Buy now

27 C
Semarang
Senin, November 25, 2024
spot_img

Bayang-bayang Pengharapan

Aku terbangun dengan peluh membasahi dahi, napasku tersengal-sengal karena mimpi barusan. Terduduk secara spontan membuat kepalaku berdenyut
Aku terbangun dengan peluh membasahi dahi, napasku tersengal-sengal karena mimpi barusan. Terduduk secara spontan membuat kepalaku berdenyut,  lpmmissi.com/pixabay/StockSnap

Buku-buku, koleksi figur mainan, pakaian, dan semua barang telah tersusun rapi. Aku memandangnya lega sebelum menghempaskan diri ke ranjang penuh kapuk, terlupa untuk membereskan yang satu ini. Seminggu lalu sejak upacara kelulusan, banyak hal yang telah ku raih, juga sederet hal-hal lain yang harus ku lepaskan. Segala benda mati dalam kamar ini menjadi saksi bisu, tentang gelar sarjana yang dulu sangat kuharapkan, yang sekarang kupertanyakan lagi pengharapan itu.


“Mas, makan dulu”
“Iya, bu”
Segara kutinggalkan buku PR matematika yang masih terbuka, langkahku cepat berlari menuju meja makan dengan aroma menggoda itu, di sana, wanita yang paling kusayangi di seluruh dunia, ibuku, sedang menyendokkan sepiring penuh nasi panas yang tentunya hanya untukku seorang.
Waktu yang paling kusenangi kala itu tentunya waktu makan siang, hanya pada saat itulah ibu menyempatkan diri untuk makan bersamaku, karena dia harus berangkat bekerja shif malam setiap harinya.

Percakapan penuh antusiasme antara kami berlangsung seusai makan dan berhenti kala terdengar suara ketukan pintu, aku segera membereskan alat makan dan mencucinya, sementara ibu bangkit menuju pintu depan. Di sana tampak sahabatku, Laksita, yang kemudian menyusulku ke dapur.

Baca Juga: Ketika Cinta Berbicara

“Tolong, Rai. Aku janji ini yang terakhir kali, besok aku pasti aku hafalkan rumusnya” ia memasang muka memelas, yang kuperkirakan akan terlihat lagi minggu depan.
“Ujian dua minggu lagi, mau dapat nilai berapa kalau kamu belum hafal rumusnya nanti? Kerjakan sendiri!”
“Tapi ajar”

Ia menyodorkan bukunya penuh harap, kupandangi benda persegi itu dengan datar. Sebelum kemudian ku ambil alih dan mengangguk dengan pasrah.
Waktu yang sangat berharga untuk membahas rencana universitasku selepas lulus nanti harusnya segera ku bicarakan dengan ibuku, disela-sela waktu luangnya yang sedikit itu. Tapi melihat Laksita belum juga menghafal rumus penting yang akan diujikan dua minggu ke depan hanya membuatku tidak tenang. Kutunjuk ruang tamu dengan dagu, perempuan periang itu melompat senang.

“Yeaay, terima kasih Arai!” dan setelahnya ia berlari sambil mengayun-ayunkan tangannya.

Siang itu terasa begitu damai, aku mengajarkan rumus pada Laksita langkah demi langkah, walaupun terkadang tersandung nada dering atau notifikasi ponselnya.

“hehehe bentar ya, Rai, klien maha penting” kalimat itu sudah kelima kalinya kudengar sejak kami memulai pembelajaran 20 menit lalu.
Tak lama kemudian, ia kembali dengan wajah berseri
“klienku beli anggrek 5 pot, dibayar di muka”

Ya, inilah sebab Laksita kesusahan menghafal rumus matematika, pikirannya dipenuhi dengan bisnis tanaman hias yang sedang ia lakoni bersama sang pacar—yang akan segera menjadi suaminya—itu.
Laksita kembali memegang bolpoin dan mengerjakan soal yang kuberikan, asyik mengukir angka-angka sembari bersenandung lirih, dan makin aku memperhatikan hal itu, makin meningkat keinginanku untuk mengatakan sesuatu padanya.

