnya, konflik agraria di Indonesia syarat akan perselisihan yang berujung pada tindak kekerasan. Si lemah (Masyarakat adat), mempertahankan tanah dari si kuat (Korporasi).

Parahnya lagi, terkadang aparat keamanan justru bertindak sebagai backing pembungkam aksi massa (tanah adat yang dijarah), yang melawan dikriminalisasi. Aksi ini dicap menganggu ketertiban umum. Tak peduli bagaimana sejarahnya (kepemilikan tanah), selama tidak ada bukti sertifikat, maka mereka (masyarakat adat) tak berhak atas tanah tersebut.

Baca Juga:Masuk Kuliah Sebentar Lagi, Catat Tanggalnya!

Seperti konflik agraria yang terjadi di Rempang dan Air Bangis, berdalih atas dasar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Juga konflik di Bangkal dan Babual Baboti yang berujung penembakan aksi massa, dikarenakan sengketa lahan. Dan masih banyak lagi konflik agraria di Indonesia.

Domein Verklaring Modern

Setelah praktik tanam paksa yang dinilai gagal, kerajaan Belanda lantas memberlakukan Agrarische Wet atau Undang-Undang Pertanahan pada tahun 1870, yang di dalamnya mengatur Domein Verklaring . Disebutkan bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya adalah milik negara.

Sebetulnya pada tahun 1960 dibuatlah Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menghapus praktik Domein Verklaring . Namun dalam UUPA 1960 pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, “ Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara ,” sering diinterpretasikan bahwa negara mempunyai kontrol atas semua tanah Indonesia (yang tidak bersetifikat).

Hal inilah yang biasa diambil celah oleh para korporasi swasta dalam mengambil hak tanah adat dengan mengajukan izin ke pemerintah. Kemudian mereka mengalihfungsikan tanah tersebut sesuai kemauan, entah dibuat perkebunan, infrastruktur ataupun pertambangan.

Peristiwa yang sering terjadi ini atas dasar pemerintah yang mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut, bukan sebagai tanah adat.

Akhir

Dengan melihat film ini, penonton merasa diajak untuk berkelana ke pelosok negeri. Mencari keadilan atas direnggutnya tanah moyang mereka.

Film “Tanah Moyangku” juga menghadirkan peneliti dan sejarawan yang ahli dibidangnya. Sehingga film ini memang benar adanya, bukan sekedar dongeng sandiwara.

Film dokumenter ini sangat cocok ditayangkan sebagai bahan edukasi maupun diskusi, karena mengangkat isu yang sangat relevan. Dengan adanya film ini, juga memperlihatkan bahwa konflik agraria masih subur di Indonesi. Terlebih pemerintah sering berdalih adanya PSN dan luasnya lapangan pekerjaan, tanpa mempertimbangkan dampak kedepannya.

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[td_block_social_counter twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333" instagram="https://www.instagram.com/lpm_missi/?hl=en"]

terkini