SEMARANG, LPMMISSI.COM –Setiap orang memiliki perspektif yang berbeda dalam mengartikan etika. Khususnya etika antar mahasiswa di dalam lingkungan sosial di kampus. Seperti halnya etika sosial antara kakak tingkat dengan adik tingkatnya. Dahulu budaya sopan santun sangatlah kental meski tak terpaku jarak usia yang terlalu jauh. Akan tetapi budaya tersebut sepertinya semakin tergerus seiring berkembangnya zaman.
Dari hal yang paling mendasar, misalnya ketika seorang adik tingkat sedang lewat di depan kakak tingkatnya, ia justru memasang wajah ketus dan lewat di depannya begitu saja. Kasus lain, mahasiswa baru saat ini mudah merasa benar dan tidak mau kalah ketika mengemukakan pendapat. Hal itu bisa dijumpai dalam sebuah organisasi. Berbeda dengan dahulu, junior sekarang tak segan-segan bisa melontarkan kalimat kurang etis kepada kakak tingkatnya. Jika dibiarkan, hal tersebut tentunya dapat merusak peradaban.
Berbicara soal etika, contoh diatas bukan berarti suatu pembenaran atas sikap senioritas. Tidak menutup kemungkinan pula seorang kakak tingkat bersikap angkuh terhadap juniornya. Bahkan kerap dijumpai bagi mahasiswa baru terintimidasi hanya dengan raut wajah para seniornya di kampus. Senioritas juga bukanlah suatu sikap yang baik diterapkan dalam lingkungan sosial kampus. Rasa ingin dihormati berlebih terkadang menimbulkan ketamakan dalam diri siapa pun yang merasa lebih tua.
Boleh jadi kedua fenomena tersebut merupakan buah dari perbedaan zaman pada generasi milenial dan generasi Z. Yang mana baik dari struktur bersosial, berperilaku dan lain sebagainya tergantung dari apa yang ada pada zaman mereka. Beberapa faktor dapat ditemui dalam kasus ini, seperti pola komunikasi yang berbeda dari zaman ke zaman, dari segi penampilan dan gaya hidup, serta adanya influencer yang dapat mempengaruhi perilaku remaja sekarang.
Pertama, dari segi pola komunikasi, generasi milenial cenderung melakukan pola komunikasi yang intens dan bertatap muka secara langsung. Sedangkankan kebanyakan gen Z lebih terbiasa berkomunikasi via virtual atau melalui perantara seperti media sosial. Komunikasi melalui media sosial dapat membentuk sebuah kebiasaan yakni berkata bebas dan sesuka hatinya. Berbeda ketika berkomunikasi langsung, penggunaan bahasa bisa lebih diterima oleh lawan bicara.
Kedua, dari sisi penampilan. Trend fashion dan gaya hidup yang tersebar di berbagai platform media sosial tak jarang membuat gen z lebih terlihat unggul dalam berpenampilan. Seperti cara berpakaian, cara berdandan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tak heran banyak junior yang lebih terlihat dewasa dari usianya. Dengan begitu dirinya merasa bahwa setiap bertemu orang yang berpakaian sederhana dan tidak terlalu mengerti fashion dianggapnya sebagai orang yang lebih muda darinya.
Ketiga, seorang influencer juga mengambil peran penting dalam pembentukan etika para remaja. Banyak sekali influencer muda di luar sana yang tentunya dapat mempengaruhi kehidupan remaja saat ini. Salah memilah, bisa jadi boomerang bagi diri generasi saat ini yang masih di tahap mencari jati diri.
Terlepas dari itu semua, baiknya etika terhadap sesama harusnya tetap dijunjung tinggi. Dengan memegang prinsip saling menghormati, baik junior kepada seniornya, begitu pula sebalikanya akan melahirkan lingkungan sosial yang nyaman. Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Jangan sampai kita terjerumus ke dalam jurang etika sosial yang ada di lingkungan kampus.
Penulis: Nastaufika Firdausy
Editor: Nur Laela Khoirunnisa