Sekilas
Pada Tanggal 24 November 2024 dini hari, warga dikejutkan dengan peristiwa penembakan terhadap dua pelajar (beberapa sumber menyebut tiga pelajar) SMK di Kota Semarang yang dilakukan oleh anggota Polisi, dan salah satu korban akhirnya meninggal dunia.
Pihak Kepolisian setempat mengklaim bahwa tindakan yang mereka ambil merupakan bentuk penanganan tawuran, Polisi juga menyebut jika korban adalah salah satu anggota geng tawuran di Semarang.
Namun, klaim tersebut justru berkebalikan dengan pihak keluarga, guru, dan teman korban yang menyatakan bahwa korban adalah pelajar yang baik dan berprestasi.
Terlepas soal benar dan salah, perbuatan menghilangkan nyawa secara sengaja tentu tidak bisa dibenarkan. Dan sekali lagi (dan lagi), aktor bernama polisi berada di pihak yang sama, antara sama-sama berbuat salah dan sama-sama tidak mau salah.
Polisi Baik-Polisi Buruk
Pernah mendengar istilah diatas? Polisi Baik-Polisi Buruk atau biasa disebut Good Cop-Bad Cop merupakan teknik psikologis yang biasa digunakan dalam interogasi. Biasanya, teknik ini akan melibatkan dua orang dengan peran yang berbeda.
Bad Cop akan berperan sebagai sosok yang garang, tegas, yang intinya membuat takut subjek yang sedang diinterogasi. Sedangkan Good Cop sebaliknya, ia adalah sosok yang lembut, simpatik, dan menekankan sikap positif sehingga subjek dapat percaya.
Tujuan utama dari teknik ini adalah membuat subjek mudah mengaku dan memberikan informasi. Namun, rupanya kini Good Cop-Bad Cop bukan lagi soal teknik interogasi, teknik negosiasi, ataupun teknik parenting anak, bukan.
Kini istilah tersebut seakan berada dalam bentuk aslinya, Polisi yang baik dan Polisi yang buruk, yang apa adanya.
Fenomena hari ini menunjukkan bahwa Polisi mempunyai peran ganda dalam menjalankan tugasnya, Polisi Baik berdampingan dengan Polisi Buruk. Polisi sebagai instrumen keamanan negara seringkali mempergunakan otoritasnya untuk melakukan tindak represif, baik kepada pihak yang melawan ataupun yang tidak.
Selanjutnya, muncullah Polisi Baik yang datang ke awak media ataupun konferensi pers, disitulah polisi berlaku baik dengan memberikan klarifikasi bahkan justifikasi atas tindak kekerasan yang dilakukan pihaknya.
Jangan lupa soal imbuhan “yang baik-baik” dari Polisi Baik, entah itu “demi kebaikan masyarakat”, “keamanan bersama”, “stabilitas negara” dan lain sebagainya yang menarasikan institusi tersebut berada di pihak rakyat.
Pelanggaran Institusi Polri
Kekerasan institusi Polri terhadap rakyat sipil bukan hal baru lagi di tanah air, dan peristiwa penembakan pelajar SMK di Semarang menambah panjang deretan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat keamanan tersebut.
Kekerasan yang dilakukan polisi seringkali menyalahi prosedur dan justru menyasar orang yang tidak bersalah. Entah itu berupa penangkapan, kriminalisasi ataupun intimidasi.
Laporan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Tahun 2024 menyebut, peristiwa kekerasan yang melibatkan Polri sebanyak 645 kasus, lalu peristiwa extrajudicial killing (tindak pembunuhan yang dilakukan pihak berwenang tanpa melalui proses peradilan yang sah) sebanyak 35 kasus, dan peristiwa salah tangkap sebanyak 15 kasus. Data tersebut diambil dari Juli 2023 hingga Juni 2024.
Dan sayangnya pada Ahad 24 November 2024, peristiwa kekerasan polisi terhadap warga sipil kembali terulang. Aparat kepolisian melepaskan timah panas kepada para pelajar yang diduga sedang melakukan tawuran, sedangkan menurut penuturan satpam setempat justru mengaku tidak ada aktivitas tawuran pada dini hari tersebut.
Memang dalam satu waktu Kota Semarang pernah berada pada fase “Darurat Kreak”, bahkan imbas dari tawuran tersebut banyak korban yang berjatuhan. Namun, bukan berarti aparat keamanan lantas menjadikan permasalahan tersebut sebagai pembenaran untuk melakukan penembakan secara sembarangan, bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Peristiwa ini selain menyangkut profesionalisme institusi tersebut, juga kembali memperkeruh citra polisi dimata publik. Stigma buruk masyarakat terhadap polisi akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan masyarakat di kemudian hari.
Tentu penyebutan oknum polisi tidak lagi berlaku apabila aparat keamanan tersebut masih mengulangi hal yang sama. Dan Polisi Baik akan menjadi baik bila tak sekadar bercitra yang baik-baik.
Reformasi Polri
Sudah saatnya Polisi menjadi sebenar-benar Polisi Baik-pelindung masyarakat, yang mengayomi dan melindungi kepada yang berhak. Menghilangkan institusi Polri juga merupakan hal yang salah kaprah, sebab bukan soal Polrinya yang salah, namun tentang profesionalisme dan praktik buruk yang masih ada di dalamnya.
Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi berkeadilan atau disingkat “Presisi” sudah semestinya menjadi slogan Polri sekaligus sebagai bentuk pengamalan.
Kegeraman publik terhadap institusi Polri tengah berada di kondisi yang labil, dan ada kalanya satu isu akan menutup tindak pelanggaran polisi yang akhirnya mengubur ingatan masyarakat.
Namun ada kalanya pengalihan isu akan menjadi bola es yang makin lama semakin besar, menumpuk luka lama. Dan hanya soal waktu, masyarakat akan kembali terpantik, dengan membawa gerakan, gagasan dan kegeraman. Aksi massa.
Penulis: Haqqi Idral