Buy now

26 C
Semarang
Senin, November 25, 2024
spot_img

Tapa Bisu Mubeng Beteng, Tradisi Menyambut Tahun Baru Jawa

Tapa Bisu Mubeng Beteng Tradisi Menyambut Tahun Baru Jawa 1
Dokumen lpmmissi.com

Pada malam 1 Muharam pada penanggalan Hijriah yang bersamaan dengan penanggalan Jawa 1 Suro terdapat peninggalan tradisi Kesultanan Mataram Islam, yaitu tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng. Tradisi tersebut masih berlangsung di kraton-kraton perpecahan Kesultanan Mataram, seperti Keraton Yogyakarta.

Mubeng Beteng sendiri merupakan tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Mataram Hindu. Kala itu disebut dengan Muser yang artinya mengelilingi pusat yang kala itu dilakukkan dengan mengelilingi pusat wilayah desa. Dalam sumber sejarah lain disebutkan bahwa tradisi Mubeng Beteng merupakan bentuk tradisi Jawa-Islam.

Tradisi ini bermula dari Kesultanan Mataram Islam selesai membangun benteng yang mengelilingi keraton bertepatan dengan 1 Suro. Setelah itu para prajurit rutin mengelilingi benteng untuk menjaga dari ancaman musuh. Setelah dibangunnya parit, tugas berkeliling digantikan oleh abdi dalem agar tidak terkesan seperti militer. Para abdi berkeliling dengan membisu sambil membacakan doa-doa dalam hati agar mereka diberi keselamatan.

Sedangkan dalam sejarah Kraton Yogyakarta, Mubeng Beteng merupakan tradisi yang dimulai pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono II. Tidak berbeda jauh dengan masa Kesultanan Mataram Islam, kegiatan tersebut merupakan ronda dengan mengelilingi benteng yang mengelilingi wilayah kraton. Saat ini tradisi tersebut dilakukkan pada malam 1 Suro yang diikuti oleh abdi dalem Kraton Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, ada pula masyarakat yang sengaja datang ke Yogyakarta untuk mengikuti tradisi tersebut.

Baca juga : Mengenal Sosok Jurnalis Penyelamat Bukti Sejarah Proklamasi

Sebelum melaksanakan Mubeng Beteng, di Bangsal Poconiti didahului dengan kenduri atau sedekah dari Kraton Yogyakarta kepada masyarakat berupa Jenang Manggul. Tujuannya untuk persiapan menghadapi tahun baru.

Selanjutnya dilanjutkan dengan membaca macapat bersama. Macapat yang dibacakan menggambarkan doa-doa. Tembang tersebut ialah tembang macapat Dhadang Gula. Sebab tembang ini memiliki sifat yang luwes dan mengenakkan sehingga cocok sebagai pembuka suatu pembelajaran dan rasa cinta. Sehingga diharapkan dengan tembang ini di tahun yang baru bisa lebih baik dan penuh dengan rasa cinta tanpa kebencian.

Setelah itu, ketika menjelang tengah malam barulah bersiap untuk melakukan Mubeng Beteng atau mengelilingi benteng Kraton Yogyakarta. Dalam persiapkan juga mengeluarkan bendera panji-panji termasuk Bendera Merah Putih yang nantinya dibawa ketika melakukan Mubeng Beteng. Barulah sebelum tepat tengah malam ketika lonceng berbunyi sebanyak 12 kali dan abdi dalem keluar dari Kamandungan Lor kegiatan tersebut dimulai. Jarak yang ditempuh kurang lebih 5 Km. Dalam pelaksanaannya abdi dalem mengenakan pakaian peranakan dengan kain wiron engkol, tidak membawa keris dan tidak mengenakan alas kaki. Sementara masyarakat umum bebas namun sopan.

Baca juga : Nyadran dan Kerukunannya

Perjalanan dilakukan berlawanan dengan arah jarum jam dan berakhir ke tempat semula. Ketika berjalan mengitari benteng, seluruh peserta tidak diperkenankan berbicara. Hal ini disebut dengan Tapa Bisu atau puasa berbicara. Ini dilakukan sebagai ajang intropeksi diri seseorang terhadap apa yang telah diperbuat setahun lalu dan juga mengingatkan diri untuk memperbaiki diri di tahun mendatang. Selain itu, diam tidak berbicara dimaksudkan untuk memanjatkan doa yang dikehendaki masing-masing individu.

Dalam proses Mubeng Beteng terdapat pesan-pesan yang dapat kita maknai. Menurut penghulu kesultanan, K. R. T. Ahmad Muhsin Kamaludinningrat kegiatan tersebut diharapkan dapat menghayati peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Hal ini dikarenakan momentum tahun baru Jawa bertepan dengan penanggalan Hijriah. Selain itu, Topo Bisu sebagai bentuk untuk bermuhasabah atau mawas diri dengan harapan mendapat kemuliaan dan keselamatan.

Di sisi lain Topo Bisu Mubeng Beteng menjadi kritik terhadap masyarakat yang memperingati pergantian tahun dengan berhura-hura. Sebab jika dilihat dari sudut pandang budaya, kegiatan Mubeng Beteng pada dasarnya adalah tradisi perlawanan terhadap kehidupan hedonistik masyarakat modern.

Oleh: Muhammad Irfan Habibi

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[td_block_social_counter twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333" instagram="https://www.instagram.com/lpm_missi/?hl=en"]

terkini