ilustrasi penghasilan pas-pasan untuk memenuhi banyaknya kebutuhan, foto:freepik
Kaum menengah merupakan kelas mayoritas di tatanan sosial demografi indonesia dengan pengeluaran rata-rata di angka 1,2 juta hingga 6 juta per bulan. Tekanan ekonomi yang semakin berat dengan berbagai kenaikan harga bahan pokok membuat kelas menengah harus bersiasat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sayangnya dengan jumlah yang dominan ini kaum menengah justru sering diabaikan oleh kebijakan.
Dilansir dari Susenas 2021, 69 dari 100 penduduk indonesia adalah penduduk dengan mayoritas pendapatan menengah kebawah, artinya sebanyak 53,6 juta penduduk indonesia masuk kelompok kelas menengah. Diperkirakan jumlah kelas menengah akan semakin bertambah seiring perbaikan ekonomi dan pendidikan.
Kaum yang serba pas-pasan ini belum mempunyai akses finansial yang kuat untuk naik kelas menjadi kaya juga tak punya akses perlindungan.
Kaum menengah dengan gaji terbatas harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang kian meningkat dan menabung untuk masa depan. Sering kali gaji mereka habis tak bersisa, hingga harus putar otak untuk mencari pinjaman atau melakukan pekerjaan tambahan.
Buruknya, kebijakan memperburuk kondisi kaum menengah. Mereka harus menanggung biaya yang ekstra akibat buruknya kebijakan transportasi, hunian dan pendidikan belum lagi krisis iklim hingga tekanan mental.
Menurut kompas.com sebagian besar golongan kelas menengah Indonesia rentan “turun kelas” jika terjadi guncangan ekonomi.
Berbagai Permasalahan Kelas Menengah
Kesenjangan antara laju pengeluaran dan pendapatan menjadi masalah utama bagi kelas menengah. Menurut survei konsumen Bank Indonesia pada tahun 2017-2023 dengan responden kelas menengah diperoleh hasil, proporsi pengeluaran cenderung naik dan proporsi untuk tabungan cenderung turun.
Dengan gaji stagnan, kelas menengah terbelenggu naiknya berbagai kebutuhan pokok sehingga penghasilan habis untuk kebutuhan harian dan tidak sempat menabung.
Sementara itu, kaum menengah juga harus menanggung biaya ekstra akibat buruknya kebijakan transportasi. Tingginya pengeluaran pada sektor transportasi akibat absennya pemerintah dalam menyediakan transportasi umum yang layak dan menjangkau wilayah luas.
Dengan penghasilan pas-pasan, kelas menengah harus berjibaku dengan cicilan kendaraan dan bensin karena tak punya banyak pilihan dalam bermobilitas.
Baca juga : Ciderai Demokrasi, Aliansi Pers Jawa Tengah dan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Penyiaran
Harga rumah yang semakin tidak masuk akal juga menjadi beban bagi kelas menengah, sehingga beberapa dari mereka lebih memilih untuk menyewa rumah terlebih dahulu dibandingkan dengan membeli rumah.
Kelas menengah semakin sulit mengakses pendidikan tinggi karena melambungnya biaya kuliah. Masyarakat kelas menengah harus memikul beban berat membiayai anaknya untuk kuliah dengan pendapatan yang tidak sebanding dengan kenaikan uang kuliah. Mereka juga terkendala mengakses bantuan biaya pendidikan dari pemerintah seperti KIP-K.
Selain kebutuhan bulanan, kelas menengah juga harus menghadapi degradasi alam. Mereka harus menghadapi peningkatan krisis iklim yang berpotensi menggerus perekonomian lebih dalam lagi. Krisis iklim tak hanya terkait bencana alam, tapi juga wabah penyakit dan tekanan mental yang rentan dialami kelompok kelas menengah.
Kaum Menengah dan Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah dengan menggunakan APBN saat ini masih terfokus menangani kelompok masyarakat miskin ekstrim dan kelompok miskin. Sering kali juga dinilai salah sasaran dan menguntungkan kelompok atas. Seperti kasus mahasiswa hedon yang menerima beasiswa KIP-K yang viral di media sosial beberapa waktu silam.
Menteri keuangan, Sri Mulyani mengakui, kebijakan pemerintah saat ini memang belum fokus untuk menangani middle class. Pemerintah masih fokus menangani masyarakat miskin dalam 20% terbawah dari populasi. Belum ada kebijakan khusus dari APBN untuk middle class. Menurutnya hal tersebut karena jangkauan kelas menengah yang cukup luas dibandingkan masyarakat miskin.
Kebijakan seperti Bantuan Sosial (Bansos) hanya menyasar 40% Kaum miskin. Sedangkan kebijakan pemerintah melalui PKH hanya akan menaikkan kelas miskin menjadi calon kelas menengah(Aspiring middle class), dan jumlah kelas menengah akan semakin bertambah. Disamping itu kebijakan pembebasan pajak barang mewah (PPnBM) seperti pembebasan pajak mobil listrik yang beberapa kali dilakukan pemerintah justru semakin menguntungkan kelas atas.
Baca juga : Mantan Komisioner KPID Jateng: Tidak Sekadar Membatalkan, Kita Juga Harus Memperjuangkan UU Penyiaran
Belum lagi diterbitkannya peraturan pemerintah, mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Di satu sisi peraturan ini seperti angin segar bagi pekerja kelas menengah ditengah semakin tidak masuk akalnya harga properti.
Namun jika gaji mereka yang pas-pasan masih harus di potong 2,5% untuk Tapera, yang baru bisa dinikmati setelah pensiun, maka kelas menengah akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup.
Bagi kelas menengah 2,5% dari gaji bisa digunakan untuk kebutuhan makan transportasi, dan biaya lainnya. Pemerintah perlu mengatur secara bijaksana dan mengklasifikasikan program Tapera dengan baik, agar tidak memberatkan pekerja khususnya di kalangan kaum menengah.
Kebijakan pemerintah untuk kaum menengah masih sangat minim. Skema kebijakan mengenai perlindungan sosial, sejauh ini hanya program prakerja yang menawarkan bantuan pelatihan kerja dan uang saku bersifat on-demand bagi kelas menengah.
Raden Pardede, staff khusus Menteri Koordinator bidang Perekonomian mengungkapkan, bantuan untuk kelas menengah tidak bisa berupa Bansos karena tidak mendidik. Mereka harus diberi keringanan atau dilindungi melalui ketenagakerjaannya.
Kaum menengah adalah motor penggerak perekonomian negara. Mereka menyumbang lebih banyak devisit negara, terbukti mereka menyumbang separuh dari total konsumsi rumah tangga Indonesia.
Dari sisi politik juga memperlihatkan, kelas menengah memiliki kesadaran berpolitik, sehingga dapat mengusung semangat demokrasi. Jumlah kaum menengah yang dominan seharusnya sudah menjadi perhatian serius pemerintah.
Penulis : Febita Gita