Bagi sebagian orang, tahun baru merupakan momentum untuk memulai kehidupan baru yang lebih baik. Dengan menutup kalender yang telah usang dan membuka kalender baru sekaligus membuka lembar kehidupan baru. seolah, kejadian apapun yang telah lalu hendak dilupakan dan ditutup rapat-rapat. Kemudian singsingkan lengan baju untuk menyongsong esok hari. Tahun baru juga dijadikan sebagai waktu istimewa bagi masyarakat umum, bahkan jika dilihat dari sejarahnya yang merupakan hari besar umat kristiani, kini sudah menjadi hari besar nasional.
Tahun baru dianggap sebagai waktu untuk merefleksi dan mengintrospeksi diri. Menimbang apa-apa saja yang sudah atau belum dilakukan. Saat itu juga mereka membuat skala pencapaian, yaitu apa-apa saja yang akan mereka lakukan di tahun berikutnya.
Berhenti berjalan sejenak untuk melihat sejauh mana jalan yang sudah kita tapak dan melihat ke depan untuk melihat jalan mana yang akan kita pilih bukanlah hal yang salah. Namun, maksud baik tidak selalu berbuah baik jika ditanam dengan cara yang kurang baik pula. Bukannya tumbuh menjadi pohon yang nantinya kita tunggu buahnya, bahkan mungkin tidak akan pernah tumbuh.
Hal itu tidak berbeda jauh dengan perayaan tahun baru ala millennium kedua seperti sekarang ini. Atas nama memulai hidup baru dan menutup lembar kehidupan yang lalu, tahun baru dilalui dengan hal yang bisa dikatakan kurang bermanfaat.
Sorak gembira, huru hara terompet dan warna warni kembang api menjadi hal yang dinantikan para peraya tahun baru. Tahun baru tanpa terompet, kembang api, santapan istimewa dan segala sesuatu yang dianggap sebagai kebutuhan untuk malam tahun baru akan terasa hambar.
Namun melewatkan malam tahun baru dengan menghamburkan dana yang tentunya tidak sedikit, akan terasa kurang berarti ketika kita menengok orang-orang disekitar kita yang lebih membutuhkan.