Belakangan ini ramai perbicangan tentang RUU Penyiaran yang baru saja diserahkan oleh DPR, baik di kehidupan nyata maupun dunia maya. Bagaimana tidak, draft Undang-Undang tersebut sarat akan kontroversi dan ketidakjelasan, yang akhirnya menuai banyak penolakan dari beberapa pihak.
RUU ini telah lama disusun oleh DPR sejak tahun 2012, yang memuat terkait kebijakan-kebijakan penyiaran. Beberapa kalangan seperti Dewan Pers, pejabat, jurnalis dan lembaga sipil lainnya menolak disahkannya RUU ini.
Selain itu RUU tersebut diduga menjadikan ranah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lebih luas, bahkan hampir menjamah ke ranah Dewan Pers. Singkatnya RUU ini dapat membawa masa depan jurnalisme di Indonesia menjadi suram.
Sebagaimana RUU yang terbit pertanggal 27 Maret 2024 yang secara nyata membatasi kebebasan berekspresi para jurnalis di Indonesia. RUU ini juga menjadi sorotan karena dianggap memberikan keluasan makna penyiaran dan kewenangan yang tumpang-tindih. Adapun pasal-pasal yang dianggap bermasalah dan menuai kontroversi antara lain:
1. Pasal 8A huruf q
Pada pasal ini disebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengeketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Hal ini bertentangan dengan UU nomor 40 tahun 1999 yang menyebutkan tentang sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers bukan oleh KPI.
2.Pasal 42 ayat 2
Tidak jauh berbeda dengan pasal 8a, pada pasal ini membahas tentang sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Sedangkan berdasarkan UU pers penyelesaian sengketa dilakukan oleh Dewan Pers.
3.Pasal 50B ayat 2
a. Huruf c berisi tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal itu bertentangan dengan UU Pers nomor 40 tahun 1999 pasal 4 ayat 2 yang berisi bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredalan, atau pelarangan penyiaran.
b. Huruf d berisi tentang larangan penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh Masyarakat.
c. Huruf k berisi tentang larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Jika RUU ini disahkan maka jangkauan KPI akan menjadi semakin luas dan mereka berhak melarang tayangan tentang kekerasan, psikopat, atau hal-hal yang bersifat kekerasan lainnya untuk tayang di televisi, Netflix, Disney, atau platform lainnya.
Maka seharusnya perlu adanya kerjasama antara KPI dan Dewan Pers agar tidak terjadi tumpang-tindih tentang kewenangan terkait sengketa jurnalistik. RUU Penyiaran juga dapat merugikan Dewan Pers karena kewenangannya diambil alih oleh KPI.
Padahal kedudukan KPI dengan Dewan Pers sebenarnya sama, namun terjun ke ranah yang berbeda. Dimana KPI yang seharusnya di ranah siaran televisi dan Dewan Pers ke ranah media massa.
Semoga DPR bisa berbenah-merevisi dan kembali mengurusi sesuatu yang sesuai dengan kehendak rakyat, bukan malah melanggengkan kuasa birokrat.
Penulis: Miftahatus Salmah