LPMMISSI.COM – Ada perasaan kosong yang menguar dalam ruangan berukuran tiga kali enam meter atau ruang yang biasa kami sebut sebagai dapur redaksi ini. Perasaan itu muncul sedari pagi, ketika poster-poster selamat yang ditebarkan untuk mahasiswa-mahasiswi yang telah merampungkan studinya membanjiri kanal-kanal media sosial.
Dari naungan tempat ini pula, kami juga turut melepas tiga kawan kami. Setelah sedikit perayaan kecil selesai, manusia lainnya yang sudah bisa digojloki dengan kalimat “mahasiswa semester tua” kembali pada tatapan hampa. Sementara di hadapan kami tersisa jajan pasar sisa jamuan.
Sebagai siasat untuk menghibur diri, kuputuskan untuk mengambil beberapa buku yang tertata berdasarkan genre yang ada. Mulai dari sastra, self improvement, sejarah, dan jenis lain seperti regulasi, klipingan koran maupun majalah. Dari sekian banyak variasi tersebut, entah mengapa buku laporan tahunan rektorlah yang terpilih.
Sebenarnya ada sebuah kebanggaan tersendiri ketika melihat beragam pencapaian yang berhasil ditorehkan oleh mereka yang menjadi bagian dari kampus kami, universitas yang yang mendeklarasikan dirinya sebagai kampus kemanusiaan dan peradaban. Kampus yang selama tahun 2021 menyabet 94 medali pada tingkat nasional. Apalagi pada kuartal ketiga ini kampus hijau sukses melepas 1530 wisudawan yang 758 diantaranya lulus pada semester tujuh.
“Apakah tepat waktu itu penting?” celetukku pada yang lain.
“Ya penting juga, aku pun gak mau kalau sekadar menjadi donator tetap kayak gini,” respon salah satu dari kami yang baru saja mendapat orderan foto wisuda.
“Iya, aku kemarin sewaktu pulang ke rumah aja ditanya sama mamaku; berarti masih sisa satu semester lagi kan?” tutur yang lain menirukan gaya bicara ibunya.
Sementara kawan sisanya masih meneruskan pertanyaan sekaligus pernyataan intimidatif yang mereka dapatkan, diriku terlempar kepada kenyataan bahwa aku dan mereka semua yang berada dalam ruangan ini telah masuk pada abad ke-21.
Abad di mana diberlakukannya era perdagangan bebas seperti Asian Free Trade Area (AFTA), The Asia Pasific Economic Corpotation (APEC), North America Free Trade Area (NAFTA), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau sederhananya globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia.
Dalam hati, dengan tegas kukatakan, “Lulus tepat waktu adalah sebuah hal yang tidak begitu penting dan paling juga tidak akan jadi pitakoning kubur”. Tapi itu lain hal kalau sudah menyangkut mengenai perekonomian mahasiswa secara umum. Adapun demikian, bicara lulus tepat waktu adalah bicara mengenai karya persembahan kepada orang tua, disiplinitas dan efisiensi.
Pikirku, lulus cepat akan menjadi sebuah kehormatan tersendiri apabila memicu perbaikan dan pengembangan diri ke arah yang lebih jelas. Berkebalikan jika hanya untuk tujuan pragmatis semata, yang hanya akan menjadikan keringnya muara dan marwah keilmuan itu sendiri. Lepas dari semua hal tersebut, itu merupakan hak dan pilihan masing-masing.
Dengan melepas 1530 mahasiswa pada 23 Agustus 2022, kampus hijau secara resmi telah menyebar benih-benih dalam kehidupan yang nyata, seorang yang resmi masuk dalam zaman pasca mahasiswa dan membawa cap “Alumni UIN Walisongo”.
Berbekal sederet mata kuliah landasan kepribadian, mata kuliah keilmuan dan keterampilan, mata kuliah sikap, perilaku dan keahlian berkarya, hingga mata kuliah berkehidupan bermasyarakat, jebolan kampus hijau ini selanjutnya sedang dan akan berada dalam umbaran pasar bebas. Yang memiliki keterampilan dan keahlianlah yang akan dapat bersaing hingga menjadi seseorang yang dipertimbangkan. Modal nilai saja tidak akan cukup, sebuah efek pengalaman juga patut dimiliki.
Ketika Pak Rektor dengan kharisma yang humanisnya secara terang-terangan berani membanggakan prestasi 758 mahasiswanya yang lulus pada semester tujuh, pada saat yang sama juga nama UIN Walisongo sedang dipertahukan, apalagi selama kurang lebih empat semester penyelenggaraan pendidikan dijalankan secara online akibat merebaknya pandemi.
