Buy now

29 C
Semarang
Rabu, Mei 1, 2024
spot_img

INSECURE

 

Seorang perempuan malam ini terjaga, matanya menelusuri tiap resep memutihkan badan dan meilhat-lihat promosi skincare yang belum tentu sudah teruji. Siang tadi, tawa terdengar di dalam kelas, seorang laki-laki menyatakan ia hitam mungkin tidak bermaksud menyakiti, hanya bercanda. Ia ikut tertawa. Jika tidak, ia akan di anggap perasa. “Hanya bercanda, kenapa malah terbawa perasaan?” terkesan seperti itu jika tanggapaannya marah.

 

Sementara gadis lainnya dijadikan bahan candaan oleh teman-temannya. “Cantikan aku atau dia?” Tanya wanita lain untuk menjatuhkannya. Dengan sigap, beberapa mulut menjawab, “Kalah jauh lah, bandinganmu bukan dia.” Dalam dirinya, ia menanamkan pikiran “Tidak boleh marah, salah siapa terlahir jelek?”

 

Laki-laki dewasa malam ini menangis tanpa suara, menahan jeritnya di dalam kamar. Ia dikucilkan oleh keluarganya sendiri karena berbeda dengan kakak-kakaknya yang yang sudah sukses, sementara dia masih menjadi pegawai honorer. Lagi-lagi, laki-laki itu tidak mengizinkan dirinya untuk marah. “Salah siapa belum berkembang?” batinnya.

 

Nala, seorang gadis yang sudah menginjak menginjak 30 tahun. Ia merasa sulit di sukai oleh lawan jenis, entah apa alasannya. Batinnya tertekan lantaran pertanyaan kapan menikah sudah tak terhitung berapa kali dilontarkan kepadanya. Tak jarang, orang menyatakan “Makanya, jadi orang jangan pilih-pilih banget.” Bagaimana tidak di pilih untuk urusan ibadah seumur hidup? Keadaan memaksanya untuk harus segara pasang tenda, sementara belum ada yang mengetuk pintu. Realitas sosial tentang wanita 30 belum menikah memang seperti tidak baik, salah siapa belum menikah?

 

Anak kelas 5 sd malam ini dimarahi ibunya habis-habisan, sapu lidi mungkin sudah dua kali menghantam kakinya. Siang tadi gurunya menyatakan bahwa ia bodoh karena nilai matematikanya 45, padahal gambar di belakang buku miliknya terlihat begitu elok. Di negeri ini, nilai matematika memang menjadi standar kepintaran. Mereka selalu berkata “Apa susahnya belajar?”

 

Perempuan menghela nafas melihat angka timbangan, 68 kilo gram. Ia sudah melakukan diet, bahkan berapa kali terlintas dalam pikirannya untuk melakukan diet ekstrim. Namun angka di timbangan itu belum juga turun. Beberapa mulut sering sekali menyatakan” kamu kalo kurus kayaknya lebih cantik deh” atau “ coba kamu agak kurusan”. Batinnya selalu bertanya “Kalau gemuk memang tidak cantik?” Seringkali, teman-temannya saling tunjuk ketika ia meminta bonceng. Alasannya, motor mereka tidak akan kuat jika ditumpangi dia. Tidak salah memang, salah siapa menjadi gemuk?

 

Acara keluarga memang hal yang paling dinantikan, tapi tidak dengan Nara. Sebab dirinya akan menjadi korban olokan kelurga lantaran belum juga punya anak, sudah sepuluh tahun usia pernikahannya namun belum juga di karuniai anak, kata mandul tidak asing lagi bagi telinganya. Salah siapa belum punya anak?

 

Seorang ibu hari ini menagis sejadi-jadinya di depan suaminya. Anaknya yang baru menginjak kelas 2 SMA hamil. Menurutnya, didikannya sudah benar, tidak ada yang salah. Namun keluarga dan orang-orang sekitarnya menyudutkannya, tidak becus mendidik anak. Semua orang menyalahkannya karena kehamilan anaknya. Orang-orang menyatakan bahwa memang ia layak punya anak seperti itu. Sedikit miris, tapi mau bagaimana? Salah saipa tidak becus mengurus anak?

