SEMARANG, LPMMISSI.COM – Mengawal permasalahan terkait ketidaksesuaian fasilitas ma’had dengan biaya yang dikeluarkan, Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) berinisiatif membuat paper mob berisikan protes kebijakan wajib ma’had, Rabu (9/8).
Dengan mengangkat isu komersialisasi pendidikan dan industrialisasi pendidikan, tersebut didasarkan pada keresahan mahasiswa akan fasilitas ma’had yang tidak sesuai dengan biaya yang dibayarkan.
Ketua Umum DEMA FSH, Ahmad Rakan Syafiq, mengatakan, paper mob bertujuan menyadarkan pihak birokrasi untuk mengembalikan marwah pendidikan.
“Tujuan kami untuk menyadarkan para birokrasi di kampus ini bahwasanya pendidikan bukanlah suatu hal yang seharusnya dikomersialisasi karena pendidikan itu amanah konstitusi dan semestinya tidak perlu untuk ada pembayaran yang mahal apalagi diluar kemampuan mahasiswa,” ucap Raka.
DEMA FSH memberikan pernyataan sikap, yaitu:
- DEMA FSH akan bergerak secara kolektif bersama DEMA U dan SEMA U selama DEMA U dan SEMA U mampu mengakomodir keresahan mahasiswa baru terkait isu ma’had
-
Jika DEMA U dan SEMA U tidak kooperatif dan akomodatif dengan keresahan ini, maka DEMA FSH akan menarik diri dan membuat gerakan yang konkrit di lingkungan FSH
-
DEMA FSH mendorong agar DEMA U dan SEMA U untuk tidak menghianati perjuangan ini baik dengan penggembosan, deal-deal politik di luar kesepakatan bersama dan atau hal apapun yang mencederai rasa kebersamaan.
-
Menuntut pembatalan pemberlakuan ma’had karena regulasi yang tidak jelas, keterbukaan informasi yang minim, serta ketidaksiapan dari kampus, ma’had, maupun ma’had mitra terkait sarana dan prasarana penunjang kegiatan para mahasiswa baru.
-
DEMA FSH berdiri tegak dan setara dengan para maba yang mengalami keresahan, kesulitan, serta ketidaklayakan yang terjadi di ma’had al-jami’ah maupun ma’had mitra.
Raka menegaskan DEMA FSH serta semua orang yang terkait dalam gerakan ini merasa tidak cukup hanya dengan aksi simbolik.
“Alasannya, pertama, tidak ada payung hukum yang pasti terkait kewajiban ma’had sebagaimana yang sering disampaikan oleh para pihak birokrasi. Kedua, tidak sepadan antara biaya yang dikeluarkan dari para mahasiswa baru dengan apa yang mereka dapatkan di fasilitas kampus dalam hal ini ma’had al-jami’ah maupun ma’had mitra,” tegasnya.
Raka beserta jajaran DEMA FSH optimis bahwa pembatalan wajib ma’had adalah tuntutan yang mungkin dikabulkan, dikarenakan tiadanya payung hukum, kurangnya transparansi informasi, dan minimnya fasilitas.
“Kalau rektorat punya nurani, seharusnya mereka membatalkan ma’had ini. Karena terlalu banyak komplain dan terlalu banyak masalah yang disebabkan oleh pema’hadan ini,” katanya
Mahasiswa FSH, Mu’tasim Billah, mengatakan tujuan ma’had untuk menciptakan lingkungan akademik yang notabene keislaman terdengar rancu. Sebab, terdapat sekitar 16 mata kuliah ma’had yang dibagi dalam dua semester.
“Di regulasi ma’had sendiri ada sekitar 16 mata kuliah ma’had al jami’ah dan itu ada yang disemester satu dan kemudian ada yang disemester dua. Kenapa kok di UIN Walisongo sendiri itu kok mewajibkan hanya satu semester? Jadi kan lebih rancu, ini payung hukumnya dari mana? Ya solusinya cuma satu, pembatalan, karena ini nggak jelas ikut alurnya dimana,” tuturnya.
Reporter: Aisha Veranda Kartika
Editor: Karin