Memang hal itu tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab kampus peradaban dan kemanusiaan, akan tetapi modal “tracer study” yang dimiliki kampus ini seyogianya dapat menjadi neraca yang berguna untuk memberikan fokus kepada perbaikan berkelanjutan, alih-alih sekadar perbaikan ala kadarnya, UIN Walisongo masih mengemban moralitas yang terbilang besar, dengan memproklamirkan dirinya sebagai “Universitas Islam Riset Terdepan Berbasis Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan Peradaban pada Tahun 2038”.
Pernah seorang dosen di kampus ini berkata, bahwa suatu pekerjaan akan cenderung lebih cepat selesai jika pekerjaan itu diberikan kepada orang yang sibuk. Dari beliau, diri ini memahami apa yang dinamakan sebagai ilusi kecepatan. Kiranya secara psikologis dapat diejawantahkan makna “cepat selesai” itu menjadi dua kategori; kebosanan dan progresifitas.
Barangkali dorongan kuat yang tumbuh dalam diri para wisudawan tadi karena sebuah kebosanan akademik karena selama beberapa semester mengalami kegiatan yang monoton? Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mempercepat proses akademiknya. Walaupun tidak menutup kemungkinan, simpulan kedua yang terjadi.
Akan tetapi, jika yang disebut pertama tadi representasi dari mereka yang diwisuda tersebut, kampus riset ini perlu menyiapkan langkah strategis supaya sepuluh, lima belas, hingga beberapa tahun ke depan siapapun yang lulus dari UIN Walisongo ialah orang dengan standar keilmuan yang layak, terlebih relevan dan adaptif dengan zaman. Adapun ketika kita mencoba membanggakan almamater memang ia sudah pantas untuk dibanggakan.
Puasa Anggaran
Pada penghujung 2021, Pak Rektor yang senantiasa kita tunggu petuahnya tersebut menutup tahun kerja itu dengan sebuah afirmasi positif bahwa, “Segala prestasi, rekognisi, dan apresiasi adalah milik kita semua, civitas akademika UIN Walisongo Semarang”.
Bukan berupaya untuk menjadi kebarat-baratan dengan selalu berprasangka, akan tetapi apakah hal di atas yang beliau lontarkan juga dijadikan sebagai semangat kebersamaan apabila salah satu bagian terkecil kampus riset ini, berupa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) mengalami kesulitan masalah anggaran? Apakah miniatur negara ini juga mau memberi perhatian dan sengkuyung bareng? Apalagi kuasa ada secara penuh ditangan penyelenggaranya.
Dalam obituari intelektual Abdurrahman Mas’ud yang berjudul “Mendakwahkan Smilling Islam; Dialog Kemanusiaan Islam dan Barat” saya menemukan ibrah cerita sesepuh bangsa dengan frasa kalimat yang indah, bahwa hidup dengan keprihatinan adalah guru terbaik.
Memang telah kami lakukan apa yang telah disarankan oleh beliau, belaiu bapak wakil dekan, salah satu orang yang kami tuakan dalam ranah fakultas, bahkan di beberapa kegiatan kami pun sudah melakukan iuran secara mandiri demi menghidupi organisasi dan melanjutkan pengkaderan. Selama beberapa semester ini telah kami lakukan keprihatinan itu, akan tetapi tentu juga perlu kuasa dari pimpinan sebagai penyelenggara utama pendidikan dalam kampus.
Kata orang-orang, seorang pemimpin paling tidak harus memiliki integritas “Men or person of integrity”; sebagai seseorang dengan sifat dan sikap yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga dapat menjunjung tinggi prinsip-prinsip moral, kebenaran, kejujuran, dan ketulusan. Adapun yang kami pahami bersama ialah logika tanpa logistik sama dengan fana.
Bukan maksud untuk menuduh bahwa beliau tadi tidak amanah, akan tetapi juga dibutuhkan transparansi dari seorang pimpinan kepada teman-teman ormawa, apa yang sebenarnya terjadi. Sementara pimpinan dikonfirmasi pun tidak memberikan kejelasan daripada apa yang ditanyakan. Bukankah UKM merupakan anak kandung dari kampus itu sendiri? Sementara waktu dalam kelas amat terbatas. Kalau tidak lewat UKM apa yang bisa dijadikan sebagai medium pengembangan mahasiswa itu sendiri?
Seperti apa yang para dosen sampaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung bahwa ini adalah sebuah hak. Kami diajarkan hak sebagai sesuatu yang perlu diperjuangkan. Sementara hak ada karena ada kewajiban. Kewajiban berupa pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) pun kiranya tak pernah silap.
Tentu kebanyakan yang ada tidak akan terlalu mempermasalahkan, adapun menjadi donator tetap melebihi nota yang sudah terlampir, seperti yang Bapak Rektor banggakan; dapat lulus pada semester tujuh, tidak akan keberatan apabila melewati angka itu. Toh hal tersebut juga akan kembali kepada diri kami sebagai mahasiswa, lewat fasilitas, sarana prasarana hingga pelayanan akademik yang ada. Adapun kami (UKM) juga merupakan darah dagingmu.
Redaksi