Ilustrasi:lpmmissi/Lina
Belakangan ini, di tengah hangatnya pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Cipta Kerja menjadi Undang-undang, BEM Universitas Indonesia (UI) membuat konten sindiran kepada DPR RI yang dianggap sebagai Dewan Perampok Rakyat.
Gedung DPR RI dianalogikan sebagai sarang tikus kemudian muncul wajah Ketua DPR RI, Puan Maharani, berbadan tikus. Tak ketinggalan pula kalimat “Kami Tidak Butuh Dewan Perampok Rakyat”. Konten tersebut merupakan bentuk kritik terhadap realitas yang terjadi.
Konten yang diunggah di akun media sosial mereka menjadi viral dan mendapat sorotan publik. Hal tersebut membuat BEM dari berbagai universitas lain turut melakukan hal serupa, yaitu BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Brawijaya (UB), BEM KM Universitas Gadjah Mada (UGM), dan lain-lain. Melalui media sosial, aspirasi dan kritik yang disampaikan dapat menjangkau masyarakat luas.
Tak hanya berpengaruh pada perubahan bentuk penyampaian informasi, arus media sosial juga mempengaruhi perilaku dan opini khalayak. Mudahnya akses media sosial melalui ponsel pintar yang ada digenggaman, turut berperan dalam menciptakan perubahan perilaku khalayak, seperti berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus bertemu, orang lebih menyukai mencurahkan apa yang dirasakan melalui media sosial, dan mudah mengomentari sesuatu yang menarik. Termasuk memunculkan adanya pembaruan pola gerakan aksi mahasiswa melalui media sosial, seperti yang dilakukan BEM UI, BEM Fisip UB, BEM KM UGM, dan lain-lain.
Masifnya penggunaan media sosial oleh kalangan masyarakat Indonesia menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh para aktivis mahasiswa untuk mendapatkan perhatian publik dari konten kritikan yang dibuat.
Sejarah gerakan aksi mahasiswa, penggunaan media sosial masih menjadi hal yang baru. Media sosial dijadikan sebagai wadah yang dapat memfasilitasi para aktivis mahasiswa menyampaikan aspirasi dan kritik. Saat kritik digaungkan sampai pada khalayak, maka potensi mendapat atensi publik akan lebih besar.
Jika hal tersebut dibandingkan dengan aksi demonstrasi mahasiswa, sebuah isu dapat dirilis dan menyedot perhatian netizen hingga berhasil viral ketika penyampaian aspirasi juga digawangi pada media sosial. Suara netizen bisa saja mendukung apa yang dituntut atau membenarkan realita dari latar belakang isu tersebut. Oleh sebab itu, bisa saja sebuah isu yang viral akan direspon dengan cepat oleh pemerintah.
Sementara itu, aksi demonstrasi dengan turun ke jalan terkesan sudah kurang relevan dengan perkembangan dunia saat ini. Aksi yang dilakukan seolah tak mendapatkan hasil, tak jarang birokrasi pun tak peduli.
Demo yang dilakukan terkadang hanya berhenti pada tahap didengar oleh para pemangku kebijakan di meja audiensi tanpa ada tindak lanjut. Mungkin, hal tersebut dapat terjadi karena tekanan yang diciptakan tak cukup besar untuk menggoyahkan kursi kehormatan mereka.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri. Demonstrasi apapun wajahnya, baik secara lapangan maupun media sosial perlu merawat gerakannya secara sustainable. Perkawinan cara gerakan seperti yang telah disinggung di atas tak ubahnya menjadi satu alternatif untuk memperpanjang denyut nadi perjuangan.
Efektivitas kritikan yang disampaikan melalui media sosial juga dapat dilihat dari konten yang dibuat oleh TikToker asal Lampung, Bima Yudho Saputro. Mahasiswa asal Lampung yang saat ini tengah menempuh pendidikan di Australia itu mengunggah video berisi alasan mengapa Provinsi Lampung tak mengalami kemajuan.
Mulai dari infrastruktur yang terbatas, banyak jalan berlubang, sistem pendidikan, hingga tata kelola pemerintah yang lemah. Hal tersebut lantas viral dan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah Provinsi Lampung.
Bima sempat dilaporkan ke pihak kepolisian imbas dari kontennya yang viral. Namun, kini kritikan yang disampaikannya menciptakan dampak positif berupa perbaikan jalan yang cukup gencar dilakukan oleh pemerintah.
Berawal dari gejala tersebut, dapat diamati pada era digital saat ini media sosial cukup efektif digunakan publik untuk menyalurkan aspirasi dan kritikan kepada birokrasi. Hal ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh para aktivis mahasiswa untuk menyampaikan pendapat dan kritik. Nampaknya, hal ini turut membentuk pola baru dalam gerakan aksi mahasiswa, dari lapangan ke dunia virtual.
Pada sisi yang lain, ketika penyampaian kritik di media sosial masyarakat perlu untuk tetap memperhatikan norma dan hukum yang berlaku. Sebab, di Indonesia diterapkan Undang-undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dapat menjerat siapa saja yang melanggarnya. Misalnya ketika kita mengunggah sebuah konten di media sosial yang dianggap mencemarkan nama baik orang lain meskipun apa yang disampaikan ialah sebuah fakta. Bisa saja hal itu dilaporkan kepada pihak yang berwenang sehingga menjadi bumerang bagi kita.
Tanpa persiapan bekal dan massa yang secara serentak masif menyuarakan masalah bersama secara konsisten, tak ada yang dapat diharapkan dari gerakan tersebut. Sebab, medan perjuangan adalah jalan yang memerlukan napas panjang.
Penulis: Indah Wulan Sari
Editor: Febita Gita Reziana