Foto: Lpmmissi.com/ Tirto.id |
Hari Puisi Nasional diperingati setiap tanggal 28 April. Penetapannya berdasarkan tanggal wafatnya penyair terkemuka Indonesia, Chairil Anwar, pada 28 April 1949 untuk mengenang karya-karyanya. Tak hanya itu, di hari bersejarah ini juga mengenang karya dari penyair Indonesia lainnya. Salah satunya yaitu Gurindam 12, gubahan seorang sastrawan dari Pulau Penyengat bernama Raja Ali Haji.
Gurindam 12 ini salah satu bentuk puisi Melayu lama , yang mempunyai ciri khas banyaknya penggunaan istilah tasawuf, kata-kata kiasan juga metafora. Seperti namanya, gurindam 12 ini terdiri dari dua belas pasal. Setiap pasalnya merupakan satu kesatuan dan karya ini dikategorikan sebagai Syi’r al-Irsyad atau puisi dikdatik, karena isinya tentang nasihat-nasihat dalam menjalani kehidupan serta pesan yang mengingatkan kita terhadap Tuhan.
Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilang nama.
Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang marifat.
Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan tuhan yang bahari.
Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang terpedaya.
Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia mudharat.
Baca juga: Nyadran dan Kerukunannya
Itulah bunyi Pasal Pertama Gurindam 12, terdiri dari enam bait yang mempunyai makna berbeda disetiap lariknya. Di pasal pertama ini mengandung makna tentang nasihat keagamaan atau Religiusitas. Pertama, agama adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia. Kedua, manusia yang memiliki agama maka ia akan senantiasa memegang teguh pada empat hal, yakni mengenal Allah, diri, dunia dan akhirat.
Gurindam 12 ini dilatarbelakangi dari konflik internal kerajaan dan tekanan penjajah pada Kerajaan Riau-Lingga, pada saat itu situasi sedang kacau. Kekacauan yang terjadi diantaranya maraknya anak yang melawan orangtua, dan pemimpin yang tidak mau mendengarkan rakyatnya. Melihat hal itu, Raja Ali Haji menunjukkan tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi agama dan budaya Islam melalui Gurindam 12 ini. Agar nilai-nilai keislaman tidak terkikis oleh konflik internal dan eksternal di Masyarakat Melayu.
Karya Raja Ali Haji ini selesai ditulis pada 23 Rajab 1263 Hijriah atau 1846 Masehi saat beliau berusia 38 tahun. Hasil karangannya ini mulai terkenal dalam kesastraan berawal dari seorang berkebangsaan Belanda yang fasih berbahasa melayu, dan memiliki minat terhadap sejarah kebudayaan Melayu. Ia dikenal dengan nama Eliza Netscher.
Baca juga: Tidak Ada Pohon, Tidak Ada Buku
Melihat kebesaran karya Raja Ali Haji, Netscher menerjemahkan Gurindam 12 ke dalam Bahasa Belanda dengan judul De Twaalf Spreukedichten. Terjemahan dengan huruf latin tersebut disandingkan dengan teks dalam Bahasa Melayu menggunakan huruf Jawi atau dikenal juga Arab Melayu. Netscher mempublikasikan karyanya dalam Tjidschrift voor Indische Tall-, Land-en Vokenkunde yang diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap van Kusten en Wetenschappen Jilid II pada 1854 Masehi. Publikasi itu pun menyita perhatian luas para intelektual Belanda, karena mereka mendapati tempat di mana Bahasa Melayu berkembang dengan struktur bahasa yang tertata.
Pada awal pertengahan abad ke-20, Gurindam 12 mungkin sudah dikenal banyak orang. Namun, sang penggubah Gurindam 12, Raja Ali Haji kurang dikenal masyarakat dalam dunia sastra. Hal ini berlangsung hingga 1969, ketika Shaeh Saidi mengkaji dan menerjemahkan teks Gurindam 12 yang diterbitkan Netscher. Berkat Saidi, Gurindam 12 diperkenalkan ke ranah sastra modern Indonesia sehingga sampai pada masyarakat luas melalui buku dan tulisan-tulisan Satan Takdir Alisyahbana, Madong Lubis, Sabaruddin Ahmad, Zuber Usman, Abdul Hadi MW dan penulis terkenal lainnya.
Kendati demikian, dengan mengenal Gurindam 12 pada era sastra modern tentunya kita juga mengenang bagaimana Sastra Melayu menjadi bagian perkembangan sastra di Indonesia. Tak hanya itu, nasihat yang dikemas menjadi Gurindam dengan 12 pasal ini mengajak kita untuk ikut menjalankan petuahnya di kehidupan sehari-hari. Selain itu, kita juga mengingat kembali bagaimana Raja Ali Haji menunjukkan struktur bahasa Melayu yang tertata yang menjadi cikal bakal bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia. Karena beliaulah penulis pertama kamus ensiklopedis Bahasa Melayu ekabahasa berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa dan Penulis pertama buku tata Bahasa Melayu dengan berjudul Bustanil Katibin.
Oleh Muhammad Irfan Habibi