“Ada info beasiswa barangkali kamu mau”
Laksita berhenti menulis dan memandangku dengan tatapan jengkel
“Rai, ke mana kamu pergi Sabtu kemarin?”
“Datang ke proses foto pranikah Wijaya dan calon istrinya”
“Nah” Laksita menjentikkan jarinya “Lagi pula masih banyak waktu ditahun-tahun mendatang, kan”
“Iya, tapi beasiswa ini penuh, biaya hidupmu saat kuliah nanti akan lebih sedikit dibanding uang sekolah adik tirimu sebulan”
Laksita menarik nafas dan menghempaskannya berat, ia mengedarkan pandangnya jauh ke hamparan sawah hijau di luar jendela.
“Kalau bukan aku yang biayai keluarga, siapa lagi?”
“Nah” aku balas menjentikkan jariku menirukannya
Kami saling bertatapan sesaat sebelum melepaskan tawa, berharap segala beban di hatiku juga ikut terlepas bersamanya.

“Kenapa kamu memilih jurusan ini?”
“Melalui ilmu yang saya dapat pada jurusan hukum, saya berharap dapat mengimplementasikannya untuk memecahkan konflik para masyarakat di luar sana. Keinginan saya berangkat dari latar belakang keluarga yang pernah merasakan ketidakadilan karena lemahnya payung hukum.”
“Apakah keinginanmu sudah tercapai, barang satu persen?”
“Belum, belum tercapai sama sekali”

“Kenapa kamu ingin jadi sarjana hukum, Rai?”
“Aku ingin tahu hukuman yang seharusnya didapatkan oleh seseorang, jadi makin banyak orang lain yang mendapat keadilan karenanya.”

“Saya ingin pulang, pak. Sehari saja untuk menemani ibu saya operasi di Rumah Sakit, tolong”
“Memangnya kepulanganmu bisa menjamin ibumu selamat? Lalu acara ini bagaimana? Jadilah pengelola yang bertanggungjawab!”
“Tapi-”
“Sudah! Saya tidak mau dengar lagi! Kalau saya sampai tidak melihat kamu selama acara nanti, 8 SKS kamu akan dapat nilai E”
“Tapi, pak, ini penting, dan beasiswa saya tidak memperbolehkan saya mengambil lebih dari 8 semester”
“Saya tidak peduli! Tetap di sini atau nilai E?”

“Halo Rai, sekarang kamu lagi apa? sibuk?”
“Aku lagi di tengah acara jurusan, kabar ibu bagaimana? Operasinya berhasil?”
“Oh kalau begitu, aku telepon lagi nanti malam ya”
“Kamu mau bilang apa? Bilang sekarang saja, Operasi ibu berhasil, kan?”
“Halo Rai, ini Wijaya, kirim alamatmu segera ya, agar nanti bisa kujemp-, ah kirim alamatmu saja sekarang, kututup teleponnya, terima kasih.”
“Kenapa? Wjiaya? Sita? Laksita? Halo?”

Aku terbangun dengan peluh membasahi dahi, napasku tersengal-sengal karena mimpi barusan. Terduduk secara spontan membuat kepalaku berdenyut, pandangan kaburku pada pantulan cermin menampilkan aku, seorang laki-laki yang gagal, tidak berhasil menggapai mimpi, tidak lagi mempunyai rencana, barang satu pun. Inikah sosok laki-laki yang mereka harapkan untuk datang sewaktu itu? Sewaktu aku masih memiliki nilai sebagai seorang manusia, seorang sahabat yang disayangi, seorang anak yang dirindukan.

Inikah langkah yang kupilih dahulu?
Inikah yang aku inginkan?
Kicauan burung mengalihkan perhatianku, mereka tetap datang walaupun tak lagi terlihat hamparan sawah hijau, mereka tetap berkicau walaupun tak lagi menemukan limpahan makanan, mereka tetap melanjutkan hidup walaupun semuanya telah berubah.
Ah rasanya aku ingin menjadi burung saja.

Penulis: Aisha Veranda Kartika

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[td_block_social_counter twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333" instagram="https://www.instagram.com/lpm_missi/?hl=en"]

terkini