LPMMISSI.COM – Kini, sekolah itu bernama kamar tidur. Orang yang masuk ke sekolah tidak terjamin akan belajar dan orang yang pergi ke kasur tidak terjamin akan tidur. Malah sering sebaliknya. Mengapa bisa demikian?
Belakangan ini kita mengenal kata overthinking yang banyak diartikan sebagai keadaan di mana seseorang mengalami gangguan tidur akibat kecemasan dan ketakutan yang berlebih. Kondisi tersebut sebenarnya tidak bisa serta merta dijadikan klaim atas penyakit mental, namun bisa jadi titik awal yang mendasarinya.
Fenomena ini bertambah akut setelah bangunan sekolah dimerger menjadi rumah alias Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau akrab disebut sebagai Belajar Dari Rumah (BDR). Bukti konkritnya adalah perubahan waktu tidur yang menjadi kacau balau. Hal ini tercermin melalui viralnya beberapa siswa bahkan mahasiswa yang tertidur di saat kegiatan BDR berlangsung di aplikasi panggilan video.
Padahal jika dibuat rata-rata, orang tidur delapan jam perhari, berarti dalam setahun ia tidur selama 2920 jam. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Angka Harapan Hidup (AHH) bagi wanita ialah 73 tahun, sementara bagi pria 69 tahun. Sederhananya AHH adalah rata-rata waktu hidup yang dihabiskan oleh seseorang sejak ia lahir.
Lalu untuk memberikan sebuah bayangan, anggap saja seseorang berumur 70 tahun. Artinya jika seseorang itu rutin tidur selama delapan jam dalam sehari sama saja telah membuang waktu selama 67.160 jam hanya dengan tidur di atas kasur. Kira-kira, apa mereka yang tidur di kelas saat pembelajaran itu kekurangan waktu tidur ya?
Begitu pun dengan wajib sekolah 12 tahun, jika ditambah bangku perguruan tinggi 4 tahun. Maka seseorang menghabiskan waktu di bangku sekolah selama 16 tahun. Secara hitungan bersihnya, anggap saja seseorang dalam sehari menghabiskan waktu selama delapan jam. Maka dalam setahun ia menghabiskan waktu 2.920 jam dan kalau dikali 16 tahun, dia telah menghabiskan waktu untuk bersekolah selama 46.720 jam.
Jumlah jam apabila seseorang berumur 70 tahun adalah 613.200 jam, jika dikurangi waktu untuk bersekolah dan tidur, masih tersisa sebanyak 499.320 jam. Hal ini terlepas dari Contextual Teaching and Learning (CTL) yang berada di luar edukasi (formal; sekolah) itu sendiri—yang berlaku sepanjang hayat. Proses belajar memang seyogianya berjalan hingga tutup usia.
Sementara (baik belajar dari rumah dan bekerja dari rumah) kini diharapkan dapat memutus rantai penyebaran virus Covid-19 sekaligus kampanye atas digitalisasi, namun sepertinya perlu memunculkan sedikit pertanyaan bahwa apakah manfaat dari BDR tersampaikan? Jangan-jangan hal itu malah menambah tingkat kecemasan, stres, depresi atau bahkan memerpanjang indeks kebodohan bagi para pemperjuang pendidikan?
Memang, BDR efektif dan menyenangkan bagi mereka yang berdomisili di kota, yang sudah memiliki dan bisa mengakses serta sudah terbiasa dengan gawai atau komputer. Namun bagaimana dengan mereka yang ada di desa, yang walaupun mempunyai daya beli terhadap gawai, namun tidak dengan provider atau kuatnya sinyal jaringan.
Sepertinya peranan (rumah dan sekolah) sebagai tempat untuk menaungi keturunan, sekaligus menjadi tempat untuk menurunkan ilmu pengetahuan secara masif perlu mendapat evaluasi yang serius dari banyak kalangan.
Realitas seperti di atas cukup untuk memantik kobaran semangat kita atas beragam hal. Jika kasur tidak bisa membuat kita tertidur, bukankah kita harus berlatih supaya bisa tidur walau dengan tempat yang tidak nyaman sekalipun? Apabila sekolah sebagai medium (atau apa yang diberikan sekolah) tidak cukup untuk menjamin kita belajar, mencoba bereksperimen, berkreasi, bukankah kita seharusnya mencari medium lain sebagai tempat pengembangan diri?
