Foto: Google |
Cerita perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan seperti Raden Adjeng Kartini masih teringat oleh masyarakat Indonesia, ia adalah satu diantara tokoh yang memperjuangkan martabat perempuan pada masa penjajahan. Sosok Kartini sangat dikenal luas baik oleh siswa, mahasiswa maupun seluruh masyarakat Indonesia. Namun perjuangan Kartini tidak hanya sampai disitu.
Sampai hari ini masih banyak kelompok perempuan yang mau mengikuti jejaknya, dalam hal ini mereka menjaga kualitas dirinya agar menjadi perempuan yang bermartabat. Mereka tidak hanya berkembang di dalam rumah tangga saja, melainkan diberbagai kalangan baik skala kecil maupun besar.
Mereka membuat kelompok dengan dasar dan prinsip yang kuat, mereka sadar akan kurangnya pemberian hak, masih banyak kasus-kasus pelanggaran yang dialami perempuan, serta adanya pengabaian perempuan.
Misalnya pada tahun 2017, lembaga advokasi dan konseling mencatat ribuan kasus pelanggaran dan pengabaian bagi perempuan masih sering terjadi. Melalui dasar pengakuan internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), Indonesia mencoba untuk mewujudkaan atas tingginya martabat perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak sedikit pula yang menyoroti kekerasan seksual dan penghilangan nyawa dan lainnya.
Baca juga: Awan Semar Merapi dan Harapan Wabah Berakhir
Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos yang mengatakan bahwa kini perempuan dalam status kerja sering mendapatkan kontrak ketimbang laki-laki. Saat ini masih banyak pula perusahaan yang mengakomodir hak kesehatan hak kesehatan reproduksi perempuan, misalnya pemberian cuti haid dan melahirkan serta laktasi.
Perempuan Indonesia yang menjadi buruh migran juga belum mendapatkan jaminan perlindungan yang baik dari pemerintah. Lebih lanjut, perempuan juga masih dijadikan sebagai objek eksploitasi untuk meraih sensionalitas dan komersialisme.
Meskipun begitu, perempuan di Indonesia kini juga sudah banyak yang mendapatkan hak dan kedudukanya dengan baik. Tetapi dalam dunia pendidikan, perempuan juga bisa dikatakan masih rendah dan masih banyak yang tidak mendapatkan haknya. Pada kenyataannya masih banyak perempuan hanya dapat menyelesaikan sampai ke jenjang sekolah dasar.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah, tidak hanya membuat program-program saja, melainkan melaksanakan program tersebut ke dunia nyata, dengan begitu kasus-kasus seperti ini sedikit demi sedikit akan segera teratasi. Ada beberapa alasan yang menyebabkan perempuan tidak memiliki keinginan atau kecenderungan untuk melanjutkan pendidikan.
Baca juga: Sayidah Aisyah Tak Sekadar Lagu “Aisyah Istri Rasulullah”
Pertama, pandangan secara teologis bahwa perempuan merupakan bagian laki-laki, dia adalah tulang rusuk laki-laki. Pandangan ini diambil dari teks ajaran agama, bahwa yang menjadi pemimpin hanyalah kaum laki-laki sementara perempuan tidak.
Kedua, pandangan sosiologis, perempuan dalam berbagai hal banyak lebih diposisikan berada di dalam rumah. Lebih banyak berada didalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Pandangan ini juga memberi peluang adanya presepsi terhadap perempuan yang tidak perlu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, karena berada di ruang domestik itu.
Ketiga, pandangan psikologis yang mengkerdilkan peran perempuan bahwa ia dianggap tidak penting untuk memperoleh pendidikan tinggi karena posisinya yang lebih banyak menjadi seorang istri. Tradisi kita banyak anggapan perempuan harus segera dikawinkan. Kawin muda lebih baik daripada menjadi perawan tua. Orang tua merasa sangat ketakutan apabila anak perempuan tidak segera mendapatkan jodoh.
Sementara ada hal yang sangat penting sebelum masuk kajian teologis, perempuan juga mempunyai kemampuan dan tanggungjawab untuk menciptakan suasana keluarga yang sakinah, Kedua, dalam peran sebagai anggota masyarakat perempuan menempati posisi yang strategis dan serantai dalam pembangunan lingkungan.
Baca juga: Gembira, Obat Mujarab Lawan Corona
Penjelasan diatas menjadi bias yang menghasilkan adanya mengakui dan pengingkaran terhadap peran dan martabat perempuan, ia hanya diasumsikan keberadaan tidak lain hanya sebatas ibu rumah tangga, yang harus melayani ketika suami pulang dari kerja, memasak nasi, mengurus anak dan menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya.
Dalam urusan rumah tangga sejatinya semua peraturan itu dapat diubah, dan keluarga tersebut dapat mematuhi segala peraturan yang sudah ditentukan sejak awal keluarganya.
Oleh karena itu, perempuan mempunyai beban peran multi dimensi yang menghasilkan reaksi aktif dimensi, dan kreatif dalam mengembangkan nilai-nilai positif, sekaligus mengurangi nilai-nilai negatif di lingkungan masyarakat sekitarnya. Disinilah, perempuan punya peran kuat dan luas untuk mendukung terciptanya pengertian emansipasi.
Oleh: Moch. Hafidz