Beberapa malam yang lalu ketika pulang dari kampus, tiba-tiba pikiran saya pecah bagai telur ayam yang jatuh ke lantai “ mak pyiaar” karena lapar. Mau tidak mau saya harus mlipir dulu di ankringan. Sempat bertemu dengan beberapa macam spesies manusia yang terlihat bingung dengan dirinya. Ya, semenjak Gubernur DKI yang baru abah Anis Baswedan berkata “Saatnya Pribumi menjadi tuan rumah di Negeri Sendiri” mulai saat itu juga beberapa civitas angkringan mulai husnudzon antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari mereka menyangka bahwa dirinya adalah pribumi yang sudah saatnya menjadi tuan rumah di Negeri Sendiri. Seperti halnya percakapan di atas.
Sebagai mahasiswa, hati saya sempat terpanggil melihat hal itu. Bagaimana tidak? Jika tetap dibiarkan, satu dari mereka pasti akan beranggapan bahwa dirinyalah yang paling pribumi banget. Sementara yang lainnya adalah imigran dari planet Mars yang tidak boleh berkuasa. Bisa-bisa isu itu nanti di godok sebagai menu spesial menjelang pilpers 2019, bahaya juga kan? Apalagi isu PKI sekarang mulai tidak laku.
Istilah pribumi dan non-pribumi memang begitu sensitif, apalagi jika dibuat untuk ajang kampanye. Sudah cukup lama terminologi ini absen dari perpolitikan nasional, media, pidato, artikel maupun khasanah tulis menulis. Walaupun sempat sesekali gentayangan namun hal itu hanya terasa sepoi seperti bau kentut yang hanya lewat saja. Apalagi semenjak intruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 yang secara tegas mengintruksikan untuk: “Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam semua Perumusan dan Penyelanggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggara Pemerintah”.
Dulu, dulu bingit pada zaman kolonial istilah Pribumi dan Non-Pribumi memang ngehits pada masanya. Dengan istilah itu, kolonial menjadi gampang bingit untuk membedakan antara mana yang Pribumi dan Non-Pribumi. Pada masa kolonial berkuasa, orang Non-Pribumi dengan sedulurnya di tempatkan pada kelas wahid sementara orang pribumi di nomer sekiankan kecuali, para bangsawan yang mempunyai anak cantik layaknya Raisha dan bersedia untuk gabung dalam pasadulurannya. Bahkan, dulu di Kota Semarang sempat di bangun tembok besar yang dibuat untuk membatasi antara kawasan Pribumi dan kawasan Non-Pribumi. Jika abah Anis hidup di masa zaman-zaman itu, pasti beliau akan menjadi tokoh terkenal yang membela kaum pribumi, namun sayang…
Hasilnya ya begitulah, pidato pertama beliau setelah resmi menjadi gubernur yang seharusnya menjadi pidato pembuka yang indah, keren dan keche malah jadi ribet gini kan? Terkadang perjalanan menjadi gubernur tidak se-keche foto bang Shandi yang sedang viral juga. Bersabarlah ini adalah ujian abah Anis dan abang Uno. Terus-teruslah berdo’a pada tuhan, semoga ini hanyalah ujian bukan kutukan.
Abah Anis juga telah memberikan klarifikasi tentang pidato politiknya di Balai Kota DKI Jakarta. Abah juga menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan Pribumi merupakan istilah yang digunakan dalam konteks pada era penjajahan karena Abah menulisnya juga pada penjajahan dulu. Abah Anis juga mengatakan, bahwa Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan Belanda di Indonesia. Sebab, penjajahan itu terjadi di ibu kota. Yang lihat belanda jarak dekat siapa? Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok itu, mereka tahu ada Belanda, tapi apakah lihat langsung di depan mata? Gitulah kira-kira klarifikasi Abah anis kepada teman-teman wartawan yang waktu itu berada di Balai Kota DKI Jakarta. jadi yang di surabaya, semarang dll tidak pernah lihat jarak dekat. ketika perang 10 November dan perang 5 hari di Semarang, mereka hanya berperang melawan boneka Belanda yang dikendalikan oleh Kankuro.
Jadi bisa disimpulkan, bahwa Pidato politik Abah Anis di Balai Kota sebenarnya sekedar ingin mengingatkan saja tentang sejarah penjajahan Belanda kepada rakyat Indonesia, khususnya Jakarta waktu itu. Abah Anis pasti tahu istilah Pribumi sudah tidak relevan lagi dan bisa memecah belah negeri kita. Apalagi Abah Anis merupakan mantan rektor perguruan tinggi yang sangat diakui kecerdasaannya, masak tentang sejarah biginian aja tidak tau? Hehehe.
Saya sangat berhusnudzon sekali, bahwasanya Abah Anis pasti setuju dengan pendapat Wiranto yang mengatakan bahwa siapapun yang berjuang untuk Indonesia adalah Pribumi. Wiranto juga mencontohkan bahwasanya masyarakat Tionghoa sudah menyatu dengan Indonesia,”Mereka (masyarakat Tionghoa) juga memiliki peran dalam perjuangan kemerdekaan,” pungkas Wiranto.
Jadi mulai sekarang kita tidak usah khawatir dengan istilah Pribumi dengan Non-Pribumi. Karena sejatinya kita semua yang ikut berjuang dalam Kemerdekaan adalah Pribumi. Baik Tionghoa, Hindu, Budha, Nasrani, Islam dan Konsorsium Jin sekalipun, ketika mereka ikut berjuang untuk Indonesia, mereka adalah Pribumi.
Penulis : M. Davi Yusuf