Resmi sudah pemerintah baru Indonesia menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Hal ini merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Lagi-lagi, rakyat kecil akan menjadi pihak yang paling dirugikan akibat kebijakan penguasa. Pemerintah mengklaim kebijakan tersebut merupakan langkah strategis dan sudah tepat untuk menaikkan pendapatan negara. Katanya.
Namun, di balik upaya menaikkan pendapatan negara, sekali lagi rakyat kecil yang terpaksa menanggung beban berat tersebut.
Baca Juga: Mantradeva: One Piece Lite Berunsur Budaya Bali
Makan bergizi gratis tak ubahnya hanya sekadar janji politik yang dikemas apik dalam kampanye Pemilihan Umum (Pemilu).
Kenaikan PPN: Sebuah Beban bagi Rakyat
Entah kenapa pemerintah seakan pura-pura tidak mengerti, kenaikan PPN tentu saja akan menaikan harga barang dan jasa. Inflasi tidak terhindarkan, kemudian daya beli masyarakat akan menurun, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dampak yang paling signifikan dari kebijakan ini adalah turunnya daya beli masyakarat. Bahkan Center of Economic and Law Studies (Celios) memproyeksikan akan terjadi tambahan pengeluaran, baik kelompok miskin dan kelompok kelas menengah.
Kelompok miskin diperkirakan akan menambah pengeluaran mereka sampai Rp. 101.880/bulan, sedangkan untuk kelas menengah Rp. 354.293/bulan.
Memang pemerintah berjanji akan membebaskan bahan-bahan pokok seperti telur, beras, hingga sayuran dari pajak. Namun tetap saja akan ada efek domino akibat kenaikan harga barang dari sektor lain.
Seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya harus menghitung tiap rupiah yang dikeluarkan, kini akan menghadapi tantangan yang lebih berat. Mereka harus membagi ketat pengeluaran biaya pendidikan anak dan kebutuhan rumah tangga.
Rakyat kecil yang selama ini sudah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, sekali lagi dipaksa untuk berkorban demi ambisi pemerintah yang seolah-olah bertujuan mulia.
Lantas, benarkah kebijakan tersebut akan terjadi secara adil, atau justru hanya demi kepentingan segelintir saja?
Ironi Dibalik Janji Makan Gratis
Dalam kampanye politik yang digaungkan oleh Presiden terpilih, program makan bergizi gratis adalah salah satu yang menonjol. Tentu saja sebuah program yang sangat menggiurkan, terlebih bagi masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan.
Tetapi lagi-lagi pertanyaannya adalah, darimana pemerintah akan mengambil anggaran dari program tersebut?
Jangan-jangan, kenaikan PPN hanyalah alibi pemerintah untuk menutupi kebutuhan anggaran yang populis tersebut?
Baca Juga: Kampanye #BersuaraTiapHari, Trend Asia Ajak Publik Suarakan Isu Kerusakan Lingkungan
Makanan gratis yang dijanjikan justru harus dibayar lebih oleh rakyat melalui konsumsi barang dan jasa yang digunakan sehari-hari.
Sialnya, di sisi lain pemerintah memberikan banyak kemudahan kepada korporasi dan pemain elite pada sektor tertentu. Subsidi kendaraan listrik, diskon tarif kereta cepat, tampaknya lebih dinikmati masyarakat kalangan atas. Sementara rakyat kecil harus menanggung beban pajak yang semakin melejit.
Apakah benar janji politik yang selama ini digaungkan untuk menyejahterakan rakyat kecil?
Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah, Gejolak Penolakan Rakyat
Terhitung sudah lebih dari 150 ribu orang yang menandatangani petisi penolakan PPN naik 12%. Sesuai amanat UUD, Indonesia adalah negara demokrasi yang keputusannya diambil bersama dengan rakyat.
Keputusan rakyat adalah menolak kenaikan PPN yang terasa cukup mencekik. Barangkali masyarakat telah belajar dari pengalaman, ketika pajak dinaikkan korupsi justru semakin merajalela.
Menurut laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) tercatat sebanyak 271 kasus korupsi sejak 2019, lalu naik menjadi 791 kasus pada tahun 2023. Dari data tersebut artinya korupsi mengalami kenaikan sejumlah 520 kasus selama lima tahun terakhir.
Dari rekam jejak tersebut, masih bisakah rakyat percaya dengan pemerintah? Bukannya kesejahteraan rakyat ikut naik, justru kasus korupsi yang semakin naik.
Maka tidak salah jika rakyat beranggapan bahwa pemerintah hanya memanfaatkan hasil keringat rakyat hanya untuk menghidupi para pejabat korup.
Bayangkan jika pajak (benar-benar) digunakan semestinya kepada rakyat. (Benar-benar) disalurkan untuk kebutuhan rakyat terhadap akses pendidikan, transportasi, fasilitas umum, hingga layanan kesehatan, mungkin saja tidak masalah jika pajak dinaikan 50% sekalipun.
Sayangnya semua hal tersebut rasanya hanya utopia belaka, lagi-lagi semua soal kepercayaan yang telah dirusak.
Jika pemerintah benar-benar peduli dengan kesejahteraan rakyat, seharusnya mendengarkan suara mereka. Pemerintah harus mengembalikan lagi kepercayaan rakyat yang sudah hancur.
Keputusan menaikkan PPN bukanlah satu-satunya jalan membangkitkan ekonomi negara. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan PPN naik 12%, melihat bagaimana kondisi ekonomi rakyat yang tengah surut.
Masih ada waktu untuk meninjau ulang keputusan dengan bijak, tanpa harus mengorbankan jerih payah rakyat kecil sebagai korbannya.
Penulis: Ayu Trianasari