Perguruan tinggi hanyalah tempat lahirnya seorang pecundang yang mungkin beruntung. Itu yang teringat dalam pikiran Ikhsan, ia selalu tak bisa melupakan kalimat itu setiap kali melewati jalan di kampus tiga UIN Walisongo.
Telah banyak yang berubah, tak ada lagi deretan mahasiswa dengan aktifitas diskusi kritis, kegiatan ekstra yang fokus pada masalah-masalah akademik dan negara akhir-akhir ini kian meredup, yang dibahas acap kali masalah hati.
Hanya material bangunan berlalu-lalang, asrama-asrama mahasiswa yang dulu berada di sisi kampus telah menjadi tempat semacam hotel mewah, mengurung mahasiswa menjadi pikun. Waktu terus berjalan mengubah gedung-gedung, tapi tidak mampu mengubah kenangan dan pikiran mahasiswa yang fokus pada bidang-bidang kontrol sosial di negeri ini.
Ikhsan tersenyum membaca lingkungan kampus dan jalan-jalan di kampus. Ia teringat yang dikatakan Mella seorang teman diskusi dua tahun lalu.
“Banyak orang yang ingin jadi pahlawan di kampus, membuat kegiatan banyak dan tidak biasa bahkan sok bisa, agar terkenal dan dikenang. Begitulah satu-satunya keberuntungan menjadi pahlawan di kampus setiap periodenya,” ucap Mella dengan sinisme dalam kata-katanya.
Itu pertemuan pertama kali Ikhsan dalam satu diskusi, yang membuatnya suka pada Mella. Ia selalu membuat ungkapan-ungkapan dan pernyataan yang bernada kelakar,
“Orang pembuat event pasti mati. Dan dia adalah orang biasa yang akan menjadi patung dalam hidupnya, sementara aku adalah petujuk berbintang lima. Bahkan tak hanya bintang lima semacam hotel, bintang tujuh. Lumayan, bisa buat obat sakit kepala,” jelas Ikhsan.
Saat ini banyak pejabat ingin berpangkat tinggi baik pejabat mahasiswa atau dosen, agar semacam hotel bintang lima yang berkelas, dan lawannya bintang lima, adalah bintang tujuh semacam merek puyer untuk obat sakit kepala.
Suatu ketika Ikhsan semakin memahami Mella, Ia tahu Mella adalah seorang penulis, mungkin itu sebabnya dia cenderung penyendiri dan banyak diam saat diskusi. Ikhsan kemudian menguraikan kalimat pendeknya tentang aktivis.
“Aku orang biasa bahkan kurang petujuk sebagai aktivis, tapi bagaimana dia yah, yang sok-sokan disana,” kata Ikhsan tertawa.
Dia tak suka tampil di depan layar, mungkin sadar, ia hanya mahasiswa aktivis biasa yang tak akan membuat kampus dan mahasiswa lain terpesona. Lalu ia berkata pada Mella, bahwa saat berproses untuk sebuah perjuangan, ada dua hal yang perlu diingat bagi mereka yang akan bergerak. Pertama memilih untuk menggerakkan. Kedua, memilih bertugas untuk memikirkan.
Tapi, ikhsan memilih yang opsi kedua, meskipun hanya sedikit dalam bergerak.
“ Jujur saja mimbar gerakan dan panggung kekuasaan itu adalah godaan. Saat ini banyak yang tampil hanya ingin mendapatkan acungan jempol dan tepuk tangan, padahal usai di panggung, mereka lupa apa yang disampaikan,” jelas Ikhsan pada Mella.
Sesekali Ikhsan teringat ketika mengantarkan Mella pulang, usai diskusi buku di Auditorium Fakultas Komunikasi dan Ilmu Sosial Politik, Mella yang menulis buku itu. Ikhsan mulai curiga dan yakin, saat itu Mella mengajaknya pulang karena dia ingin pamer dengan buku yang dia tulis.
Buku yang menurut Ikhsan terlalu filosofis dalam mengkaji persoalan: bagaimana seseorang harus dipaksa untuk menerima racun sebagai pengantar pembuka pikiran pembaca. Seolah penulis ingin menujukan bahwa dia adalah mahasiswa Fakultas Komunikasi dan Ilmu Sosial Politik yang merasa lebih hebat dari Rolland Barthes.
“Kajian yang kamu dalami itu membuktikan pandangan hidup yang pahit, maku kamu selalu sentimen,” kata Ikhsan mencoba menanggapi buku itu.
“Sentimen yang bagian mana?,” kata Mella dengan suara lembut.
“Ya, hampir semua hal kamu tanggapi dengan pikiran yang tajam, itu baik dan tidak salah, tetapi buku itu sedikit melihat nilai positif,” balas Ikhsan.
“Hmm, bukan begitu,” Mella menatap tajam wajah Ikhsan.
“Kamu harus bisa memisahkan antara kajian komunikasi filsafat dengan kajian orang biasa. Jika orang biasa menganggap itu sentimen atau berlebihan, bahkan bisa dianggap nyinyir. Tetapi bagi filosof nyiyir itu baik, bahkan di sebut kritis,” jelas Mella.
Keadaan forum diskusi kecil saat ia duduk berdua berubah, kini keadaan terbalik, dulu Ikhsan yang selalu aktif dalam memberikan argumentasi. Tetapi saat ini, setiap pertemuan, Mella yang banyak bicara tentang telaah kritis seperti kajian Rolland Barthes sebagai tokoh idolanya, yang mengkaji tentang interpretasi makan, seperti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.
Ikhsan diam, kepala sedikit merunduk melihat kecerdasan Mella yang lama tersembunyi dari dirinya. Tetapi Ikhsan tetap bersyukur melihat perkembangan Mella, setidaknya Ia bisa belajar atas diamnya seseorang dan Ia mersa banyak ilmu yang diperoleh dari keterbukaan Mella saat ini.
Setelah selesai diskusi panjang, Ikhsan merenungi dirinya, seraya berbicara dalam hati “Aku harus rajin membaca dan mencoba belajar menulis,” Ia kemudian mulai melakukannya, sesekali Ikhsan dan Mella bertemu dan belajar menulis bersama,
“Tulislah apa yang paling dekat pada pikiran dan hati kamu, maka kamu akan terbuka secara lepas,” kata Mella dengan senyum manisnya.
Hampir setiap satu minggu sekali dia bertemu. Melalui Mella, Ikhsan mulai terbuka gagasan pikiran dan semangat menulisnya. Jerih payah, ia lakukan sampai menemukan hasil, terbukti dari tulisan-tulisanya yang sering di muat oleh media-media baik lokal maupun nasional.
Lewat tangan dan cara berfikirnya membuat Ia juga semakin sadar dan terus menjaga etika kepada setiap lawan bicaranya diskusinya. Dari ruang diskusi kecil bersama sahabatnya itulah, Ikhsan kemudian mampu menggerakan pikiran mahasiswa lain untuk merenungi keadaan yang terjadi di kampus dan negeri ini.
Oleh: M.S Junior