Foto: Lpmmissi.com/ Sabrina Mutiara Fitri |
Judul Buku : A Cup Of Tea
Penulis : Gita Savitri Devi
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2020
Tebal Halaman : viii + 164 hlm; 13 x 19 cm
Resentator : Sabrina Mutiara Fitri
Setiap orang pasti memiliki perjalanan hidup yang unik dan seru, tak terkecuali Gita Savitri Devi atau biasa kita kenal dengan sebutan Gitasav. Seorang influencer asal Indonesia ini menceritakan hidupnya ketika ia menimba ilmu di Negara Jerman. Bersekolah di luar negeri merupakan mimpi banyak orang dan tentu tidak mudah untuk diraih. Jika tidak memiliki tekad dan usaha yang kuat mimpi itu hanya angan semata. Gitasav melalui perjuangan yang telah dipupuk sejak kecil, akhirnya berhasil meraih mimpi besarnya untuk mengelilingi dunia.
A Cup of Tea menceritakan tentang perjalanan hidup seorang Gita dengan segala lika-liku yang dihadapi. Sejak kecil Gita memiliki ketertarikan untuk belajar bahasa dan kebudayaan negara-negara asing. Kedua orangtuanya pun sangat mendukung terlebih untuk membantu perkembangannya di dunia pendidikan. Disamping belajar untuk akademik, Gita tidak lupa untuk mencari keterampilan diri lainnya seperti melalui les vokal, belajar bermain piano, dan lainnya.
Sejak menginjakkan kaki di Jerman, Gita selalu berpegang pada prinsip “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemuadian”. Prinsip tersebut membawa Gita menolak ajakan beberapa temannya untuk jalan-jalan ke negara lain di Eropa pada akhir pekan. Menurutnya, akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk belajar, merangkum dan menghafal materi kuliah. Jika dihitung, maka ia dalam satu pekan hanya menggunakan waktunya untuk belajar demi memenuhi beban akademik.
Baca juga: Repotnya Menjadi Muslimah Indonesia
Gita mempunyai lingkaran pertemanan yang bisa dibilang cukup baik. Namun seiring berjalannya waktu, pertemanan tersebut menjadi janggal karena satu hal. Suatu hari ketika mereka harus mengurus suatu acara, saat itu juga Gita mengerjakan tugas yang berat. Karena kesibukan tersebut, Gita sulit dihubungi oleh teman-temannya. Hingga tiba saat mereka mengirimkan pesan panjang yang berisi kekecewaan mereka pada Gita.
Semenjak itu Gita merasa bahwa pertemanan itu toxic baginya. Jauh sebelum kejadian tersebut, Gita sudah merasakan ketika berteman dengan orang-orang itu ia tidak menjadi dirinya sendiri. Gita tidak pernah mendapat dukungan yang sebenarnya ia butuhkan. Bahkan ia merasakan ada persaingan diantara mereka, dalam hal akademis, pasangan, sampai gaya hidup. Tidak pikir panjang, akhirnya Gita memutuskan untuk menyudahi pertemanan mereka. Penyesalan pun tidak dirasa oleh Gita, karena ia merasa baik-baik saja sebelum maupun setelah mereka hadir.
Menjadi seorang influencer atau istilah lainnya yakni seseorang yang mampu memberikan pengaruh di masyarakat, memang harus pandai mengendalikan diri. Mungkin pekerjaan ini tidak ada hentinya. Sebab Gita memilih menjadikan media sosial sebagai tempat untuk menyebarkan pengetahuan. Tak lain pekerjaan ini selalu terhubung dengan internet dan pengguna internet.
Baca juga: Gelar Sarjana, Bukan Segalanya
Lingkungan kita kerap kali memiliki budaya yang menyertakan komentar buruk pada postingan-postingan di media sosial. Dalam hal ini Gita termasuk salah satu korban bully, atau sering disebut cyber bullying. Efek terjadinya cyber bullying bisa mengarah pada kesehatan psikis seseorang. Setiap kembali ke Indonesia, Gita menjadi takut untuk keluar rumah, berpapasan dengan orang, dan selalu dihantui dengan prasangka buruk.
Selain bercerita tentang pelajaran kehidupan, A Cup of Tea juga mengajak pembaca berkeliling dunia. Gita berhasil mendeskripsikan Negara-negara yang pernah dikunjungi dengan cerita perjalanan yang mengasyikan. Bertemu orang baru, mencari jadwal kereta yang sulit, hingga hampir tidak bisa pulang ke rumah juga diceritakan sangat detail. Selain itu, potret pemandangan, jalanan dan keadaan Negara yang dikunjungi juga disertakan pada buku ini.
Pada akhir bab, Gita merefleksikan diri menulis beberapa hal yang terjadi sepuluh tahun terakhir. Pertama, ketika ia dikhianati oleh orang yang disayanginya. Perasaan marah, bingung, kecewa, jijik dan sakit bercampur menjadi satu. Kedua, ia merasa trauma dan menyesal ketika kuliah hanya mengejar gelar. Merasa kehilangan masa yang seharusnya ia lakukan untuk menjelajahi hal baru, mencari relasi, dan bersenang-senang menikmati hari libur. Terakhir, ketika Gita dibully oleh warga internet (warganet) di media sosial yang mengganggu kesehatan mentalnya.
Baca juga: Rumi, Penyair Ulung Bernuansa Tasawuf
Semua peristiwa yang ditulis Gita memberi banyak pelajaran yang bermanfaat bagi pembacanya. Beberapa diantaranya yaitu kita memiliki diri sendiri yang ternyata harus diperhatikan dengan baik. Karena apapun itu, tidak ada yang menyelamatkan dari keterpurukan, kecuali diri kita sendiri. A Cup of Tea seperti membuka kaca mata dunia dengan pembawaan yang sangat ringan dan santai. Didukung dengan bahasa yang mudah dipahami, hampir seluruh bab menggunakan bahasa non formal.
Dibalik kelebihan buku ini, masih banyak kalimat Bahasa Inggris yang mungkin menyusahkan pembaca untuk memahami. Karena tidak ada arti ataupun penjelasan ulang dari kalimat-kalimat tersebut.