Jika sebagai kekasih aku hanya sebagai
Ku ulangi karena kenyataan memang begitu
Aku hanya sebagai yang selalu membaca dan menuliskanmu
Bukan yang mampu membawamu ke masa yang disebut bahagia
Aku hanya sebagai yang paling resah ketika senyummu tak muncul hari ini
Aku hanya sebagai yang paling gundah ketika sedari pagi engkau muram
Aku hanya sebagai yang paling cemburu ketika kau menemukan dan melupakan yang sudah tak asik ini sebagai aku
Beberapa hari kerinduanku menggebu, namun bertambah pilu
Biarlah ini menjadi bagian rasa dari aku dan kamu
Aku kehilangan itu
…
“Bagus juga puisimu”
Yang membaca hanya tersenyum
“Setiap menjelang sore aku melihatmu di sini, bahkan sekali waktu aku melihatmu pagi-pagi”
“Kau tahu? Pantai, angin dan desiran ombak tidak pernah bisa dipisahkan”
“Maksudmu?”
“Aku menyukainya”
“Kau suka laut?”
“Tidak”
“Lantas?”
“Aku menyukai yang tidak bisa dipisahkan”
“Tapi bukankah segala sesuatu pasti terpisahkan?”
“Tuhan juga selektif untuk memisahkan, dan rasa cintaku selalu lolos dari seleksi itu”
Yang bertanya ganti tersenyum
…
Mentari berangsur turun seakan mendekati permukaan laut di seberang, angin semakin manja menyentuh siapa saja yang bersahabat dengan pantai, lalu lalang orang dan suara ombak semakin ramai. Tak ada buih yang berkurang, begitupun jumlah pasir. Ribuan burung bertebangan, ada yang pergi dan pulang, mereka seakan bergantian bertugas menjaga sarang saat gelap menjelang.
“Kau pernah punya kekasih nona?”
“Pernah, tapi tidak sepuitis kau”
“Aku juga tidak sepuitis buih di bawah sana”
“Ke mana kekasihmu?”
“Dia menjelma puisi”
“Maksudmu?”
…
Hujan tak pernah berhenti bulan itu, mungkin sekarang kebanyakan menyebut november rain. Aku selalu menyukainya, apalagi ketika hujan turun sore hari, pun kekasihku. Dia yang paling pertama tersenyum sebelum para petani meluapkan bahagianya. Dia yang selalu mengirim perahu kertas lewat aliran sungai kecil dadakan di samping rumahnya, menuliskan namaku dan namanya pada dinding-dindingnya. Ia punya keyakinan, jika perahu kertas itu tidak tenggelam sampai ujung pelataran, cinta kami akan berakhir dengan bahagia, dan jika perahu kertas itu tenggelam, ia yakin aku akan menyelamatkannya, meski ia tahu, aku sendiri tak bisa berenang. Entah berapa kertas yang membuatnya tersenyum dan manyun, ia selalu melakukannya setiap hujan, selalu.
Pernah suatu ketika perahu kertasnya tak tenggelam dan tak sampai tujuan, tersangkut. Ia kalut, barangkali dalam perjalanan kisah cinta kami akan berhenti di tengah jalan, terhalang entah apa yang membuat kami tak bisa meneruskan apalagi menenggelamkan diri. Dia berdoa seyakin yakinnya, memejamkan mata dan kedua tangannya saling erat menggenggam. Tuhan mendengarnya kala itu, tiupan angin mendorong perahu kertasnya, meski sempat tenggelam sebentar, tanpa aku selamatkan perahu kertas itu mampu berlayar seperti sedia kala, sampai tujuan. Ia tersenyum bahagia, tuhan merestui cinta kami katanya saat bercerita. Aku tersenyum tentu, mungkin juga tuhan.
Baca juga: “Beberapa Hari Kedepan”
Betapa bahagia sangat sederhana saat itu, hanya dengan perahu kertas masa depan bisa kami angankan. Tak ada yang kekananak-kanakan perihal perahu kertas, karena cinta tak memandang usia. Saat setengah hari sudah berlalu dan langit tidak memberikan tanda akan menangis, kekasihku yang akan menangis, ia sedih lantaran cintanya tak bisa diramalkan. Dan aku tak bisa berbuat banyak selain berdoa agar ada yang menyakiti langit dan ia menangis. Tak ada doaku yang terkabul, kalaupun langit menangis itu karena iba pada kekasihku.
Kami selalu bertukar cerita saat bertemu, meski tak setiap hari tapi cerita-cerita itu cukup kuat dalam ingatan hingga pertemuan selanjutnya, sekedar benostalgia pada kebahagiaan sebelumnya. Sekali waktu ia pernah membawa perahu-perahu kertasnya saat kami bertemu, di sini. Ternyata selama hujan ia mengumpulkannya, yang tenggelam dan yang sampai tujuan. Ia akan memamerkannya padaku, membandingkannya mana yang lebih banyak, sampai tujuan atau tenggelam. Salah satu perahunya yang tersangkut ia tunjukan dan berkata “aku kira kau tak akan menyelamatkanku kemarin” aku tersenyum “mana mungkin kutinggalkan kekasihku dalam air keruh”.
Tawa selalu menjadi penutup dari pertemuan kami, tak jarang tangannya yang lembut menggenggam jemariku, matannya yang berbinar menatapku, dan bibirnya yang manis berucap “kita akan sampai tujuan kan?”
