Salah satu massa aksi yang ikut menyuarakan demonstrasi (foto:lpmmissi.com:Irma)
SEMARANG,LPMMISSI.COM-Dalam seruan aksi “Indonesia Gawat Demokrasi”, para mahasiswa dan masyarakat sipil meramaikan Gedung Gubernur Jawa Tengah, Kamis (22/8).
Ahmad (bukan nama sebenarnya), salah seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), berdiri tegak di perempatan Universitas Diponegoro (Undip) menuju ke arah kantor Gubernur Jawa Tengah setelah terjadinya kerusuhan aksi.
Ia sebagai bagian dari massa aksi, merasa terpanggil untuk ikut serta dalam demonstrasi ini karena kekecewaannya terhadap DPR yang menurutnya telah berubah menjadi alat kekuasaan dan oligarki.
Ia mengenakan topeng dengan hidung panjang yang menyerupai Pinokio, simbol kebohongan dan membawa spanduk bertuliskan “DPR: Badut Istana”.
Baca Juga: Berseliweran di Media Sosial, Warganet Bagikan Postingan “Peringatan Darurat”
“DPR seharusnya menjadi dewan perwakilan rakyat, tapi malah justru menjadi badut-badut oligarki negeri dan penguasa,” tegasnya.
Ahmad berharap masyarakat yang berlalu-lalang dapat menyadari apa yang ia yakini sebagai pengkhianatan terhadap demokrasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ia mengatakan bahwa alasannya turun ke jalan adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan parliamentary threshold sebesar 7,5%, yang ia nilai membuka peluang lebih besar bagi demokrasi.
“Saya rasa keputusan MK ini akan membuka peluang demokrasi lebih besar. Pilkada ke depan bisa memberikan kesempatan lebih banyak bagi warga negara yang ingin mencalonkan diri karena pintu itu terbuka lebar,” tambahnya.
Namun, kekhawatiran Ahmad semakin memuncak ketika DPR RI mengadakan sidang untuk mengubah putusan MK tersebut.
Baca juga: Penelitian Pemberdayaan Masyarakat, Hantarkan Darmawanti Menjadi Wisudawan Terbaik FDK
Sidang penentuan yang akan berlangsung hari ini menjadi alasan kuat bagi Ahmad untuk turun aksi.
“Saya sebagai individu mahasiswa turun aksi untuk menyuarakan tentang RUU Pilkada yang akan mencederai putusan MK yang sudah final,” ungkapnya.
Ia berharap bahwa aksi yang dilakukan ini dapat menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga demokrasi yang sehat, di mana setiap orang memiliki hak untuk dipilih dan memilih secara bebas.
“Harapan saya ke depannya, sistem negara kita adalah demokrasi di mana setiap orang memiliki kebebasan masing-masing,” tutup Ahmad.
Sementara itu, Bima (bukan nama sebenarnya) narasumber lain yang turut serta dalam aksi tersebut, menyebutkan bahwa banyak asumsi dari masyarakat yang muncul terkait potensi pelanggaran demokrasi di Pilkada mendatang.
“Itu kan asumsi orang-orang, tapi wajar saja karena berkaca pada kejadian di Pilpres kemarin dan khawatir akan terulang di Pilkada,” ungkapnya.
Ia menginformasikan bahwa aksi ini kemungkinan akan dilanjutkan, meskipun DPR telah membatalkan revisi UU Pilkada.
“Malam tadi ada kesepakatan untuk melanjutkan aksi, tapi melihat informasi hari ini kan DPR sudah membatalkan revisi UU Pilkada. Jadi, mungkin aksi lanjutan akan diserahkan kepada lembaga masing-masing dengan tuntutan yang berbeda-beda. Turunkan Jokowi mungkin sebelum Oktober,” Pungkas Bima.
Reporter: Irma Ardiana
Editor: Diah Ayu Fadhilah