Di zaman ini, sekolah tak lagi sekadar kewajiban praktis untuk meningkatkan kecakapan hidup (CTL). Namun telah bertransformasi menjadi sebuah kebutuhan hidup. Tetapi, ketika sesuatu sudah menjadi kebutuhan hidup, seringkali juga melahirkan sikap-sikap semacam pragmatisme. Ditambah dengan semakin nampak jelasnya komersialisasi pendidikan, mengakibatkan proses CTL di dalamnya menjadi luntur dan penunaiannya cenderung instan.
Segala hal yang ditempuh secara instan tentu akan mengakibatkan beragam efek samping dan paling krusial adalah mengesampingkan nilai (dalam hal ini makna pendidikan). Orang menjadi terpaku pada hasil akhir. Padahal hasil akhir sejatinya berada pada proses menuju hasil itu sendiri. “Proses” (secara berdikari dan berdaulat) tidak bisa diragukan, tetapi “hasil” bisa dari kerja joki.
Seyogianya kita jangan mencoba berharap atas segala yang berada di luar kuasa kita. Dengan begitu, secara psikologis akan terciptalah Post Traumatic Growth atau yang bisa diartikan sebagai perubahan positif seseorang setelah berjuang dari trauma, ketakutan, kecemasan dan sejenisnya. Singkatnya preventivasi kekecewaan. Alhasil akan terlihatlah sisi lain dari potensi yang kita miliki.
Fenomena Ghozali sebagai miliarder baru yang mengejutkan industri Non-Fungiable Token (NFT) dilakukan selama kurun waktu 2017-2021, Fiki Naki youtuber dengan keterampilan poliglot tentu proses pemberhendaraan katanya tak cukup seminggu dua minggu.
Kasus seperti ini seakan mencoba memberi tahu bahwa betapa sebagian momentum besar dalam hidup ini dipengaruhi oleh kemauan dan percobaan-percobaan kecil yang disertai dengan harapan terhadap diri sendiri. Tentu tak akan ada yang peduli dengan hidup kita selain diri sendiri beserta keluarga dan karib sebagai suporter tentunya.
Orang-orang di atas seakan telah membuktikan perkataan dari Aristoteles, bahwa kegiatan yang dilakukan melalui praktik sekaligus pembiasaan akan selalu lebih membawa pengaruh daripada yang dilakukan secara spontan.
Titik Beda
Perumpamaan secara sederhana (dalam masalah tidur dan kasur) sekarang ini tradisi penggunaan kelambu sudah hampir hilang. Delapan dari sepuluh orang menyatakan bahwa mereka lebih memilih obat nyamuk dan lotion untuk melindunginya sewaktu tidur. Memang kita tak bisa menolak hasil kemajuan zaman, tapi mengikuti zaman tanpa konsepsi terhadap nilai sama saja bunuh diri.
Riset yang dilakukan selama 22 tahun di Tanzania, membuktikan bahwa kelambu sangat terbukti mampu menyelamatkan jiwa. Pengembangan kelambu berinsektisida pun terus digencarkan untuk mencegah terjangkitnya penyakit malaria. Siapa yang tak kenal malaria? Penyakit yang menurut World Health Organization (WHO) membunuh lebih dari 600.000 orang di tahun 2020.
Sama halnya penggunaan blackboard dengan kapur yang sepertinya sudah punah dari jagat pendidikan formal Indonesia, baik dari sekolah tingkat dasar hingga bangku perguruan tinggi. Padahal semenjak dunia mengenal blackboard pada abad ke-19, popularitas papan tulis hitam untuk menulis di kelas sudah bertahan selama 200 tahun. Sementara pada abad ke-21 terganti dengan Papan Tulis Interaktif (PTI) berwarna putih.
Jika bicara mengenai daya tangkap mata sejatinya lebih worth it yang blackboard. Karena corak background yang gelap akan lebih memberi gradasi warna terhadap tulisan yang ada di atasnya. Kejelasan tulisan dalam medium pembelajaran perlu diingat sebagai awal terkoneksinya penerima manfaat dengan pengetahuan yang sedang diwariskan.
