Foto: Lpmmissi.com/terasjabar.id. |
Kata anjay akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh kalangan muda-mudi. Pasalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perlindungan Anak (PA) menghimbau untuk menghentikan penggunaan kata anjay.
Kata anjay sendiri merupakan turunan dari kata anjing, anjrit, anjir yang konteksnya berupa umpatan negatif. Maka alasan itulah yang membuat KPAI menjadi khawatir anak-anak akan terpengaruhi oleh kata itu.
Sementara itu Ketua Komnas PA Merdeka Sirait, berpendapat kata tersebut ialah salah satu bentuk kekerasan atau perundungan yang dapat dipidana, baik digunakan dengan sengaja atau bentuk candaan. Namun, jika unsur dan definisi kekerasan terpenuhi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, tindakan itu adalah kekerasan verbal.
Baca juga: Domestifikasi Perempuan Dalam Bungkus Gerakan Dakwah
Sebenarnya penggunaan kata tersebut memiliki makna yang tergantung bagaimana menggunakannya. Bisa saja sebagai ungkapan kekaguman, terkejut dan sebagainya. Namun, bisa juga bermakna menghina. Tergantung seseorang itu bergaul dengan siapa dan bagaimana ia menyaring informasi yang ia dapat, lalu menggunakannya. Sudah menjadi kebiasaan dan banyak orang menggunakan kata tersebut dan tidak mempersoalkan konteks di dalamnya.
Kepala Bidang Pengembangan dan pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Dora Amalia mengatakan ada dua aspek yang diterapkan untuk menelaah kata anjay . Pertama, sebagai bentuk kreatif dari anjing dan bermakna umum sebagai hewan berkaki empat yang biasanya dipelihara. Kedua, aspek penggunaan. Maka sebuah kata tidak bisa lepas dari konteksnya. Dalam aspek penggunaan beberapa masyarakat menggunakan sebagai bentuk keakraban seperti halnya jancuk di masyarakat Jawa Timur.
Baca juga: Dialektika Mahasiswa
Terlepas dari pembelaan itu, marilah kita mencoba tidak membenarkan kata anjay sebagai bahasa pergaulan yang pantas. Kita akan merenungi anjay sebelum menuturkannya lebih sering. Apakah kata itu wajar? Apakah kata itu pantas? Apakah kita tau makna kata itu? Mungkin akan tersirat jawaban atas pernyataan itu, “Wajar sajalah, kan banyak juga yang pakai. tidak masalah dong?”
Lalu, apa tidak ada pilihan kata lain utuk mengungkapkan ekspresi dan bertutur kata yang lebih baik dan pantas? Jawabannya simpel, ada. Lantas kita sebagai orang yang beriman, terdidik, berakal, dan beretika memilih berbahasa yang mana? Antara yang baik dan pantas atau kurang pantas tapi gaul?
Memang bahasa pergaulan yang digunakan itu terdengar biasa saja. Bergaul pun bebas mau seperti apa bercengkrama dengan siapa pun. Tidak ada masalah. Tapi bagaimana jika ada teman kita atau siapapun mendengarnya merasa kata itu tidak pantas diucapkan, tidak nyaman dan tersinggung? Bisa saja si penutur dinilai buruk walau bukan bermaksud buruk.
Baca juga: Reinkarnasi, Perempuan dan Pelecehan Seksual
Masalah bertutur kata juga bisa mencerminkan bagaimana moral sebuah bangsa seperti penjelasan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Sahid Teguh Widodo, menanggapi persoalan kata anjay yang sering digunakan oleh kalangan kaum muda menjadi masalah kesantunan berbahasa. Sebab bahasa memiliki peranan yang sangat penting bagi suatu negara.
Lantas bagaimana sepantasnya kita sebagai orang yang beriman, terdidik dan beretika dalam penggunaan bahasa pergaulan?
Mudah saja jawabannya, dengan bahasa yang pantas dan beretika. seperti ketika ingin mengungkapkan ketakjuban, kita bisa menyebutkan Masya Allah, ketika menerima rezeki kita mengucapkan hamdalah dan seterusnya. Dalam bergaul pun kita bisa menggunakan pilihan kata yang secara etika baik dan diterima oleh siapapun. Hal itu guna menghindari ketersinggungan atau kesalah pahaman. Alangkah lebih baiknya pula kita berkata yang lemah lembut, sopan, santun dan ramah. Serta berkata yang didasari pikiran serta hati yang jernih dan bersih.
Baca juga: Lunturnya Sisi Kemanusiaan dalam Pendidikan
Cobalah kita mengingat hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah berkata: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” Bukankah kita sebagai orang yang beriman diperintahkan untuk menjaga lisan kita dalam berbicara?
Sebagai penutup, mari kita renungi sebuah bait dalam pasal ketiga Gurindam 12 gubahan Raja Ali Haji. Bait yang bermakna kita harus menjaga lisan agar mendapatkan yang bermanfaat.
Apabila terpelihara lidah,
Niscaya dapat daripadanya faedah.
Oleh: Muhammad Irfan Habibi