Semarang, Lpmmissi.com – Maraknya berita palsu (hoax) di media massa khususnya media online seolah menggambarkan hoax telah sampai pada masa keemasan. Pelakunya sudah mendapat tempat yang mudah dan nyaman untuk memproduksi berita yang lebih banyak berisi kebohongan tersebut. Akan tetapi perlu diketahui, secara hukum belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur atau dibuat untuk menangani berita hoax.
Hal itu disampaikan Direskrimsus Polda Jateng, Kombes Pol Lukas Akbar Abriari saat mengisi diskusi pada Deklarasi Ikatan Wartawan Online (IWO) Jateng dan Sarasehan Nasional bertema ‘Menyoal Konten Hoax dalam Berita Virtual’ di Wisma Perdamaian Jl Imam Bonjol, Semarang, Selasa (26/9).
Hoax dalam sudut pandang hukum belum ditemukan istilahnya dalam Undang-Undang. Aturan perundang-undangan khususnya UU ITE baru mengatur konten terlarang yang harus diperhatikan dan dihindari dalam sebuah pemberitaan, seperti pornografi, perjudian, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik.
“ Tetapi selagi konten tersebut mengandung kebohongan dan merugikan, maka tetap harus ditindak secara hukum dengan mengkaji muatan dalam kontennya yang sudah lebih dulu diatur dalam UU ITE,” tuturnya.
Artinya berita hoax harus tetap dihentikan. Salah satu yang bisa menghentikannya adalah dengan menciptakan Hoax Killer. Dan wartawan, kata Lukas, memiliki peran potensial untuk menjadi Hoax Killer.
Pengacara Theodorus Yoseph Parera yang juga menjadi pembicara pada kesempatan yang sama mengatakan, wartawan merupakan salah satu pilar yang wajib menilai berita ini akan berakibat seperti apa di masyarakat. Melihat kultur masyarakat Indonesia yang mudah sekali diadu domba.
“ Masyarakat Indonesia sering disentuh oleh Demagog, yakni orang-orang yang sering berbicara banyak di depan umum dengan motif menghasut,” ujarnya.
Yoseph berharap berita yang dibuat wartawan terutama wartawan online, harusnya bisa lebih terang daripada matahari, agar khalayak tidak terjerembab dalam kesesatan. (Korie Khoriah)