Namun sekali lagi, sekarang ini pertimbangan-pertimbangan bernuansa pragmatis lebih disukai banyak orang. Seperti mesin pompa air yang menghilangkan kebiasaan menimba walaupun lebih menyehatkan, kulkas yang memecahkan fungsi kendi gerabah, air conditioner yang menggerus peranan pohon, bahkan pragmatisme dalam ranah akademik berupa joki tugas kuliah hingga skripsi pun juga masif terjadi.
“Semenjak masyarakat mengenal keran, mereka menjadi bagian yang tak lagi menghargai sebuah proses. Proses bagaimana air bisa sampai membersihkan piring, pakaian, hingga menyucikan badannya”
Hal di atas sepele, remeh temeh, tapi proses pembiasaan dan konsistensi lakunya akan menyadarkan kita pada hasil banding antara hal yang bersifat praktis melenakan dan rumit namun berdaya guna. Apalagi sering kali hal-hal praktis tak cukup bertahan lama, ia perlu disuplai ulang, jika tak ada persiapan maka habis riwayat. Memang hal-hal rumit perlu proses agak panjang untuk mempersiapkannya, namun daya gunanya tak bisa ditampik.
Mari kita lupakan dulu apa itu virus, dan berfokus pada satu hal yakni akibat dari pandemi. Selain agama, wilayah edukasilah yang paling sentral dan bersinggungan dengan banyak sektor. Tersinkronisasi, terkoneksi. Pengadaan pendidikan—yang secara hemat berwujud kegiatan di sekolah tercerabut dari tujuan luhurnya, terpolitisasi, terkotak-kotak. Apalagi pemindahan sekolah ke ranah online. Angin disrupsi mengobrak abrik secara besar-besaran. Ditambah realitas bahwa banyak pengajar yang gaptek, potensi (maha)siswa yang hanya setengah matang—radikalnya—malah bisa diartikan sebagai pembodohan struktural.
Di era digital ini seseorang sangat mungkin untuk berilmu walaupun tak pernah pergi ke perguruan tinggi dan mendapat gelar. Bicara tentang masyarakat dengan basis pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi (IPTEKIN) adalah bicara kompetensi dan skill yang bisa digelar sekaligus diperoleh dari mana saja. Karena pada era disrupsi ini daya cipta atau kreasi oranglah yang menjadi daya saing di antara umbaran potensi ribuan orang.
Dunia sudah dalam genggaman kita. Belajar apa pun sangat memungkinkan untuk ditempuh walau hanya dengan leyeh-leyeh di rumah. Kursus-kursus online bersertifikat dan apapun yang terkait dengan pengembangan pengetahuan, skill dan kompetensi, dari yang berbayar atau gratis, cukup dapat dicapai hanya dengan menggerakkan jari-jari bahkan dengan berpakaian kaos oblong sekalipun. Pekerjaan yang berkaitan dengan seragam pun sudah mulai tak diminati.
Jika sepanjang ini diri kita masih begitu berharap hanya dari pengajaran (apalagi secara online), tanpa eksplorasi lebih mendalam terhadap urusan bakat dan kecenderungan masing-masing, celakalah kita karena akan kalah dari mereka yang hanya belajar secara non degree (tanpa gelar) namun mendalami manfaat waktu luang (makna sekolah) serta menyadari potensi.
Sekalipun seseorang hanya baca buku di kolong mesin tekstil seperti kisah Atep Kurnia, berliterasi di warnet seperti Agus Mulyadi, menulis dari atas kasur seperti Rusdi Mathari, rajin berkumpul bertukar pengalaman ala pekerja kreatif, serta mereka yang berani mengambil pilihan—tak ada hari yang selamanya gelap.
“Lumut menjamur dan memelesetkan. Beringin bertumbuh dan meneduhkan. Ayam bertelur dan memberi manfaat.
Bahkan batu yang diam pun menopang.”
Jika manusia yang bergerak dan mencoba melakukan sesuatu tak cukup untuk merubah keadaan—mengalahkan, kemalasan, kebosanan dan stagnasi hidup–lebih baik ia merelakan waktu sepertiga dari seluruh umurnya itu untuk hanya bermimpi. Bermimpi dari atas kasur. Lupakan apa itu revolusi.
Penulis: Fikri Thoharudin