Foto: Lpmmissi.com/ Kompas.com |
Namaku bento rumah real estate
Orang memanggilku bos eksekutif
Tokoh papan atas, atas segalanya (Asyik!)
Panggalan lirik lagu Bento milik Iwan Fals ini menggambarkan sosok laki-laki yang berkuasa atau memiliki segalanya. Ia licik selalu memanfaatkan kekuasaannya dengan hal yang tidak baik. Dalam kesehariannya bento juga sering menyuarakan tentang moral dan keadilan tetapi untuk menutupi keburukannya.
Ketika lagu ini dikaitkan dengan kasus pelecehan seksual di ranah pendidikan, sepertinya pas dan sesuai dengan perilaku Bento yang dijelaskan di atas.
Pendidikan dijadikan sebagai tempat orang-orang berbicara tentang moral, keadilan, kemanusiaan dan lain sebagainya. Tetapi mungkin saja mereka banyak menutupi ketidakadilan yang ditutupi untuk banyak orang.
Baca juga: Perempuan dalam Jeratan Undang-Undang
Maraknya kasus pelecehan seksual banyak disebabkan oleh relasi kuasa. Dimana pelaku memiliki kekuasaan atas ketidakberdayaan korban. Relasi kuasa di ranah pendidikan sendiri misalnya terjadi pada dosen dengan mahasisiwi, senior dengan junior dan teman sebaya pun tak menutup kemungkinan jika seseorang tersebut saling menyukai satu sama lainnya.
Akhir-akhir ini juga banyak terungkap kasus pelecehan seksual di ranah pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Menurut International labour Organization, pelecahan seksual merupakan bentuk diskriminasi seksual yang mempengaruhi wibawa perempuan dan laki-laki. Akan tetapi kebanyakan korban pelecahan seksual menimpa perempuan. Bentuk pelecehan seksual contohnya, memaksa korban untuk melakukan tindak seksual seperti seks oral atau penetrasi yang dilakukan pelaku, percobaan pemerkosaan dan lainnya.
Korban pelecehan seksual biasanya cenderung menutupi kasusnya, ia tidak memiliki keberanian untuk melapor. Mungkin korban juga takut diancam oleh pelaku. Misalnya mahasisiwi B mengalami pelecehan seksual saat sedang bimbingan skripsi, maka mahasiswi ini pasti enggan untuk melapor karena ditakutkan proses skripsinya bakal dipersulit bahkan bisa saja diancam tidak lulus.
Seperti kasus pelecehan seksual terbaru terungkap di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) melibatkan seorang alumni yang lulus pada 2016, Lembaga Bantuan hukum (LBH) Yogyakarta menerima laporan pelaku telah melakukan kekerasaan seksual kepada 30 korban. Kebanyakan dari korban ini berani angkat suara ketika mereka sudah lulus.
Baca juga: Mengakui dan Mengingkari Martabat Perempuan
Kasus diatas menunjukkan betapa sulitnya bagi korban pelecehan seksual untuk melapor. Lantaran dibuktikan dari banyaknya korban yang melapor setelah mereka lulus. Mengapa hal itu bisa terjadi? Iya karena belum adanya payung hukum yang jelas, mereka tentu sungkan dan tidak mendapat dukungan sebab takut mencemarkan nama baik kampus.
Kasus pelecehan seksual diatas hanya satu dari sekian banyak kasus lainnya. Pelecehan seksual di kampus mungkin saja banyak, akan tetapi pihak kampus cenderung menyembunyikan kasus tersebut karena dianggap aib yang jelek. Sebenarnya hal ini salah, karena kampus tidak memberikan pelayanan ruang aman bagi korban. Hal tersebut menyalahgunakan posisi kampus sebagai penjamin kenyamanan itu sendiri. Isu pelecehan seksual di ranah kampus harus diangkat dan diutamakan supaya korban yang mengalami merasakan aman terlebih dahulu.
Tidak ada regulasi yang jelas juga dalam penanganan pelecehan seksual di setiap kampus, maka diperlukan reinkarnasi ruang aman bagi korban pelecehan seksual. Dalam bahasa latin memang reinkarnasi artinya lahir kembali atau seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan yang lain. Namun, reinkarnasi yang dimaksud ialah bagaimana kampus benar-benar serius untuk membuat regulasi baru bagi korban pelecehan seksual.
Mungkin perguruan tinggi islam sudah memiliki progress yang baik, dengan menertibkan secara resmi Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam nomor 5494 tahun 2019 tentang prosedur pencegahan kekerasaan seksual, pengadaan ruang atau fasilitas untuk melayani pengaduan korban kekerasan seksual, hingga pelayanan pemulihan untuk korban.
Baca juga: Sayidah Aisyah Tak Sekadar Lagu “Aisyah Istri Rasulullah”
Kebijakan tersebut atas kesepakatan dari Komnas Perempuan dengan Pusat Studi Gender dan Anak oleh beberapa kampus Islam dengan tujuan untuk melindungi atau sebagai payung hukum untuk kasus pelecehan seksual.
Regulasi tersebut seharusnya segera diterapkan serta disosialisasikan ke semua masyarakat kampus. Tak hanya di perguruan Islam saja, harusnya kebijakan tersebut harus menyeluruh kepada dunia pendidikan baik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Meski sudah ada lembaga yang menaungi untuk korban pelecehan seksual, tetap tidaklah mudah untuk menyakinkan korban untuk berani membuka suaranya. Kasus ini juga sulit untuk diselesaikan, sebab minimnya bukti. Kemudian tidak semua kalangan dapat menerima serta sepakat dari gerakan-gerakan untuk mengadvokasi korban pelecehan seksual.
Baca juga: Kemunduran Adab Kartini Zaman Now
Perempuan berhak mendapatkan jaminan serta perlindungan dari tindak kekerasan ataupun pelecehan seksual di ranah manapun terutama di dunia pendidikan. Sebab hal itu juga menyangkut hak asasi manusia. Dibutuhkan kesadaran semua lapisan civitas akademik untuk mengatasi permasalahan ini.
Suarakan kebenaran, meskipun beresiko. Dengan menggugat dan menyelesaikan masalah kalian. Diam atau tak acuh bukan cara yang tepat untuk menjaga martabat seorang perempuan.
Oleh: Fitroh Nurikhsan