Ketika teman pondok saya menyambut hari santri dengan pawai ke alun-alun ataupun dengan istighosah bersama, maupun ziarah ke makam sunan dan para wali. Sedangkan saya harus menjalani tugas kuliah di luar lingkungan pondok pesantren. Muncul pertanyaan di benak saya? Siapakah saya? Apakah saya juga santri? Ataukah hanya mahasiswa? Apakah mahasiswa bisa menjadi santri pula?
Ditemani segelas kopi lasem serta sebuah gorengan hangat di kota wali, saya menuliskan pergolakan pikiran saya. Lingkungan pesantren serta lingkungan kampus.
Kata “Santri” sering dikaitkan dengan orang yang menetap di pondok pesantren dengan keseharianya mengaji al-quran, mengkaji kitab kuning atau kitab salaf klasik. Dengan kostum yang identik dengan peci hitam, sarung melingkar di tubuhnya bahkan bekas luka kulit yang menjadi ciri khas tersendiri dari seorang santri.
Menurut Dr. Nurcholis majid kata “santri” berasal dari bahasa sansakerta “sastri”, yang berarti orang yang melek huruf, adapula pendapat kedua bahwa kata “santri” berasal dari bahasa jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di manapun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.
Sedangkan menurut KH. Said Aqil Siraj, “santri” adalah kelompok umat islam yang memahami, mengkaji, dan mengamalkan ajaran islam. Siapapun dan dari manapun:baik lintas-ras, etnik maupun budaya. Pendapat ini bisa disimpulkan bahwa santri bukan hanya yang menempati lingkungan pesantren saja. Tapi mereka yang belajar agama di dalam masyarakat dan mampu menempatkan diri di masyarakat termasuk seorang santri.
Pesantren merupakan tempat menempuh pendidikan bagi para santri. Dalam sejarahnya, pesantren selalu menjadi basis bagi dua hal, yaitu pemberdayaan masyarakat, baik masyarakat pesantren maupun masyarakat sekitarnya, dan basis bagi perlawanan ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, pesantren menekankan padadua aspek pemberdayaan, yaitu pemberdayaan keberagaman dan pemberdayaan kesejahteraan.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kegiatan yang melatih para santri untuk bermasyarakat. Dalam lingkungan pesantren misalnya, banyak santri yang berbeda asal usul yang digabungkan dalam satu ma’had atau lingkungan. Mereka secara tidak langsung di latih bersosialisi terhadap masyarakat diluar masyarakat lingkungan mereka, termasuk budaya dan kebiasaan masyarakat lain. budaya seperti “roan” dan “Bashulqutub” melatih santri untuk berkontribusi kepada lingkungan dan bersikap kritis terhadap suatu hal ataupun masalah yang dihadapi masyarakat.
Sami’na wa atho’na, kalimat yang sering saya dengar dari guru-guru saya ketika mengajar. Sebuah kalimat yang memiliki konsep kami mendengar dan kami melakukanya. Memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan santri itu sendiri.
Tentang mahasiswa, saya belum menemukan definisi yang spasifik tentang arti mahasiwa. Mahasiswa sendiri adalah seseorang yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sedang aktivis adalah orang yang giat bekerja untuk kepentingan suatu organisasi politik atau organisasi masa lain. dia mengabdikan harta atau pikiranya untuk mewujudkan cita-cita organisasi.
Dalam pengertian diatas muncul pertanyaan di benak saya. Bagaimana nasib seorang santri yang menjadi aktivis dalam suatu organisasi? Sering pula santri yang menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi mengalami masalah tentang pembagian waktu, antara perkuliahan, mengaji serta organisasi. Sering pula para santri yang tidak kuat dengan peraturan di pondok pesantren meninggalkan pondok (boyong) karena lebih memilih kampus dan organisasinya. Kadang pula civitas akademik, dan lingkungan aktivis kampus menuntun seseorang santri untuk total dalam organisasi yang di ikuti. Ini yang patut disayangkan dalam sebuah organisasi.
Sami’na wa atho’na, kalimat yang sering saya dengar dari guru-guru saya ketika mengajar. Sebuah kalimat yang memiliki konsep kami mendengar dan kami melakukanya. Dalan QS. An-Nisa’ ayat:59 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan para rasulnya dan ulil amri diantara kamu” dalam hal ini ulil amri adalah ulama dan para guru yang mengajarkan tentang islam di lingkungan pesantren maupunmasyarakat.Namun, seringkali kalimat ini diselewengkan dari makna sebenarnya oleh pihak yang terjebak oleh fanatisme yang berlebihan yang membuat pikiran yang tidak sehat dan kurang etis pun dapat terjadi.
Adapula sekelompok oknum yang menggunakan nalar kritisnya guna mematahkan konsep ini. padahal konsep inilah yang menjadi kelebihan dan khas dari pendidikan berbasis pesantren. Karena dalam konsep ini santri di tuntut untuk mencari lebih dalam lagi suatu permasalahan yang terjadi tanpa adanya sikap menolak di dalam suatu masalah.
Dalam pengajian kitab kuning misalnya, seorang santri hanya boleh mencatat dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya tanpa adanya pertanyaan dan feedback. Tentu jika orang- orang pada umumnya menjalani metode seperti ini akan mengalami masalah dalam pemahamannya. Tetapi santri memiliki metode lain dan menggunakan kegiatan bashul masail (diskusi) sebagai ajang mempertajam pemahaman, menambah wawasan serta memahami apa yang diajarkan oleh gurunya, tanpa mendebatkan secara langsung dihadapan guru dan tetap menjaga kesopanan serta kepatuhan terhadap guru.
Sebagai mahasiswa mungkin Konsep sami’na wa atho’na kurang pas diterapkan dengan nalar kritis mereka. Tetapi konsep sami’na wa atho’na lah yang menjadi pengembang ilmu pengetahuan di lingkungan pesantren bahkan lingkungan akademis. Sebuah konsep pendidikan modern yang sudah diterapkan oleh pesantren di masalalu.
Saya santri, Saya Indonesia.
Penulis : Ahmad Ghufron Faiz