Kemajuan teknologi informasi ternyata memiliki peran serius dalam pembentukan karakter pemuda. Namun, kemudahan dalam akses informasi saat ini, ternyata tak diindahkan dengan sikap semangat dan kesadaran akan kehidupan sosial bermasyarakat oleh para pemuda.
Seruan “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia” yang digagas oleh Soekarno, seolah hanya menjadi angin lalu di telinga para pemuda saat ini. Penglihatan mereka mengenai sejarah telah dibutakan oleh kenikmatan-kenikmatan sesaat masa kini, pendengaran mengenai kisah perjuangan dahulu telah disusupi dengan iringan musik yang mengusik, penciuman mereka mengenai bau darah semangat merah telah dimanjakan oleh bau-bau keringat kebusukan, mulut mereka telah dibungkam oleh kata yang tak lagi bermakna, dan hati mereka telah dijual untuk tindakan yang tak bermoral.
Cuitan yang sering ditemui pada kalangan masyarakat terutama perihal generasi muda saat ini adalah adanya tindakan tak wajar yang dilakukan oleh pemuda. Contohnya: Pertama, anak SD sudah mengenal yang namanya kasmaran, padahal usia belia seperti itu seyogyanya digunakan untuk bermain bersama teman, berkomunikasi dengan kedua orang tua, bukan malah galau memikirkan “Si Dia” yang justru membuat stres lantaran tak kuasa untuk berkata cinta padanya. Ciah, ada-ada saja.
Kedua, anak SMP sudah mengenal yang namanya pacaran. Miris sekali generasi muda saat ini, di usia setengah matang, mereka malah terjerumus ke lembah yang seharusnya belum layak ditapaki, makanya banyak dijumpai saat ini para pelajar SMP ketika jam sekolah berlangsung, mereka lebih memilih membolos dan bermain bersama sang pujaan hati ke tempat tongkrongan atau bahkan ke sebuah tempat yang jauh dari pantauan masyarakat, seperti perumahan kosong, dan lain-lain. Perilaku yang begitu amatir untuk anak seusia mereka.
Ketiga, anak SMA sudah berani setahap lebih maju untuk kebrobrokan generasi muda. Banyak kasus anak-anak SMA yang sudah melakukan hubungan suami-istri, dan berakibat kehamilan di luar nikah. Tak ayal banyak yang melangsungkan pernikahan secara diam-diam, bahkan ada juga yang memilih jalan untuk aborsi. Betapa tak bermoral sekali perbuatan tersebut.
Keempat, Mahasiswa, merupakan siswa yang telah lulus dari SMA yang meneruskan pendidikan ke Universitas dan digadang-gadang menjadi seorang agen perubahan bagi diri, orang lain, maupun bangsa ini. Mahasiswa memliki idealisme tersendiri, namun terkadang idealisme itu terkikis oleh hal-hal yang melalaikan seperti: teknologi, pergaulan, dan sebagainya.
Tak jauh berbeda dari kasus di atas, mahasiswa juga mengalami hal serupa. Ada yang terjerumus seperti kasus anak SD, SMP, maupun SMA. Semua komplit dalam diri mahasiswa, tapi sekali lagi, mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki idealisme dan ditunggu-tunggu sumbangsihnya kepada masyarakat. Mahasiswa harus bisa menjadi agen kontrol sosial, jangan sampai terjerumus ke jalan yang melalaikan, justru mahasiswa harus meluruskan orang yang berjalan ke persimpangan yang salah.
Dari fenomena tersebut, maka tak heran jika familiar di telinga kita beberapa kata yang sangat viral di negeri Indonesia ini, yaitu: ‘Generasi Micin, dan Kids Zaman Now’. Nampaknya, dua frasa itu menjadi sindiran keras bagi para pemuda agar lebih menyadari akan hakikat pemuda itu sendiri. “Jika bukan pemuda, siapa lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?”
Jika kita cermati dua frasa ‘Generasi Micin, dan Kids Zaman Now’, terselip makna tersurat dan tersirat. Makna tersurat bahwa dari kata itu menandakan kemirisan akan generasi saat ini yang tengah dimanjakan dengan segala kemudahan, sehingga timbul rasa malas, kurang kepedulian, dan kurang menghormati. Sementara makna yang tersirat bahwa ada pergeseran makna pemuda yang harus disadari oleh kaum muda agar tak berperilaku di luar batas norma masyarakat yang ada.
Hal semacam ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama, bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan yang positif di masyarakat, sehingga generasi muda memahami hakikat keberadaannya. Juga diperlukan penguatan kurikulum pendidikan oleh pemerintah mengenai hal semacam itu, karena bagaimanapun buruknya pemuda, pendidikan menjadi hal yang dikonsumsi dan diamalkan oleh mereka sebagai generasi penerus bangsa.
Apabila pendidikan terkesan biasa-biasa saja seperti saat ini, maka perilaku sosial untuk mengubah tatanan kehidupan yang lebih baik justru mengecil. Bahkan malah yang besar itu adalah perilaku-perilaku tak layak amal oleh generasi muda saat ini. Maka diperlukan penguatan pendidikan yang lebih agar tak lagi terjadi kebrobrokan yang berkelanjutan.
Namun perlu di pahami, bahwa pendidikan di sini bukan hanya bersifat formal saja, pendidikan non-formal pun sangat penting, misalnya pengajaran yang orang tua berikan di rumah kepada sang anak, komunikasi antar masyarakat yang harmonis, kemudian juga terciptanya rasa saling memiliki antar masyarakat, ini akan menjadi pengaruh positif bagi kelangsungan kehidupan generasi muda.
Maka, segala perkerjaan rumah ini bukan hanya milik pemerintah saja, tetapi milik seluruh lapisan elemen masyarakat, agar ikut berpartisipasi di dalamnya untuk pembentukan unsur kebaikan pemuda. Dan untuk diri pemuda sendiri, haruslah merasa sadar diri. Apakah yang sudah dilakukan selama ini baik? Apakah yang sudah diusahakan selama ini bermanfaat? Mari menjadi pemuda yang memberikan perubahan kebaikan, bukan menyusahkan.
Penulis : Aditia Ardian