Seperti yang kita tahu jika eksistensi kebudayaan yang ada di Minangkabau sudah dikenal hingga manca dunia. Minangkabau mempunyai banyak hal yang menarik dialamnya. Salah satunya, kalimat “ ondeh mandeh” dan “ rancak bana” kalimat yang mendunia.
Tidak hanya kalimat itu saja, masakan khas Minangkabau ini digemari oleh berbagai kalangan, dikarenakan rendang memiliki cita rasa yang khas dengan rempah pilihan.
Minangkabau juga mempunyai adat istiadat yang sering membuat masyarakat luar salah paham, yaitu tentang garis keturunan di minang. Hal tersebut dikarenakan Budaya Minang yang menganut sistem matrilineal. Sistem matrilineal merupakan suatu sistem yang ada pada adat dan istiadat dalam suatu daerah yang menepatkan ibu sebagai penentu garis keturunan.
Hal ini lah yang membuat masyarakat luar beranggapan bahwa masyarakat Minang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, karena dalam Islam sendiri lebih menitik beratkan sistem keturunan pada ayah.
Tidak sedikit dari masyarakat, teman bahkan dosen yang bertanya mengenai sistem matrilineal yang ada di Minangkabau. Mungkin, sebagian kita juga memiliki opini yang sama dengan mereka, yang menganggap masyarakat Minang bertolak belakang dengan ajaran agama islam.
Untuk membahas mengenai hal ini, kita harus mengetahui sebab dijadikannya perempuan menjadi penentu garis keturunan di Minang.
Asal Mula Sistem Matrilineal
Sebelum kita memandang bahwa orang Minang bertolak belakang dengan Islam hanya karena mereka menganut sistem matrilineal, kita wajib tau mengenai sejarah dibalik sistem ini. Beberapa dari kita tentunya tidak asing dengan istilah “datuak”. Arti dari istilah datuak dalam bahasa Minang adalah gelar adat yang diberikan kepada seorang laki-laki Minang yang disetujui oleh para petinggi adat setempat.
Istilah ini mulai digunakan pada zaman Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Bermula saat Minagkabau di serang oleh kerajaan dari Majapahit yaitu Adityawarman. Pada saat itu Minangkabau dikenal sebagai daerah yang damai dan tidak menyukai adanya konflik. Oleh karena, itu sang datuak memikirkan cara, agar ketika Raja Adityawarman datang ke tanah Minang tidak ada konflik yang terjadi antara Raja Adityawarman dengan masyarakat Minang.
Kedatangan Raja Adityawarman ternyata disambut baik oleh datuak dan juga oleh masyarakat. Kedatangannya justru membuat Datuak Katumanggungan ingin menjodohkannya dengan sang adik, yaitu Putri Jamilah. Keinginannya untuk menjodohkan Raja Adityawarman dan sang adik tidak lain untuk menghindari konflik antara Raja Adityawarman dan masyarakat Minang.
Kemudian, datuak mengirim utusan dari istana Pagaruyung untuk menemui Raja Adityawarman dan menyampaikan niatnya untuk meminang Raja yang nantinya akan dinikahkan dengan sang adik. Namun, tidak hanya memiliki niat untuk meminang sang raja, datuak juga memiliki keinginan untuk mengangkat Raja Adityawarman menjadi raja di Minang.
Melihat gelagat sang raja yang menerima ajakan untuk menikahi adik Datuak Katumanggungan, datuak kemudian memikirkan cara mengenai bagaimana cara agar keturunan dari Putri Jamilah nantinya akan tetap menjadi orang Minang. Hal tersebut dilakukan agar semua orang tahu bahwa keturunan Putri Jamilah akan tetap mendapatakan warisan dari Minangkabau. Maka ditetapkanlah adat Batali Bacambua yang langsung merubah struktrul masyarakat Minangkabau.
“Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tango, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan Sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tango, iyolah tungganai jo rajonyo, nan korong kampuang barajo mamak, rumah tango barajo kali,di rumah gadang batungganai. Dicambua tali malakek”
Yang artinya: “Adat bertali bercampur mengatur hubungan antara bapak dan mamak.”
Intinya, di dalam rumah tangga terdapat dua kekuasaan, pertama kekuasaan bapak, kedua kekuasaan mamak, yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu. Pemikiran itu dibawa Datuk Parpatiah Nan Sabatang pada musyawarah dengan cerdik dan pandai di balairung sari. Karena ia menyadari pentingnya perubahan mufakat didapatkan.
