Apa yang terlintas di benak kita saat pertama kali mendengar kata “guru”? Sesosok sepuh ataupun muda tetiba saja tergambar, entah bayangan ketika mengajar atau saat mengumumkan liburan datang.
Terkadang orang lupa, orang-orang besar tidak begitu saja terbentuk. Melainkan karena adanya peran guru. Pengajaran tentang ilmu agama, sosial humaniora, matematika, sains atau disiplin ilmu lainnya lah yang membentuk karakter dan spesialisasi pada seseorang.
Hampir semua orang pernah diajar oleh guru, baik dalam sekolah formal ataupun non formal. Maka semua sepakat, bahwa guru adalah seorang yang mengajarkan suatu ilmu pengetahuan kepada seseorang, baik guru secara profesi ataupun non profesi. Maka sungguh mulia jasa seorang guru.
Baca Juga:Mahasiswa Keluhkan Fasilitas Book Drop Rusak, Ana: Sudah Dilaporkan
Hidup sebagai Manusia Bingung
Ada fenomena menarik sekaligus mencengangkan dari generasi muda di Indonesia saat ini. Di mana terdapat fenomena “kebingungan”, yang mana fenomena ini cukup berpengaruh terhadap masa depan bangsa.
Melalui kanal YouTubenya, Guru Gembul, seorang youtuber sekaligus praktisi pendidikan mengkritik sistem pendidikan di Indonesia yang dinilai sudah tidak relevan. Hasil survei yang ia lakukan terhadap siswa-siswa di beberapa sekolah, ia menemukan fakta bahwa generasi muda di Indonesia sedang mengalami krisis kepribadian.
Pertanyaan seperti, apa cita-cita saat besar nanti? Dalam 5 tahun ke depan ingin mendapatkan gaji dan pekerjaan seperti apa? Apa bakat dan hobi yang dimiliki? Bila mendapat uang 5 miliar akan digunakan untuk apa?
Dari semua pertanyaan tersebut, tidak ada sama sekali jawaban yang konkret dari hasil survei tersebut.
Kita coba pula menjawab bersama pertanyaan di atas, apakah mendapati hal yang serupa? Atau jangan-jangan kita juga termasuk manusia yang kebingungan?
Lantas dari seluruh pertanyaan di atas, apakah justru guru yang selama ini menjadikan kita menjadi manusia bingung? Lalu bagaimana hasil pembelajaran selama 12 tahun bila menjawab pertanyaan kehidupan saja tidak mampu?
Tentu pertanyaan itu tidak bisa sepenuhnya dijadikan parameter kegagalan generasi muda. Namun setidaknya bisa menjadi bahan evaluasi, bahwa sesederhana pertanyaan tentang masa depan saja belum sepenuhnya bisa kita genapi.
Bukan salah guru. Mungkin terlalu naif bila langsung menyalahkan jasa besar para guru. Tidak adil juga bila hanya menuduh guru sebagai biang kegagalan tanpa melihat faktor lain.
Masa Tadika, Masa Dewasa
Jauh sebelum kebingungan melanda generasi muda, mungkin kita perlu mundur sejenak membayangkan masa tadika yang penuh fantasi dan canda tawa. Tak terbayang jika di masa itu kita pernah dengan mudahnya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, seperti “saya ingin jadi polisi”, “saya ingin jadi dokter”, “saya suka mengambar”, “saya suka sepakbola”. Seolah-olah tak ada beban takut akan masa depan.
Melihat idealisme masa tadika yang kandas di kala beranjak dewasa tersebab realitas. Tentu tak akan jauh kaitannya dengan masa sekolah, karena di masa inilah suatu generasi ditempa bekal ilmu pengetahuan.
Lantas apakah “bekal” di sekolah selama ini salah akibat “terlalu banyak”, yang justru terkadang tidak dibutuhkan hingga dipaksa “melahap” bekal tadi mentah-mentah? Siswa di sekolah rasanya terlalu dipaksakan mesti tahu segalanya, padahal tidak semua siswa menginginkan bekal bila tak sesuai “seleranya”.
Di luar itu masih marak juga kasus perpeloncoan, kekerasan guru terhadap siswa baik verbal maupun fisik, komersialisasi pendidikan, dan lain sebagainya yang menambah ketidaknyamanan dalam bersekolah.
Sekali lagi bukan salah guru.
Baca Juga:Guru, Digugu dan Ditiru
Pendidikan yang Seperti Apa?
Dewasa ini terkadang generasi muda cukup kesulitan dalam mencari pekerjaan. Selepas lulus SMA/SMK para siswa merasa kebingungan akan kemana selanjutnya, mencari pekerjaan harus berpengalaman, berkuliah pun terhambat pembiayaan.
Mengutip dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, memperlihatkan tingkat pengangguran di Indonesia berdasarkan jenjang pendidikan masih didominasi pada taraf SMK (9,42) dan SMA (8,57). Mengutip dari artikel yang ditulis Lokadata.id (2020), seorang pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Indonesia, Palawan Simanjuntak, menjelaskan salah satu alasan mengapa Indonesia punya banyak pengangguran terdidik.
Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia masih minim membangun jiwa kreativitas dan inovasi. Sementara itu, pengetahuan saja nyatanya tidak cukup, karena harus diimbangi dengan keterampilan agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri.
Sekali lagi bukan salah guru.
Logika Pembelajar: Bertanya bukan Menjawab
Di episode lain pada kanal youtube Guru Gembul, juga memaparkan pembahasan yang cukup menarik. Ia menyebut bahwasannya seorang pembelajar adalah seorang yang ingin belajar. Seorang yang ingin belajar tentu saja belum menguasai atau tidak mengetahui sesuatu. Maka logika sederhananya seorang pembelajar harusnya akan lebih banyak bertanya ketimbang menjawab, karena bila seseorang menjawab artinya ia sudah menguasai suatu ilmu.
Sekolah sendiri merupakan tempat untuk belajar, yang mulanya tidak tahu menjadi tahu. Maka baiknya guru bisa lebih bersabar dan memberi ruang kepada siswa. Bukan malah mematikan segala keingintahuan dengan dalih siswa terlalu banyak bertanya.
Sekali lagi bukan salah guru.
Baca Juga:Sejarawan: Ratu Kalinyamat Tokoh Historis Bukan Fiktif
Guru Kehidupan
Bagaimana pun juga guru yang baik adalah yang mengajarkan suatu pengetahuan dan ia mencapai kebermanfaatan darinya. Pendidikan yang baik pula yakni menanamkan budi pekerti yang baik, memahamkan inovasi dan teknologi, hingga mengajari seputar isu terkini.
Sejatinya guru bukan sekedar gelar yang disandang bagi mereka yang berprofesi sebagai guru formal saja. Lebih dari itu, guru adalah predikat yang layak diberikan kepada siapapun yang berusaha menolak kebodohan serta berjuang untuk mempertinggi derajat kemanusiaan.
Akhirnya guru selayaknya juga manusia yang penuh alpa tak selalu sempurna. Sang guru tentu telah berikhtiar sekadar kuasanya. Namun, semua elemen masyarakat harus ikut andil dalam usaha mencerahkan bangsa.
Sekali lagi bukan salah guru.
Penulis: Haqqi Idral