“tentu!” kataku, “aku sudah belajar berenang sekarang, ikan manapun akan kalah cepat nantinnya denganku”
“gombal, hujan tidak pernah mendatangkan ikan apalagi lumba-lumba,”
kami tertawa.
…
Tiga pekan kami tak bertemu, hujan juga tak turun sejak pertemuanku dengannya terakhir kali. Tak ada surat yang kulayangkan, tak ada pula secarik kertas yang mampir padaku, mungkin sudah habis ia buat perahu yang berlayar di atas air matanya sendiri. Aku jelas risau, tak ada yang memberi kabar, bahkan langit tak memberiku pertanda bahwa ia sedang bahagia atau menangis. Jika ia menangis, tentu hujan turun, dan sepekan ini langit biasa-biasa saja.
Hingga sore itu, ketika lamunanku menjadi, kegelisahanku berkelanjutan dan rinduku tak beraturan, aku datang ke sini, ke gubuk tempat aku dan dia bertemu di hari-hari sebelumnya. Kutemukan kertas kecil tertindih batu kerikil, aku yakin itu darinya, kubaca dengan seksama, hanya satu baris isinya.
“Aku hampir tenggelam, selamatkan aku di tepi pantai besok sore”.
Tidak ada hujan, kenapa perahu kertasnya tetap berlayar? Tanpa air, apa yang bisa dilakukan seorang perenang? Semua tanda tanya ketika itu kusimpan dahulu, aku yakin kekasihku tidak dalam masa bahagianya, dia lebih dari sekedar tenggelam dan aku tak menyadarinya.
Semalam suntuk aku tak pulang, bahkan setelah membaca sebaris kalimat itu. Barangkali sedetik waktu yang terlewat akan menjadi kekecewaan. Kertasnya masih ku genggam erat, hampir sobek, kerikilnya kulemparkan kelangit, berharap ia kesakitan dan menangis, dan aku tahu penyebab kekasihku tenggelam adalah perahu kertasnya. Tapi semua hanya harapanku, malan itu bintang lebih banyak dari biasanya, angin, ombak, buih dan burung-burung tidak memperindah pantai seperti biasa, justru menambah gelisah. Tidak ada malam yang lebih lama kurasa selain malam itu, tidak ada pagi yang buruk selain waktu itu, tidak ada siang yang membakar selain menunggu sore kala itu, waktu membunuhku setiap detiknya.
Baca juga: Riak Rindu
Sampai matahari benar-benar tergelincir, namun panasnya semakin menjadi kurasa. Kutunggu kekasihku di dermaga, melangkah gelisah ke kanan kiri beberapa kali dengan secarik kertas masih ku genggam.
Sebuah kapal ferrari melabuh, dengan suara cerobong keras dan mengeluarkan asap, kemudian segerombolan orang berbusana rapi turun dengan seorang lelaki berdasi dan jas hitam diiring dengan senyum sepanjang langkah kakinya. Dan di sudut yang lain seorang wanita bergaun putih berjalan sayu, langkahnya seperti dipaksa, wajahnya tertunduk, tanganya menenteng bunga mawar putih yang basah karena air mata, rambutnya terikat rapi dengan kerudung putih hanya disampirkan, lelaki paruh baya disampingnya menuntun dengan senyum sumringah, yang lain berjalan di belakang mengikuti.
Kusipitkan mataku melebihi mata sniper, memastikan. Riuh ombak, ribut angin dan tawa bahagia semu orang-orang yang kuamati tak berhasil menembus gendang telingaku. Seluruh tubuhku beku termasuk hati, seperti tak berdetak. Mataku tak bisa berkedip, mulutku tak bisa mengucap, tanganku semakin kuat mengepal. Aku menangis untuk pertama kali dalam kisah cintaku, dan kekasihku di seberang sana menyadari. Ia menatapku dengan air mata yang lebih menjadi, mungkin jika langit tahu ia akan menurunkan hujan badai, seperti yang kurasa. Jangankan untuk berenang, melihat air matanya saja aku hampir mati, tenggelam.
Resepsi pernikahanya berlangsung singkat, mereka bergantian menaiki anak tangga kapal, bersiap merayakan pernikahan tanpa kasih sayang. Tak ada yang bisa ku selamatkan, bahkan diriku sendiri. Aku berdoa atas dasar cinta semoga tuhan mengutukku menjadi air laut, kemudian aku akan menenggelamkan mereka semua. Namun seperti biasa, tuhan teramat pelit mengabulkan permintaanku. Kapal itu berlayar di permukaan laut dengan damai, sedamai ramalan cinta.
…
“Aku tak pernah melihat kapal itu kembali”
“Kau masih menunggunya?”
“Seperti yang kau lihat, setiap sore aku akan memanggil kekasihku dengan puisi”
“Kenapa tak menggunakan perahu kertas?”
“Perahu kertas tidak akan mampu berlayar membawa rindu dan deritaku, sedang puisiku akan terbawa bebas oleh angin, kekasihku akan mendengarnya”
“Kau memang selalu lolos dari seleksi Tuhan, tapi bagaimana dengan kekasihmu, dia sudah bersuami”
“Seharusnya kau bisa melihat kekasihku pada puisi yang setiap sore kau intip”
“Siapa namamu?”
“Sapardi”
“Aku mencintaimu”.
Oleh: Isbalna