Kontestasi 5 tahunan itu telah usai. Akhirnya keluar sepasang nama setelah satu putaran, satu putusan, dan satu harapan. Prabowo-Gibran sebagai Presiden terpilih periode 2024-2029. Drama putusan kontroversial MK, sikap cawe-cawe Presiden, dan pengerahan aparatur negara (untuk kepentingan salah satu paslon) tak ubahnya jadi bagian dari slogan KPU yang katanya “Pemilu Damai”.
Sosok yang disegani di awal periode kepemimpinannya sebagai wong cilik, rupanya tak lebih dari rezim otokrasi-pelemah demokrasi. Maka (andaikan) sebelum 20 Oktober (andaikan) sebelum kekuasaan tersebut diturunkan-(andaikan) Jokowi pantas untuk diadili.
Dan sekarang-setelah ia resmi “berlepas diri” siapa yang akan mengadili?
Nawacita Jokowi
Pada tanggal 20 Oktober 2024, presiden terpilih RI akan dilantik untuk mengemban amanat konstitusi. Majalah Tempo edisi khusus terbitan 29 Juli-4 Agustus 2024 merangkum satu dasarwasa kepemimpinan Jokowi. Ketimbang merealisasikan agenda Nawacita (dosa), agaknya dua periode kepemimpinan Jokowi pelan tapi pasti menarik mundur laju demokrasi, serta meredam lembaga pengontrol eksekutif.
Nawacita sendiri merupakan sembilan agenda prioritas presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla waktu itu yang berisikan cita-cita pemerintah dalam membereskan korupsi, tata kelola pemerintah yang demokratis, hingga meningkatkan daya saing di pasar global. Walaupun sembilan agenda tersebut sangat reformis, sayangnya hingga satu dekade jabatannyamenjadi orang nomor satu di Indonesia Jokowi belum sepenuhnya merealisasikan janjinya.
Sebaliknya, di era kepemimpinannya justru Indonesia mengalami banyak hal buruk, seperti revisi UU KPK, kenaikan BBM, Omnibus Law, konflik agraria, Pemilu 2024, dan fenomena sosial lainnya. Dari adanya fenomena tersebut, memperlihatkan kinerja pemerintah kerapkali berbenturan dengan kemauan rakyat. Tak hanya itu, fenomena tersebut seakan sengaja dibuat guna memuluskan kemauan rakyat yang satunya (pejabat).
Membereskan Korupsi?
Dalam konteks membereskan korupsi misalnya. Upaya penguatan KPK dengan merevisi UU KPK justru menjadi blunder pemerintah dalam penanganan korupsi di Indonesia. Kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum dihilangkan setelah adanya revisi UU KPK. Akibatnya, KPK yang semula bukan bagian rumpun eksekutif (independen), kini mengharuskan menjadi lembaga penegak hukum sekaligus bagian dari lembaga pemerintahan. Tentu dapat dilacak kesudahannya.
Belum puas dengan itu, KPK kembali dilemahkan dari dalam melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang akhirnya berujung pada pemecatan 57 pegawai KPK. Banyak pihak menuding adanya TWK sebagai cara sejumlah pihak menendang pegawai KPK yang kritis.
Baca Juga:September Hitam, Pekan Pengingat Tragedi HAM di Indonesia
Pemerintahan yang Demokratis?
Selanjutnya, dalam hal tata kelola pemerintah yang demokratis. Mungkin bila yang disebut sebagai demokratis adalah ujug-ujug jadi UU Cipta Kerja, ujug-ujug jadi UU IKN, mungkin pemerintah kita layak disebut demokratis. Segala ujug-ujug di atas selain minim partisipasi publik, juga rentan bermuatan unsur kepentingan. Sebut saja UU Cipta Kerja, siapa yang paling diuntungan dari adanya “fleksibilitas” tenaga kerja? Tentu saja pemilik kapital. Maka, tidak mengherankan bila gelombang penolakan terhadap UU ini masih mencuat ke publik.
Beberapa pengamat hukum tata negara menilai fungsi DPR di periode kedua Jokowi “Bisanya setuju-setuju saja”. Ketimbang menjalankan perannya sebagai check and balance dalam kepemerintahan, anggota DPR justru lebih suka menamai diri mereka sebagai petugas partai-yang manut pesanan ketua partainya daripada pesanan rakyatnya. Akibatnya banyak kebijakan kontroversial yang lolos begitu saja di pemerintahan.
Meningkatkan Daya Saing Global?
Kita tidak bisa menampik fakta, jika pembangunan IKN akan meningkatkan laju investasi, walaupun baru segelintir pihak yang berinvestasi di sana. Tak mengherankan bila pemerintah berusaha mempromosikan investasi di IKN dengan segala kemudahannya, bahkan Jokowi tak segan mendatangkan para influencer untuk mencitrakan IKN.
Dalam hal pembangunan infrastruktur, pemerintahan Jokowi berhasil membangun banyak hal, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, dan pembangunan fisik lainnya. Sayangnya, hasrat pembangunan infrastuktur dengan dalih meningkatkan investasi hanya meninggalkan warisan utang. Proyek mangkrak, tidak tepat sasaran, dan kurang memperhatikan AMDAL menjadikan utang pemerintahan Jokowi tidak berjalan efektif.
Beberapa pihak menilai Jokowi mengunakan pendekatan shortermism (orientasi jangka pendek, mengabaikan akibat jangka panjang) dalam membuat kebijakan, yang berimbas pada ketidakefektifan infrastruktur. Sebut saja proyek kereta cepat Whoosh yang belum mencapai target penumpang, begitupun juga yang terjadi pada Bandara Kertajati.
Baca Juga:17 Tahun Aksi Kamisan: Pelanggaran HAM Masih Subur
Warisan utang sebesar 8.400 Triliun (Agustus 2024) agaknya menjadi beban pemerintahan mendatang, mengingat adanya program makan bergizi gratis yang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Belum lagi dengan permasalahan turunnya jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia akibat ketidakkondusifan kondisi sosial-ekonomi negara.
Akhir
Dan sebelum mengakhiri jabatannya, ada dugaan Jokowi berusaha tampil dan ingin ditampilkan sebagai sosok yang husnul khotimah dalam kepemimpinannya. Narasi bernada “Terima Kasih Jokowi” menghiasi sejumlah spanduk di beberapa daerah, begitupun di beranda medsos, baik dibuat secara organik maupun iklan.
Ada banyak hal yang sebetulnya menjadi permasalahan di pemerintahan Jokowi selama menjabat pemimpin di Indonesia. Tak lupa pemintaan maaf ia sampaikan di penghujung jabatannya, walaupun beberapa pengamat politik mempertanyakan “apakah memerlukan 10 tahun untuk meminta maaf?”
Maka setelah 20 Oktober, berakhirlah sang “Raja Jawa” dan harapan itu kini beralih kepada sang “Fufufafa”.
Penulis: Haqqi Idral
Editor: Karina Rahma