Berbicara perihal cinta, semua bebas dan benar dalam menafsirkan. Ada yang mengatakan, cinta itu tak mampu diungkap dengan kata sebab ia buta. Individu lain mengatakan, cinta itu berarti rela memberi tanpa harap kembali. Apapun itu akhirnya cinta bermuara pada aspek emosi. Keserasian hati.
Sedangkan perihal kebodohan selalu identik dengan stereotip negatif. Bodoh kerap dikonotasikan sebagai bentuk ketidakmampuan seseorang dalam suatu hal. Bodoh karena tidak bisa matematika, bodoh karena tidak bisa fisika, dan ucapan yang terkesan “Ejekan” lainnya. Bahkan manusia mana yang mau dikatakan sebagai orang bodoh.
Dan perihal demokrasi tentu berkaitan dengan “Hak dan kebebasan”. Dalam sistem kepemerintahan demokrasi, semua mempunyai hak kebebasan memilih pilihannya tanpa adanya intervensi.
Ketiga terminologi diatas berkaitan dengan emosional, intelektual, dan politik, yang mana satu dengan lainnya saling berseberangan. Namun siapa sangka, kita justru hidup berdampingan dengan gabungan ketiga-nya, atau jangan-jangan kita-lah bagian dari “Korban” atas ketiga-nya? Korban polarisasi politik.
Baca Juga:Gunung Andong: Rekomendasi Wisata untuk Mahasiswa Gabut Anti Bad Mood
Cinta dan Kebodohan
Cinta. Terlalu banyak puisi, roman, dan rangkaian kata untuk mengambarkan “Apa itu cinta?”. Semua orang berhak bercinta sesuai dengan kadar dan versinya.
Cinta tak melulu sebatas asmara saling kasih, antara kekasih dengan yang terkasih. Lebih dari itu ia (cinta) mengajak pada pada perbuatan, pengorbanan, bahkan menembus batas logika kenormalan. Bahkan ada istilah yang cukup populer, “Bila anda belum merasa bodoh, maka anda belum merasakan cinta.”
Akhirnya karena atas dasar cinta semua serasa benar, entah benar karena benar, ataupun benar karena pembenaran. Hingga kita sepakat bertanya, “Kenapa kita ‘Bodoh’ ketika sedang jatuh cinta?
Ternyata hal tersebut dapat dijelaskan secara saintifik. Mengutip dari situs hellosehat.com, ada beberapa bagian otak yang aktif saat tengah menjalin cinta. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di University College London, ada bagian otak yang bertugas untuk membuat keputusan dan menilai sesuatu atau seseorang, bagian tersebut bernama Korteks prefrontal. Sayangnya, ketika jatuh cinta, aktivitas korteks prefrontal diistirahatkan oleh otak. Sehingga fungsi bagian otak tersebut terganggu, yang menyebabkan seseorang susah berpikir jernih.
Berbicara tentang kebodohan, sebenarnya adalah sesuatu yang subjektif dan relatif. Kebodohan didasari pada ketidaktahuan dan kekurangpahaman terhadap sesuatu, sehingga orang lain terkadang menilai negatif hal tersebut, bahkan dengan celaan sekalipun.
Seorang anggota dewan bisa saja menilai bodoh petani karena tidak bisa membuat undang-undang, namun jangan salahkan petani bila ia menilai anggota dewan bodoh karena tidak tahu cara menanam padi yang benar. Maka tidak bisa melakukan atau mengetahui suatu hal, bukan berarti tidak bisa dengan hal yang lain.
Fenomena “Mendadak bodoh” adalah hal yang bisa terjadi ketika sedang bercinta, lebih dari itu cinta bisa membawa kepada kebodohan yang lebih ekstrem. Seperti berbohong, berkhianat, hingga sikap fanatik dan taklid buta. Termasuk dalam dunia demokrasi.
Baca Juga:5 Rekomendasi Kuliner Populer di Pasar Gede Solo
Merawat Demokrasi
Pemilu 2024 hanya tinggal menunggu hitungan bulan. Kontestasi politik 5 tahunan tersebut sedari dulu penuh euforia dari berbagai kalangan, tiada sabar menunggu sosok yang bakal membawa Indonesia ke arah perubahan. Hingga akhirnya kita perlu sadar bahwa ini adalah politik demokrasi, bahwa perolehan suara terbanyak adalah tanda kemenangan, bukan kebenaran.
Fenomena polarisasi politik bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Masyarakat dipecah-belah karena alasan politik. Di pemilu sebelumnya ada istilah “ Cebong ” dan “ Kampret ”, yang seakan pilihan hanya ada dua, “Bila kamu cebong, maka kamu musuh kampret” dan sebaliknya.
Perbedaan pilihan bukan lagi dianggap suatu kewajaran, melainkan berseberangan. Sikap fanatisme dan taklid buta pada masyarakat Indonesia masih lestari sampai saat ini, yang menimbulkan mudahnya masyarakat di adu domba demi kepentingan penguasa.
Maka bila ditelisik sikap fanatik, taklid buta, dan polarisme bersumber dari cinta dan kebodohan. Karena sangking cintanya pada sesuatu, membuat seseorang tidak bisa berpikir dengan jernih, yang berujung pada kebodohan. Atas dasar cinta seseorang bisa saja melakukan segalanya, termasuk tindak kekerasan sekalipun. Karena sebab cinta dan kebodohan, demokrasi diintervensi dan dibatasi.
Akhirnya kembali pada pesan Rasulullah SAW yang berbunyi, “ Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta. ”
Penulis: Haqqi idral