Dalam berat dan kerasnya hidup yang kita jalani, sering terbesit persangkaan buruk kepada Sang Pemberi Takdir. “Mengapa hidupku teramat susah, sedangkan orang lain hidup serba mudah?”
Bila disebut satu persatu segala resah manusia, tentu tidak akan ada habisnya. Karena begitulah tabiat manusia, suka berkeluh kesah (Qs. Al-Ma’arij:19).
Terkadang sebagian manusia menganggap dirinya lemah tidak berguna, hingga bersedih hati karenanya. Sekali lagi kita bertanya pada Sang Maha Kuasa, “Kenapa aku ditakdirkan hidup tidak bahagia?”
Bila disuruh memilih antara hidup bahagia atau hidup sengsara, maka semuanya sepakat bahkan tanpa perlu bertanya pun kita sudah tahu jawabannya, hidup bahagia.
Sebodoh, selicik, atau sejahat apapun manusia, tak ada yang memilih hidup sengsara. Semuanya ingin bahagia. Tanpa sadar manusia memang diciptakan di dunia tidak selalu bahagia.
Baca Juga:Masuk Kuliah Sebentar Lagi, Catat Tanggalnya!
Perihal Kesedihan dan Kebahagiaan
Menurut Rafael Euba, dosen Psikiatri senior di King’s College London dalam sebuah artikel di The Conversation disebutkan bahwa kebahagiaan adalah hasil rekaan manusia yang abstrak dan tidak nyata.
Disebut demikian karena memang tabiat manusia yang tidak pernah puas. Namun karena sifat ketidakpuasan itulah yang menyebabkan manusia berkembang dan bertahan hidup.
Dalam satu hadits juga disebutkan, “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekali tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih).
Lebih lanjut artikel tersebut juga menyebutkan dalam memori otak seseorang akan lebih mudah mengingat memori kesedihan dengan sangat jelas ketimbang mengingat kebahagiaan.
Misalnya, apa yang kamu rasakan apabila menjadi wisudawan terbaik universitas? Lalu apa yang kamu rasakan apabila orang yang kamu cintai telah tiada? Dan mana di antara keduanya yang bakal paling membekas? Tentu kesedihan karena ditinggal orang yang kita sayangi.
Baca Juga:Konflik Agraria: Tanahmu, Tanahku
Namun bila ditelisik, apabila kesedihan dan depresi menimpa seseorang dan orang tersebut mampu bertahan lalu terus maju, maka ia akan mulai beradaptasi terhadap suatu permasalahan yang menimpanya.
Mungkin akan terasa sakit di awal. Sedih, kecewa, tak berselera makan, apalagi bila menyangkut pada hal yang dirasa istimewa. Namun, akan ada masanya kita mampu melupakan semuanya hingga akhirnya kembali kuat.
Jadi, apakah kesedihan itu abadi sedangkan kebahagiaan itu sebatas ilusi? Jawabannya ada pada kalimat di cover buku berjudul “Tasawuf Modern”. Yakni, “Bahagia itu dekat dengan kita, ada di dalam diri kita.”
Menjadi Manusia Bahagia
Ketika kita memaknai bahagia sebagai kebutuhan dan tujuan hidup, yang mana merupakan sesuatu di luar diri, maka jangan salahkan diri tatkala tidak bisa berbahagia. Namun, bila bahagia ditempatkan pada tempatnya, di dalam diri kita, maka kita akan berbahagia.
Bersedih dan berbahagia adalah sifat yang manusiawi. Kehadirannya menjadikan seseorang cengeng dan egois, sebab berlebih sifat pada keduanya (sedih dan bahagia). Adapun bila kurang keduanya, hati tak lagi peka dan hidup suram. Oleh sebab itu, diletakkanlah keduanya pada tempatnya, yaitu di tengah-tengah dengan bersyukur.
Benar sekali jika dalam Islam berusaha untuk melihat orang yang ada “di bawah” kita agar senantiasa bersyukur. Padahal nasi sudah masak, pun rumah masih kuat berdiri tegak.
Baca Juga:3 Hal Menjadi Perempuan Pembangun Peradaban
Tentu kita tak asing mendengar perkataan “La tahzan innallaha ma’ana” (Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita). Kalimat itu merupakan petikan Surah At-Taubah ayat 40 yang menganjurkan agar manusia tidak bersedih hati dalam menjalani hidup.
Bila diruntut, ayat ini turun sebagai penenang kepada Abu Bakar yang saat itu tengah bersembunyi di dalam gua bersama Rasulullah SAW dari kejaran orang kafir Quraisy. Dengan hati yang damai tiada cemas, maka pikiran pun tenang sehingga mampu mengambil keputusan dengan jernih pula.
Bila belum cukup, cobalah kita teladani saja kisah “Si Rupawan” itu, seorang yang selalu diingat oleh Rasulullah sebagai penguat perjuangan dakwahnya. Kisah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “sebaik-baik kisah”, ialah kisah Nabi Yusuf as.
Korban persaingan antar saudara, percobaan pembunuhan, perdagangan manusia, perbudakan, fitnah kekerasan seksual, hingga korban pengkhianatan.
Sudah cukup kiranya kalaupun ia berkeinginan menjadi seorang psikopat ataupun pembunuh sebab suramya masa lalu. Namun, si rupawan tersebut memilih untuk berjuang. Ia maafkan masa lalunya, hingga atas izin-Nya dikuatkan diri menghadapi semua ujian dari Allah.
Mungkin tak adil bila membandingkan diri dengan seorang nabi. Namun bukankah Allah sendiri yang menjanjikan menurunkan ujian sesuai dengan kadar kemampuan hamba-Nya? Bukankah Allah menguji hamba-Nya justru sebab Ia adil dan sayang pada hamba-Nya?
Kalau kata Wira Nagara, “Berbiasalah, berbahagialah.”
Penulis: Haqqi Idral