Emansipasi
Apa yang pertama kali terlintas saat mendengar kata Emansipasi? Kebanyakan orang pasti akan menduga bahwa kata selanjutnya adalah Perempuan. Seakan keduanya satu kesatuan yang tak terpisahkan. Namun, apa jadinya bila kata Emansipasi diimbuhi dengan kata Lingkungan? Topik yang sangat jarang sekali diangkat, terlebih bila dihubungkan dengan ajaran Agama Islam.
Dalam KBBI, Emansipasi adalah pembebasan dari perbudakan yang berkaitan dengan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Maka termasuk juga di dalamnya adalah memperjuangkan keadilan, merdeka dari penindasan dan jerat pembatasan hak kemanusian. Dalam konteks lingkungan, pembebasan di sini dapat bermakna bebas dari segala sesuatu yang dapat merusak lingkungan.
Namun, bila ditelisik bukankah yang terjadi justru manusia-lah biang dari kerusakan yang ada di bumi, buah atas sifat binatang yang ada padanya alias tamak. Terpampang beberapa fenomena seperti kerusakan hutan, pemanasan global, krisis iklim, dan pencemaran. Bukankah kesemuanya buah hasil dari tangan kotor manusia itu sendiri?
Sudah tahu demikian, lalu kenapa Allah tetap “Ngotot” di dalam firman-Nya (QS. Al-Baqarah:30) dengan menjawab “Sungguh, Aku (Allah) mengetahui apa yang tidak kamu ketahui?”. Padahal di ayat yang sama malaikat sudah sempat memprotes, tidak sependapat bila manusia yang menjadi khalifah (pemimpin) di bumi. Lantas bagaimana Islam menanggapi fenomena tersebut?
Baca Juga:Ciderai Demokrasi, Aliansi Pers Jawa Tengah dan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Penyiaran
Manusia: Khalifah fil Ardh
Manusia. Ciptaan Sang Pencipta yang dibekali rasa, logika, dan panca indra. Membawahi hajat hidup makhluk lain di bumi, entah akan dibawa pada perdamaian atau justru kerusakan. Dalam hal perdamaian, Agama ambil peran dalam menuntun para pemeluknya agar berlaku kasih sayang dan toleransi.
Agama Islam sendiri menawarkan konsep rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam), menunjukkan bahwa Islam bertujuan untuk membawa kedamaian bagi semua, tak terbatas pada pemeluknya saja. Diutusnya Nabi Muhammad di dunia tak lain sebagai penyempurna akhlaq, dengannya peradaban Islam dibangun berlandaskan tauhid dan pengamalan amar makruf nahi munkar.
Dalam menjadi khalifah fil ard (pemimpin di bumi), Prof. Dr. Muhammad Azhar, M.Ag. salah seorang penyusun draft “Fiqih Agraria Muhammadiyah”, menyebut ada 2 jenis manusia, yakni mereka yang amanah dan mereka yang khianat. Mereka (manusia) yang amanah adalah yang berlaku baik pada lingkungan, menjaga makhluk yang lain, baik makhluk hidup juga makhluk mati. Sebaliknya, mereka yang khianat adalah yang berbuat kerusakan dan gemar merenggut hak makhluk lainnya.
Meskipun belum disahkan, draf ini memuat Nilai-Nilai Dasar Islam (al-Qiyām al-Asāsiyyah) terkait agraria, seperti, Al-Tauhid, Al-Akhlaq al-Karimah, kemaslahatan, keadilan, kemanusiaan, dan musyawarah. Nilai-nilai tersebut bisa dijadikan sebagai pijakan akan tanggung jawab manusia terhadap eksosistem alam.
Manusia dan “Sedikit” Kerusakannya
Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia membuat-membangun peradaban yang terkadang perlu mengorbankan makhluk hidup lainnya, bahkan sesama manusia itu sendiri. Pembukaan lahan untuk pemukiman, perkebunan, pertambangan, hingga Proyek Strategis Nasional (PSN). Kesemuanya tentu bertujuan baik guna meningkatkan taraf hidup manusia yang ada di sana. Namun yang umum terjadi bukankah justru sebaliknya?
Pembangunan terus berjalan tanpa memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga kerap menuai konflik agraria dengan masyarakat sekitar. Begitu juga dampak kerusakan lingkungan yang mesti ditanggung oleh penduduk lokal. Penggundulan hutan, bencana banjir, pencemaran sumber air, hingga rusaknya habitat binatang, menjadi dampak paling serius dari kelalaian manusia terhadap lingkungan.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023 setidaknya ada 241 kasus konflik agraria di Indonesia. Konflik tersebut melibatkan area seluas 638,2 ribu hektare, serta berdampak pada 135,6 ribu kepala keluarga. KPA mencatat, kasus konflik agraria pada 2023 banyak terkait sektor usaha perkebunan (108 kasus), bisnis properti (44 kasus), pertambangan (32 kasus), dan proyek infrastruktur (30 kasus).
Baru-baru ini muncul sebuah persoalan terkait hutan di Papua tepatnya di Boven Digoel seluas 36 ribu hektare rencananya akan dibabat dan dialih fungsikan menjadi perkebunan. Beberapa aktivis bersama perwakilan masyarakat adat pun mengadakan aksi di depan gedung Mahkamah Agung (MA) dan menggugat PT Indo Asiana Lestari. Proyek tersebut juga berpotensi menghilangkan emisi 25 juta ton C02. Hingga narasi tentang All Eyes on Papua bergema di medsos, datang sebagai bentuk dukungan terhadap kelestarian lingkungan.
Maka negara sebagai pemegang kebijakan sepatutnya juga bertindak tegas kepada para perusak alam, bukan malah memberikan karpet merah atau justru sebagai pelaku kerusakan lingkungan. Fakta yang terjadi ialah negara malah memberlakukan kebijakan yang jangankan memberikan efek jera, yang ada justru deforestasi masih lestari hingga kini. Bahkan banyak pejabat-pebisnis tambang dan perkebunan sawit yang menduduki kursi Kementerian atau Legislatif.
Islam dan Emansipasi Lingkungan
Sebagaimana Agama-Agama lain di dunia, Islam juga mengamanahkan pemeluknya agar menjaga-merawat bumi sebaik-baiknya. Penjagaan manusia dari segala bentuk kerusakan akan menciptakan keserasian, alam yang baik akan baik pula timbal baliknya terhadap manusia itu sendiri. Manusia yang menanam pohon kebaikan, mereka juga yang akan menuai buah kebaikan atasnya. Bahkan bukankah manusia itu sendiri mulanya diciptakan dari tanah dan akan kembali ke dalam tanah juga?
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” Makna tersirat di dalamnya adalah umat Islam harus menjaga lingkungan. Manusia dengan segala kemampuannya harus mampu mengelola sumber daya alam yang diberikan Allah, kemudian selanjutnya diolah sehingga bisa memberikan kebermanfaatan kepada makhluk hidup lainnya. Termasuk juga dalam merumuskan kebijakan publik dan pemberlakuan hukum yang tegas.
Hal demikian sangat penting untuk disimak terlebih hari ini yang bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup. Hari yang semestinya menjadi refleksi kepedulian bersama. Sebagai khalifah di bumi, sebagai makhluk spesial dengan kelebihan perkakas akal dan panca indra, serta Islam dengan sejarah menawan kebersihan dan peradabannya di masa lampau.
Sudah seharusnya manusia menyepakati bersama bahwa keseimbangan intelektual harus dibarengi dengan keseimbangan penjagaan terhadap lingkungan. Selamat hari lingkungan hidup nasional, salam lestari.
Penulis : Haqqi Idral