Sebagaimana dipahami oleh setiap muslim di penjuru dunia, salat ialah rukun Islam kedua setelah syahadatain. Salat merupakan bentuk penghambaan seorang muslim kepada Allah yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Dipahami oleh setiap muslim bukan berarti sepenuhnya dijalani. Masih banyak muslim yang mencari pembenaran ketika mereka melalaikan salat. Mungkin ini terkesan terlalu sarkas, tetapi begitulah faktanya.
Banyak orang lalai terhadap salatnya berdalih karena sibuk dengan urusan dunia. Padahal bila ditelisik lebih jauh, justru salat merupakan waktu untuk “beristirahat”.
Baca Juga:Sehari Menyusur Jasa Para Pahlawan
Sesungguhnya salat sendiri memuat beberapa aspek nilai kehidupan yang dapat membentuk pola dan keserasian dalam berkehidupan. Karena sejatinya salat adalah miniatur berkehidupan.
Salat, Tak Sekadar Gerakan Ritmik
Ada beberapa tahapan sebelum melakukan salat yang sebenarnya pun kita sudah banyak tahu. Seperti berwudu, mengunakan pakaian yang bersih (tidak najis), menutup aurat, menghadap arah kiblat dan lain sebagainya.
Belum lagi tatkala melakukan salat, banyak sekali hal yang harus diperhatikan. Misalnya membaca bacaan salat, membaca surah di Al-Qur’an, tertib (berurutan).
Baca Juga: Repotnya Menjadi Muslimah Indonesia
Itu belum dengan pembahasan bagaimana kriteria imam? Bagaimana ketika imam batal? Kenapa salat dianjurkan berjamaah? Kenapa kaki harus lurus dan rapat ketika salat? Dan pertanyaan bagaimana-kenapa yang intinya “kenapa salat saja begitu ruwet?”.
Jawabannya bukan karena salat yang rumit, namun kita yang belum paham hakikat dari salat itu sendiri. Menghadapkan hati dan menghadirkan cinta kepada Allah.
Miniatur Berkehidupan
Bukankah justru salat itu ibadah yang unik? Semua orang berkumpul pada satu waktu dengan satu komando dan tidaklah selalu saling kenal ke semua orang disana. Ketika salat pun sama, imam takbir makmum pun mengikuti, imam ruku’ makmum pun demikian.
Agaknya dalam bernegara juga selayaknya salat berjamaah. Apapun yang diperintahkan seorang pemimpin (imam) harus ditaati. Kalaupun pemimpin salah atau lupa, rakyat berhak meluruskan dan tak sampai mendahului (memberontak).
Dikala pemimpin mendapati keperluan “darurat”, maka jamaah pun segera menggantikan kepemimpinan agar tetap berjalan, hingga berakhirnya serangkaian “amanah”.
Adapun sebelum salat sang imam senantiasa mengucapkan “ Sawwuu shufuu fakum fainna taswiyata-shaffi min tamaamis-shalaah ” (luruskan shaf kalian karena meluruskan shaf itu bagian dari kesempurnaan salat).
Selayaknya erat-regangnya hubungan di masyarakat bakal berpengaruh terhadap persatuan satu negara.
Sebelum itu pula jamaah mesti menentukan siapa yang layak memimpin sholat mereka. Sebut saja kriteria yang paling baik dan mengerti bacaan Al-Qur’annya, lalu yang paling paham sunnah nabi, lalu yang lebih dulu masuk Islam dan seterusnya.
Maka bernegara juga tentunya demikian dalam menentukan seorang pemimpin, yang baik agamanya dan baik sosialnya.
Kenapa Kita Salat?
Pertanyaan “Kenapa kita salat?” seakan hampir sama jawabannya dengan “Kenapa kita beragama Islam?”. Karena pada dasarnya ibadah salat adalah bagian dari agama Islam itu sendiri, tak terpisahkan.
Selain itu dengan ibadah salat-lah seseorang bisa diidentifikasi sebagai seorang muslim, karena sebagian agama pun beriman kepada Allah namun dengan cara beribadahnya masing-masing (tidak salat).
Salat memiliki makna filosofis dalam berkehidupan. Seperti mengajarkan nilai kedisiplinan, ketaatan, kebersihan, ketenangan, sosial, dan nilai filosofis lainnya dalam salat.
Ibadah salat juga bisa dijadikan salah satu tolak ukur baik-buruknya keIslaman seseorang. Rasulullah SAW pun bersabda, “Salat adalah tiang agama, maka siapa yang mendirikan salat, berarti ia menegakkan sendi-sendi agama, dan siapa yang meninggalkan salat, berarti ia telah meruntuhkan sendi-sendi agama.”
Oleh karena itu, sesibuk apapun kita dengan urusan duniawi, jangan sampai hal tersebut membuat kita lalai dalam menjalankan perintah Allah.
Penulis: Haqqi Idral