Buy now

27 C
Semarang
Senin, November 25, 2024
spot_img

7 Hate Speech & ‘Ciutnya’ Mental Netizen Indonesia

Netizen
Doc. Repro

oleh : Korie Khoriah

Selamat datang di Indonesia! Di mana masalah kecil sangat mudah dibesar-besarkan. Terutama setelah media sosial marak digunakan oleh masyarakat. Wahana yang semestinya dimanfaatkan untuk memudahkan mobilitas komunikasi itu, jika tidak disikapi dengan bijak justru menjelma menjadi arena pertempuran bagi mereka yang ‘maaf’ nyalinya ciut. Ujaran kebencian (hate speech) yang bertebaran di media sosial menunjukkan betapa rendahnya mental netizen di Indonesia, karena hanya berani main di belakang punggung orang lain.
Kolumnis kenamaan Amerika Joel Stein dalam sebuah tulisannya di Majalah  Time menyebut media sosial telah mendorong masyarakat modern untuk tunduk pada budaya gemar menebar kebencian dengan saling menghina dengan memberikan komentar kasar demi memuaskan hasrat bersenang-senang.
Satu contoh kasus bullying yang menimpa Psikolog Spesialis Pengasuhan Anak Elly Risman beberapa waktu lalu karena dituding telah menghina salah satu girl band asal Korea Selatan. Penulis tidak bermaksud membela Elly Risman atau pihak manapun. Melainkan hanya berusaha melihat kasus ini daripada kacamata anak Indonesia yang merasa pilu melihat sesosok orangtua dihujat habis-habisan oleh netizen (terutama penggemar dari girl band tersebut) yang kebanyakan usianya jika disejajarkan sudah seperti anaknya sendiri. Dipikir secara logika saja, perbuatan tersebut sangat tidak patut. 
Terlalusering seseorang diberi asupan hal baru, sesuatu yang awalnya tabu berangsur-angsur akan dianggap normal. Begitu pula dengan menebar kebencian di media sosial. Mengapa hal itu sangat mudah dilakukan dan pelakunya seolah tidak memiliki rasa takut dan merasa bersalah atas perbuatan yang sebenarnya tidak patut?.
Menurut pengamatan penulis, salah satu jawabannya dikarenakan komunikasi antara komunikan dan komunikator di media sosial terhalang oleh sebuah sifat yang bernama ‘maya’. Pelaku komunikasi yang anonim, tidak saling mengenal, dan tidak saling bertemu di dunia nyata menyebabkan pelaku yang dalam hal ini netizen secara psikologis merasa bebas berbuat semaunya, toh tidak ada yang mengenalnya secara persis.
Saling menghujat, menyalahkan orang lain, main hakim sendiri tanpa klarifikasi memperlihatkan bahwa budaya musyawarah mufakat dalam menyelesaikan sebuah masalah mengalami degradasi yang luar biasa. Tak hanya itu, norma-norma kesopanan dan kesusilaan yang dulu merupakan jati diri bangsa Indonesia semakin luntur, sebagian pemudanya sudah tidak mengenal unggah-ungguh saat berkomunikasi dengan lawan bicara. Padahal seingat penulis, anak-anak Indonesia sejak kecil sudah diajarkan untuk hormat terhadap orang tua melalui budaya ‘salim’ atau menjabat tangan lalu mencium tangannya, minimal ketika akan berangkan ke sekolah.
Lalu, kalau sudah begitu kira-kira siapa yang bisa menjadi problem solver dari masalah yang jika dibiarkan akan semakin melemahkan moral bangsa itu? Pemerintah kah? Secara normatif hukum, pemerintah sudah mengatur perihal ujaran kebencian dalam Pasal 28 ayat (2) dalam UU ITE. Akan tetapi, lagi-lagi penulis ucapkan, Selamat datang di Indonesia! Di mana aturan ada hanya untuk dilanggar. 
Semakin banyak aturan, maka semakin banyak pelanggaran terjadi. Satu kasus terungkap, tak selang lama kasus-kasus baru yang serupa akan turut menghiasi wajah media massa di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa rasa takut akan jeratan hukum kelihatannya perlu dipertanyakan kembali? Lunturnya rasa takut akan hukum juga beriringan dengan melemahnya social trust dari masyarakat terhadap aparat hukum di Indonesia. Sebab suatu problem sosial masyarakat hampir selalu berkelindan dengan problem-problem sosial lainnya.
Itu artinya, aktor utama yang paling berperan menumpas penyakit hate speechini adalah masing-masing individu (netizen). Caranya dengan mulai melakukan reorientasi kembali terkait kehadiran dan pemanfaatan media sosial. Kembali mengenal jati diri sebagai bangsa Indonesia yang berbudi pekerti luhur. Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.
Di penghujung tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak untuk menyalahkan Indonesia. Sebab Indonesia seperti sehelai kertas putih yang isinya bergantung pada siapa yang menulis di atasnya. Maka, mari belajar menjadi penulis yang baik, agar tulisan dari sehelai kertas Indonesia dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi siapapun pembacanya.

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[td_block_social_counter twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333" instagram="https://www.instagram.com/lpm_missi/?hl=en"]

terkini