Beberapa hari terakhir, kampus sedang ramai dengan isu pemberlakuan peraturan Kampus Bebas Asap Rokok yang dikeluarkan oleh Rektor baru UIN Walisongo, Imam Taufiq. Harapannya UIN Walisongo bisa menjadi Green University dengan lingkungan yang bersih.
Aturan kampus bebas rokok tersebut, sebelumnya sudah didiskusikan dan disepakati oleh Rektor, Wakil Rektor dan para pimpinan lainnya. Dipandang dalam kacamata kampus sebagai pelopor demokrasi. perlu adanya dialog dengan melibatkan mahasiswa, dosen, karyawan dan penghuni kampus lainnya. Karena jika tidak diadakan dialog, kebijakan tersebut berkesan kontraproduktif.
Jika ditingkat sekolah, semua sekolah sepakat melarang muridnya merokok di lingkungan sekolah. Namun di tingkat perguruan tinggi, hanya beberapa kampus yang menerapkannya. Seperti Pelarangan merokok di area Universitas Indonesia (UI) yang diterapkan sejak 2011 silam.
Baca juga: Kuasa Politik Feodal di Kampus Kita
Rencana penerapan aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di UIN Walisongo mendapat respon positif dan negatif dari civitas academica. Karena selain mahasiswa, ada beberapa dosen yang menjadi perokok aktif. Namun, yang menjadi masalah utama bukan lah siapa yang setuju dan tidak. Tetapi, siapkah UIN Walisongo menerapkan peraturan tersebut di masa sekarang?
Masih banyak pertimbangan yang perlu dilakukan oleh pihak universitas jika ingin menjadi Green University. Tidak hanya fokus pada pelarangan merokok yang dirasa sekonyong-konyong. Pihak kampus perlu mengkaji kembali permasalahan yang belum terselesaikan. Setidaknya, jika KTR benar-benar diterapkan tidak menambah masalah baru.
Pertama soal sampah. Sampah masih menjadi permasalahan yang belum sepenuhnya diselesaikan pihak kampus. Untuk persoalan ini, civitas academica bertanggung jawab penuh untuk menjaga kebersihan area kampus. Hal sederhana yang sering disepelekan adalah membuang sampah sembarangan. Pada 30 Agustus 2018 lalu, akibat membuang sampah sembarangan, terjadi pertikaian antara pihak Dema U dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bandung Karate Club (BKC). (www.lpmmissi.com)
Baca juga:Masih Mau Kuliah dan Jadi Sarjana?
Meski sudah ada Tempat Pembuangan Sampah (TPS) akhir di kampus, namun hal itu belum efektif, karena lokasinya tidak strategis. UKM, warga, dan mahasiswa yang indekosnya berdekatan dengan TPS beberapa kali melayangkan protes kepada pihak kampus. Mereka merasa terganggu dengan bau dan asap dari pembakaran sampah. Namun, pihak kampus belum juga merespon hal tersebut dengan serius.
Kedua penghijauan kembali. Jargon kampus hijauku nampaknya belum lengkap jika yang hijau hanya cat temboknya saja. Beberapa pohon yang ditebang setahun belakangan ini, membuat lingkungan kampus terasa gersang. Bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), penebangan pohon rindang di tengah-tengah Taman Dakwah (Tamda) menjadi kehilangan yang berarti. Sudah tidak terlihat lagi mahasiswa yang duduk sekedar untuk ngadem atau diskusi di bawah pohon yang kini tinggal batangnya saja.
Kegiatan perkuliahan juga sedikit terganggu dengan hawa lebih panas setelah pohon ditebang. Meski kelas sudah terpasang Air Conditioner (AC) semester lalu, namun satu semester penuh AC tidak dapat digunakan. Alasannya listrik kampus yang tidak mendukung.
Baca juga: Pro Kontra Permenristekdikti No 55 Tahun 2018
Ketiga air. Air menjadi kebutuhan utama manusia. Tidak hanya untuk kepentingan jasmani, tapi juga rohani. Di UIN Walisongo, kampus yang berbasis keislaman, sering mendapat kritikan terkait air, baik dari civitas academica maupun non civitas academica. Kampus islam tapi air buat wudu saja susah, kalimat keluhan yang sering dilontarkan. Wajar memang, ketika ada acara besar seperti PBAK, wisuda, atau lomba, air di kampus mendadak langka.
Kamar mandi yang berada di sekitar kampus hampir tidak ada yang berfungsi. Dua kamar mandi di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) FDK yang katanya kotor justru menjadi alternatif. Berkali-kali diberitakan, namun lagi-lagi tidak ada tindak lanjut dari pihak kampus.
Berkaca dari tiga permasalahan sederhana di atas, seharusnya UIN Walisongo memperhitungkan kembali jika ingin menerapkan kebijakan Kampus Bebas Asap Rokok untuk menuju Green University. Niat yang sangat bagus memang, perlu diapresiasi. Namun, sebelum lebih jauh melangkah, alangkah baiknya persoalan mendasar dibenahi terlebih dahulu. Agar setiap kebijakan mampu mengurangi masalah, bukan menambah masalah.
Oleh: Kholid Mawardi
Siapkah UIN Walisongo Menjadi Green University?
[td_block_social_counter twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333" instagram="https://www.instagram.com/lpm_missi/?hl=en"]