Connect with us

Opini

Mendaki: Sebuah Penjagaan atau Pengacauan?

Published

on

Mendaki: Sebuah Penjagaan atau Pengacauan? (Doc: Freepik)

Semarang, LPMMISSI.com- Tren mendaki kini telah merambah hampir semua kalangan usia, dari anak-anak hingga lansia. Aktivitas mendaki/hiking atau yang di Jawa lebih dikenal dengan sebutan “muncak” merupakan olahraga fisik di luar ruangan/outdoor. Para pendaki akan naik ke atas lereng gunung, bukit, maupun pegunungan untuk mencapai puncak atau tempat tertentu.

Kegembiraan ketika seseorang mencapai puncak bukit atau gunung lantas memprovokasi orang lain untuk melakukan hal serupa. Bromo, salah satu destinasi favorit para pendaki, bisa dikunjungi oleh lebih dari seribu orang per-harinya. Tetapi di balik euforia yang berlangsung, muncul pertanyaan: apakah tren ini meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan atau justru sebaliknya?

Mendaki buat apa

Banyak orang menganggap mendaki dapat menghilangkan jenuh, penat dan stres. Di sisi lain, faktor eksternal seperti tersebarnya foto-foto indah di media sosial, menumbuhkan rasa FOMO (Fear of Missing Out), mendorong lebih banyak orang datang untuk merasakan sensasi sekaligus melihat pemandangan dengan mata kepala sendiri.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, orang-orang memutuskan mendaki untuk beragam alasan: seperti sarana healing, petualangan, olahraga, penelitian, kepentingan spiritual, atau bahkan hanya sekedar FOMO.

Ada juga alasan lain seperti yang disampaikan mahasiswa berinisial AZAP, yakni hanya sekedar ingin merasakan kepuasan mencapai puncak.
Baca juga: Buntut Penolakan Parade FISIP, Mahasiswa Tantang WD III Dialog Terbuka

“Muncak buat aku cuman pengen ngejar puncaknya aja sih kak, ya kalo sekarang itu istilahnya kayak FOMO ya, tapi tetep aku sesuain sama regulasi yang ada,” ujarnya.

Lain halnya dengan salah satu pendaki dengan inisial MA, Ia mengaku melakukan pendakian karena ingin menemukan ketenangan batin.

“Muncak atau mendaki kalo di aku lebih ke kayak pengen mencari ketenangan, sama nyari vibes yang beda aja gitu, apalagi kalo solo tracking-nya,” ujarnya.

Kesiapan untuk semua orang

Kawasan pendakian bukanlah kawasan untuk sekadar jalan-jalan; dibutuhkan kesiapan yang sangat komprehensif mulai dari awal perencanaan hingga evaluasi.

Barang kecil seperti plastik hitam berukuran besar alias trashbag, perlu disiasati oleh pedaki guna menampung sampah yang mungkin ditemukan selama pendakian. Sebab tidak semua gunung, bukit, ataupun pegunungan dilengkapi dengan fasilitas dan akses memadai layaknya wisata alam di dataran rendah.

Pecinta alam atau pengacau alam

Walaupun mengaku-ngaku “pecinta alam” sayangnya banyak pendaki yang masih mengabaikan hal kecil seperti membuang sampah sembarangan. MSH, seorang mahasiswa di Semarang, menuturkan rasa prihatin akan problematika tersebut.

“Kalo dari pengalaman pribadiku sih, ngerasa prihatin ya, apalagi aku masih bisa menemukan sampah berserakan pada saat aku tracking di beberapa gunung yang ada di jateng kaya contohnya (Gunung) Andong, Ungaran, sama Sumbing,” tuturnya.

Dilansir dari detik jateng, data menunjukkan beban sampah di gunung-gunung Indonesia cukup besar. Terbukti dengan ditemukannya sampah seberat 2,4 ton saat pembersihan di Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.

Sedangkan pada tahun 2024, tepatnya sekitar bulan April hingga Oktober, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) menemukan sampah sebanyak 31 ton.

Kesadaran lingkungan tanggung jawab siapa

Plakat “Leave No Trace” di sepanjang jalur pendakian, mestinya tidak hanya menjadi embel-embel dan atribut konten semata. Namun, menjadi bibit tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab lingkungan.

Tren mendaki seharusnya menjadi upaya untuk menjaga alam, bukan merusaknya. Dengan niat baik, persiapan matang, dan etika, jalur pendakian dapat menjadi saksi wujud kepedulian kita terhadap alam, sebagai penopang kehidupan manusia saat ini, hingga nanti.

Reporter: Salima Nurul Wakhidah
Editor: Aisha V.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *