Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam Pers Mahasiswa!
Setelah saya membaca majalah Missi yang terbaru, lalu saya menghubungi redaksi, ternyata redaksi berkata ada cetakan yang hilang. Jika itu tidak terjadi, saya kira pembaca akan lebih paham dan tidak akan ada klarifikasi ini. Namun ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan.
Dengan hak jawab ini, Saya ingin mengutarakan sikap keberatan saya sebagai salah satu narasumber dalam majalah Missi edisi 39. Lebih tepatnya mengklarifikasi penulisan penyataan saya dalam rubrik “Laporan Utama”, halaman 15, berjudul; “Siapa Peduli Persma? Legitimasi Pers Mahasiswa Dipertanyakan.”
Dalam majalah tersebut dituliskan, seperti berikut;
…
Cahyono beranggapan kalau pers kampus harus tetap teguh dalam pemberitaan. “pers kampus harus tetap teguh untuk menyuarakan suara keadilan dan kebenaran. Terciptanya sebuah perubahan itu dibentuk dari kampus. Menurut saya, pers kampus sebagai media yang sangat signifikan untuk mengembangkan kematangan dalam dunia jurnalistik cakap akan kepentingan bangsa ini, tanpa intervensi ideologi maupun institusi kampus sekalipun,” ungkapnya
Hal berbeda disampaikan Muhammad Syaifuddin, Demisioner PU LPM Idea Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang, kebebasan berekspresi lebih baik harus dikaji ulang. ”Kebebasan yang dimaksud itu seperti apa. Juga harus melihat dampak yang terjadi di masyarakat nantinya. jika data yang diperoleh memang benar sesuai dengan fakta dan kode etik. Tapi apa baik tidaknya di masyarakat harus melewati diskursus panjang dan ada tanggung jawab moral,” ungkap Syaifuddin.
Syaifudin berharap persma tetap bertahan pada identitas persma itu sendiri. “Persma bertahan dengan apa yang sudah mereka pelajari secara turun temurun, dan menjaga kondisi internal supaya tetap stabil dan solid,” imbuh Syaifuddin.
Hal yang menjadi poin keberatan saya yakni:
Menurut saya pemilihan redaksi tersebut kurang tepat perihal diksi “Hal berbeda disampaikan…”. Sebab isi dari tulisan tersebut, terkait dengan perkembangan pers mahasiswa (persma), seperti peran dan keikutsertaan persma dalam menumbangkan era orde baru, serta payung hukum untuk persma yang belum memadai, namun sudah tersirat secara umum dalam undang undang kebebasan berekspresi. Kemudian saya menjawab tentang kebebasan berekspresi di dunia pers mahasiswa dan konsekuensinya.
Menurut interpretasi saya ketika memposisikan diri sebagai pembaca, hal itu terkesan sebagai penandas, bahwa berbeda itu bisa jadi lumrah dalam menyampaikan pendapat. Bisa juga lumrahnya pergerakan persma yang saling tidak memperjuangkan nilai-nilai kebebasan berekspresi atau berjalan sendiri-sendiri. Padahal, saya cukup mengerti dunia pers kampus dengan perjuangannya. Tentu saya tidaklah akan mendebat bahkan kontra dengan apa yang teman-teman pers kampus perjuangkan.
Kemudian diksi “kebebasan berekspresi lebih baik harus dikaji ulang..” maksud saya, pernyataan itu adalah untuk kawan-kawan persma dalam melakukan diskursus dalam pengembangan skil, dan memposisikan diri dalam memaknai kebebasan. Bukan saya tidak sepakat, karena kebebasan berekspresi itu sudah dijamin dalam undang undang negara, atau dalam hal ini mungkin ada miskomunikasi antara saya sebagai narasumber dan pewawancara.
Kronologi
Banyak pertanyaan yang diajukan oleh wartawan Missi ketika wawancara berlangsung. Bukan hanya tentang fluktuasi gerakan persma tetapi juga progam-progam kerja awak redaksi IDEA yang sudah dilaksanakan.
Sebelum wawancara pun saya sudah mengungkapkan kepada wartawan Missi, “Saya ini bukan lagi Pimpinan Umum IDEA lho, sudah ganti,” tutur saya. “Tidak apa-apa mas,” jawabnya. Berarti pernyataan saya dalam majalah tersebut murni pendapat person tanpa mewakili instansi mana pun.
Di dalam tulisan tersebut, dicantumkan beberapa narasumber. Di antaranya, mantan sekretaris Aliansi Jurnalisme Independent, PU LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan, demisioner PU LPM Justisia UIN Walisongo, kemudian terakhir saya, demisioner PU LPM IDEA UIN Walisongo. Saya tidak tahu pasti pertimbangan redaksi memasukkan nama-nama tersebut, padahal masih banyak kasus pembungkaman pers kampus yang terjadi pada tahun 2015-2016 ini.
Lalu, wawancara pun berlangsung santai, saya ingat pertanyaan yang diajukan oleh wartawan Missi seputar metode pembelajaran di LPM IDEA dan kerja sama LPM IDEA dengan Kompas akhir tahun 2015 lalu. Kemudian wawancara berlanjut ketika wartawan Missi meminta tanggapan saya terkait kebebasan berekspresi dan maraknya kasus pembungkaman pers mahasiswa saat ini. Ditutup dengan harapan saya untuk persma saat ini?
Saran Penulisan
Sebelum menuliskan hasil wawancara, alangkah lebih baik jika reporter menuliskan data dengan bahasa tak langsung terlebih dahulu. Gunanya, untuk menyajikan data yang mafhum kepada pembaca. Dalam konteks ini, pernyataan saya memang berbeda dalam hal “cara” bukan dalam “esensi”.
Bisa jadi wartawan menuliskan pernyataan saya dengan redaksi seperti ini, “Lebih lanjut, Mochamad Saifudin menegaskan bahwa pers kampus harus tetap menjaga integritas dalam berkarya dan memaknai kebebasan berekspresi pers dengan kajian dan diskursus panjang.” Setelah itu diikuti dengan kutipan langsung sebagai penguat data.
Harapan
Harapan saya terhadap teman-teman persma yang sedang berproses saat ini. Jika kru sungguh-sungguh untuk berperan aktif dan berproses, saya kira tidak akan ada yang namanya disorientasi persma saat ini dan sebenarnya setiap lembaga pers mahasiswa memiliki proses pengkaderan masing-masing.
Terlepas dari itu, saat ini persma sedang dihadapkan pada simpang siur sistem UKT. Soal dibungkam dan tidaknya suatu lembaga persma, itu adalah “berkah.” Berkah bagi persma yang berada di lingkungan yang belum siap menerima perubahan. Mungkin hanya satu kata untuknya, dalam salah satu puisi Wiji Tukul, yang saya bacakan ketika LPM Poros dibungkam oleh birokrat kampus, bersama kawan-kawan persma UIN Walisongo dalam aksi solidaritas pada waktu itu yaitu, LAWAN!!!
Pers kampus harus tetap menjaga integritas dan profesionalitas dalam berkarya, sebelum karya itu lepas dan sampai pada tangan pembaca. Kita juga harus tunjukkan bahwa persma adalah satu-satunya instansi yang bersih dari kepentingan apapun.
Selamat atas terbitnya majalah MISSI edisi-39 yang bertemakan “Pers Mahasiswa”. Tentu suatu hal yang membanggakan bisa berkarya di tengah perang informasi yang kian semrawut seperti sekarang ini. Bersaing dengan robot atau manusia yang jadi robot untuk melakukan copy lalu pastedengan seenaknya. Sekali lagi selamat. Sepenuhnya saya menyadari bahwa sebagai sesama insan pers mahasiswa, kita sama-sama masih belajar dalam melakukan reportase, penulisan, dan penyutingan. Salam pers mahasiswa!