Mulai saat itulah aturan yang ada di masyarakat Minang berubah, yang dahulu bapak harus mewariskan kepada anak. Namun, setelah aturan dirubah menjadi mamak yang mewariskan kepada kemenakan.
Bukan hanya itu saja, untuk urusan suku pun juga dirubah, yang dahulu anak mengikut suku sang ayah, sekarang si anak harus mengikuti suku sang ibu. Hal ini terjadi karena kecerdikan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan.
Cerita ini telah dipercayai turun-temurun oleh masyarakat Minangkabau yang akan menjadi cikal bakal matrilineal. Sedangkan, untuk hak perwalian pada minangkabau jatuh pada sang mamak.
Orang-orang yang memiliki pengetahuan memberikan satu istilah untuk membahas sistem matrilineal di Minangkabau agar mempermudah pemaknaannya. Matrilineal berasal dari kata “matri” yang berarti ibu, dan kata “ lineal” berarti garis, sehingga memiliki arti garis ibu.
Di Minangkabau sistem kekerabatan tentunya mempunyai peran yang besar dan memilki penjabaran ajaran syariat islam yaitu Hablumminannas yang sesuai dengan falsafah minang kabau “ Adat bersandi sarak, sarak basandi kitabullah”. Makna dari falsafat tersebut merupkan sikap hidup sosial baik horizontal – vertical maupun horizontal-horizontal.
Falsafah tersebut juga memilki makna, bahwasannya masyarakat Minang lahir diatas kesadaran sejarah dan perjuangan hidup. Masuknya Islam yang berpadu dengan adat istiadat kemudian melahirkan kesepakatan luhur. Bahwa seluruh alam semesta merupakan ciptaan Allah dan menjadi tanda-tanda kebesarannya dengan memaknai semua eksitensi manusia sebagai khalifah.
“Adat basandi sarak, sarak basandi kitabulla” akhirnya menjadi landasan serta pandangan masayarakat minangkabau dalam mengambil ikhtibar. Bahwa, penyempurnaan penyikapan atas fitrah dan sekaligus implementasi dari ajaran Minangkabau dijaga dengan ajaran agama Islam.
Masyarakat Minang dahulu menyempurnakan kekerabatanya dengan merefleksikan hubungan menurut garis keturunan ibu. Jika berbicara mengenai hukum warisan di Minangkabau, sebenarnya sejalan dengan hukum islam, seperti ketentuan:
“jan kan sawah jo ladang, rimbo jo rumah gadang, nan diri iko sendiri bukanlah kito yang punyo”
Artinya sawah dan kebun, rimbun sama rumah gadang dan diri sendiri bukalah kita yang punya.
Hal ini merupakan ajaran dasar dari setiap permasalahan harta kekayaan di Minangkabau. Dalam pemahaman masyarkat Minang, rumah adalah tanggung jawab yang harus djaga. Begitu juga dengan harta dan warisan mereka tidak mengenal hak milik, tetapi milik Allah yang maha Kuasa.
Adat Minangkabau telah merumuskaan hak peruntukan pada perempuan dan hak pengelolahan untuk laki-laki. Jadi dari segi sistem adat tidak melangggar apa yang sudah ditetapkan oleh syarak, begitu juga dengan aturan yang mengikut pada nasab ayah atau dalam bahasa minang yaitu ”dunsanak”.
Sistem Matrilineal juga menentukan tempat tinggal ketika kita sudah berkeluarga. Dalam adat Minangkabau yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu). Sistem tersebutlah yang menjadi alasan ketika sudah menikah mereka tinggal di rumah pihak perempuan, karena di sana ada mamak yang berperan dalam mendidik kemenakan (keponakan).
Perempuan menempati kedudukan yang istimewa di Minang. Dalam pembagian harta warisanpun perempuan menduduki tempat yang istimewa, sedangkan laki laki tidak mendapatkan apa-apa. Perempuan Minang diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan, mereka tidak dikurung untuk melakukan pekerjaan dosmetik saja.
Dalam sejarah Minangkabau pemimpin kaum perempuan bernama “Bundo kanduang”. Hanya 3 posisi yang tidak boleh ditempati oleh perempuan Minang yaitu, Manti (pemimpin adat), Malin (pemimpin agama) dan Dubalang (pemimpin keamanan suku), selain dari 3 posisi diatas, perempuan Minang dipersilahkan untuk menepati posisi posisi lain. Selain itu, perempuan di Minang mendapatkan hak property seperti memilki sawah, ladang, dan tanah.
Penulis: Karina Rahma Dani