Foto: Lpmmissi.com/ Wikipedia.org |
Menjelang Puasa Ramadan, masyarakat Jawa kerapkali disibukkan dengan tradisi kental yang bernama Nyadran. Nyadran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti mengunjungi makam atau tempat keramat untuk memberikan doa kepada leluhur dengan membawa bunga atau sesajian.
Nyadran biasa diadakan pada bulan Sya’ban atau masyarakat Jawa menyebutnya dengan bulan Ruwah. Ritual ini dianggap sakral dan dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang. Masyarakat berziarah ke makam orangtua dan sanak saudara yang telah meninggal. Sebelum ritual diawali dengan besik (pembersihan) makam leluhur, lalu makan bersama atau perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat dan sebagainya yang disebut kenduri dan ditutup dengan pembacaan ayat Al-Qu’ran, zikir, tahlil, dan doa.
Baca juga:Tidak Ada Pohon, Tidak Ada Buku
Dari segi sosio-kultural, Nyadran merupakan tradisi dari Hindu-Buddha namun oleh Walisongo diakulturasikan dengan budaya Islam di Jawa. Walisongo ingin membenarkan kepercayaan masyarakat Jawa masa itu tentang pemujaan roh yang dianggap sebagai perbuatan musyrik. Sehingga untuk memintasi hal tersebut diselaraskan dengan ajaran Islam.
Nyadran memberikan pelajaran penting tentang kerukunan. Sanak saudara yang jarang bertemu bisa berkumpul dan bercengkrama bersama. Meski dengan hal sederhana, tatap muka secara langsung memberikan nilai positif dalam lingkungan sosial. Kerap kali konstruksi sosial menghambat mereka dalam bersosialisai. Sehingga tradisi nyadran adalah momen yang tepat untuk memperbaiki komunikasi yang sudah terjalin sebelumnya.
Baca jugaAwan Semar Merapi dan Harapan Wabah Berakhir
Selain menjadi identitas dan karakter Islam di Indonesia, Nyadran juga menjadi daya tarik bagi para pelancong mancanegara. Ritual tersebut dinilai memperlihatkan kerukunan dalam masyarakat setempat, serta entitas sebuah kegembiraan, rasa syukur dan penghormatan kepada Sang Pencipta.
Meskipun ritual Nyadran hanya dilakukan sekali dalam setahun, Nyadran dianggap menumbuhkan nasionalisme lantaran masyarakat menjadi bisa memaknai arti kebersamaan dalam mengikuti serangkaian ritual sederhana. Serta menciptakan toleransi terhadap perbedaan yang ada.
Baca juga: Kemunduran Adab Kartini Zaman Now
Ajaran Nyadran yang disinkretiskan dengan budaya Hindu-Buddha dan Islam menjadi jembatan untuk memudahkan Walisongo dalam bersyiar. Implementasi Nyadran mengandung makna filosofis, yakni kemesraan rohani antara manusia, leluhur dan Allah. Terjalin pula hubungan antar manusia (hablumminannaas), manusia dengan Allah (habumminallah), serta manusia dengan alam (hablumminal’alam), antara satu dengan yang lain saling berkorelasi. Sehingga tradisi Nyadran pantas kita lestarikan sebagai perwujudan refleksi kecintaan kita terhadap Nusantara.
Dalam serangkaian tradisi Nyadran, terdapat pula kenduri dimana mereka bertukar makanan ataupun makan bersama setelah berziarah ke makam leluhur mereka. Dengan itu, mereka bisa saling berbagi rezeki yang diperoleh dari Allah SWT. Serta mereka lebih memahami arti kebersamaan dan guyub rukun dalam hidup bermasyarakat.
Oleh: Mafriha Azida