 

Laki-laki remaja mengurungkan niatnya membalas chat masuk. “Sudah sampai depan rumah?” di lihatnya garansi rumah sang pujaan berisi mobil yang mungkin menaikinya saja belum pernah apalagi memilikinya. Ia mengurungkan niatnya untuk dekat, sebab baginya perempuan itu jauh dari jangkauannya, tidak pantas untuk bersanding.

 

Mahasiswi malam ini matanya terjaga, pikirannya penuh dengan pertanyaan “Mau jadi apa saya di masa depan? Apakah saya bisa menjadi harapan nyata untuk orang tua saya? Apa saya bisa membanggakan orang-orang di sekitar?” Ada banyak ketakutan dalam dirinya. Apakah jika saya berfikir telalu banyak, akan bertindak lebih baik?

 

Seorang wanita membuka laman instagramnya, beberapa instastory dari tema-temannya tentang perkulihan begitu menarik dimatanya.”Coba saja orang tua saya punya biaya, pasti saya bisa kuliah seperti yang lainnya,” batinnya. Mirisnya, hasil keringatnya adalah sumber kenyang bagi adik-adiknya. Ia selalu bertekad untuk tidak mengeluh. “Adik-adik saya harus tetap bisa makan.”

 

Laki-laki disabilitas mencoba jalan dengan sedikit penglihatan yang ia punya, tampak beberapa raut wajah terlihat kasihan padanya. Tidak mau seperti itu, ia selalu menolak beberapa tangan yang hendak membantu, saya bisa sendiri. Sementara untuk urusan umum, orang lain seolah tidak punya iba, salah siapa terlahir seperti itu? Kenapa meski dibedakan? Sementara dirinya tidak meminta untuk diistimewakan, hanya saja apakah sama kemampuannya dengan yang terlahir normal? Tidak boleh marah, salah siapa seperti ini.

 

Anak dan ayahnya bermain game di mall, terlihat raut bahagia menyelimuti wajah sang anak dan ayahnya sementara di sudut ruangan seseorang menatap dengan tatapan harapan, kapan saya merasakan kebahagian yang berasal dari ayah saya? Ketidakmungkinaan yang terus saja menjadi harapan besar baginya.

 

Sementara yang lainnya iri melihat keluarga harmonis, untuk urusan makan malam saja di ributkan di grup whatsapp keluarga. Sementara ia hanya bisa melihat-lihat beberapa foto terakhir saat harmonis itu masih ia rasakan di rumah sekarang sebagian isi rumahnya pergi mencari rumah baru.

 

Mungkin banyak lagi hal-hal lain pemicu insecure, tidak dengan pernyataan harus bersyukur untuk mengobatinya, lebih tepatnya. Menghargai apa yang ada pada dirinya, tidak memaksa juga tidak menghakimi, apa adanya dia. Seperti itu mungkin cara penulis mengartikan bagaimana harus menangapi orang-orang yang sedang insecure.

 

Insecure juga bukan hal yang sepele, yang mungkin bagi beberapa orang di lihat sebelah mata. Salah siapa insecure? Hal ini kerap kali di alami oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda. Jangan karena di orang lain kadarnya lebih kecil atau lebih besar kemudian kamu menyalahkannya atas rasa insecure yang di alaminya.

 

Saya pribadi merasa bahwa terkadang insecure juga diperlukan. Mengapa demikian? Perasaan insecure itulah yang membuat seseorang terjaga, dan bertindak sedikit untuk perubahaan atas dirinya. Namun kita juga harus melihat lagi konteks dan sumber insecurenya.

 

Segala hal yang di rasa akan berdampak buruk bagi yang lain setidaknya jangan disampaikan atau menyampaikan dengan tidak menyingung, jangan sampai beberapa tindakan dari kita adalah sumber luka yang besar bagi yang lain.

 

Penulis: Fitrah

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini