Foto: Lpmmissi.com/ Okezonenew.com |
Semua orang tua pasti menginginkan anaknya memiliki prestasi yang cemerlang di dunia pendidikan. Sayangnya, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka telah menjadikan anak-anaknya seperti robot yang diadu dalam ajang kompetisi.
Seperti yang kita alami selama ini. Sejak masih di sekolah dasar hingga perguruan tinggi kita merasakan langsung pendidikan memang sebagai ajang kompetisi. Seseorang yang memiliki prestasi akademik akan dianggap sebagai orang yang cerdas, sedangkan orang yang tidak memiliki prestasi akan dipandang sebelah mata.
Padahal tujuan pendidikan sebagaimana telah diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah untuk memanusiakan manusia. Peserta didik dalam belajar bukan hanya diciptakan untuk menjadi robot yang patuh pada perintah saja.
Ada kekeliruan pada orang tua zaman sekarang, mereka masih terpaku dengan pola memberikan imbalan dan hukuman kepada anaknya. Sudah menjadi lumrah, ketika seorang anak berprestasi, maka akan diberikan imbalan berupa hadiah. Sebaliknya, ketika anak tersebut tidak berprestasi mereka akan dimarahi. Orang tua menganggap, indikator keberhasilan dalam pendidikan anaknya dilihat pada bidang akademik saja.
Baca juga: Tidak Ada Pohon, Tidak Ada Buku
Mungkin masih banyak anak yang dituntut oleh orang tuanya dalam memilih jurusan. Misalnya orang tuanya dokter, maka mau tidak mau anaknya harus menjadi dokter juga. Tanpa disadari, tekanan dan ambisi dari orang tua bisa membuat seorang anak menjadi stres bahkan sampai meninggal dunia.
Fenomena diatas tentu sudah melenceng dari marwah pendidikan itu sendiri. Seorang tokoh pemimpin dunia, Martin Luther King Jr, pernah mengatakan tujuan pendidikan adalah kecerdasan dan pembentukan karakter. Tetapi, kenyataannya sekolah kerap hanyalah medium yang mewujudkan ambisi orang tua dan guru.
Ada satu kisah dari sekian banyak kisah, yang dilatarbelakangi oleh ambisi orang tua. Salah satunya menimpa pada Jofi seorang pelajar saat tamat dari SMA di kota Salatiga ini berkeinginan kuliah di jurusan bahasa. Akan tetapi orang tuanya tidak merestui. Ia dipaksa oleh ibunya yang seorang dokter untuk kuliah di fakultas kedokteran.
Akhirnya ia pasrah dan menerima untuk menjalankannya. Semula semuanya berjalan sebagai mestinya. Jofi dapat diterima di fakultas kedokteran hingga ia berhasil lulus. Tapi yang menjadi pertanyaanya, apakah Jofi bahagia?
Baca juga: Kemunduran Adab Kartini Zaman Now
Jelas tidak, berbagai tekanan yang ia terima saat kuliah telah memunculkan pertumbuhan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Bahkan diakhir kelulusannya, kanker tersebut sudah memasuki stadium empat. Merasa telah mengabulkan permintaan orang tuanya, ia meminta kepada ibunya untuk hidup sesuai pilihannya tanpa dituntut apapun sampai maut menjemput.
Peristiwa tersebut mengingatkan kita kepada pernyataan ahli pendidikan kritis Paulo Freire (1973) bahwa pendidikan hanyalah “budaya diam”, pendidikan melahirkan pola pikir yang dikekang oleh struktur-struktur yang ada dan siswa hanya menuruti apa-apa yang menjadi labirin kurikulum sekarang.
Tekanan terhadap siswa atau pelajar tak hanya berasal dari orang tua saja, tetapi juga dari sekolah hingga perguruan tinggi. Siswa dituntut untuk menguasai semua mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan kurikulum.
Tapi apakah sekolah sudah menjadi tempat yang menyenangkan bagi peserta didik? Sepertinya potret sekolah di negeri kita masih jauh dari kata “menyenangkan”. Para siswa berangkat sekolah dari pagi hingga petang. Mereka dituntut patuh dan mendengarkan gurunya selama menjelaskan pelajaran. Sistem klasikal didesain sedemikian rupa sehingga mereka sangat tertekan. Kertertekanan ini semakin diperparah dengan kewajiban mengerjakan PR (pekerjaan rumah) di rumah mereka masing-masing.
Baca juga: Rawat Bumi, di Tengah Pandemi
Sebenarnya model pendidikan seperti itu sudah termasuk ke dalam dehumanisasi, sebuah proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Akibatnya peserta didik tidak tumbuh dalam kemanusiaan secara subjek. Mereka justru menjadi korban dalam sebuah sistem yang memaksa mereka harus patuh untuk mengikuti aturan itu.
Alih-alih pendidikan itu suatu pembentukan karakter yang mesti mereka peroleh, namun yang terjadi sebaliknya. Para peserta didik cenderung stres, bahkan psikologi mereka pun tertekan dengan sistem tersebut.
Pendidikan bukan untuk tempat berekspresi. Tetapi tempat adanya tekanan dan tuntutan yang terus menghantui peserta didik. Seperti inikah potret pendidikan kita?, Sampai kapan kita tidak bisa merasakan kebebasan dan kebahagiaan di dalam dunia pendidikan?
Mari berandai-andai seperti apa model pendidikan merdeka belajar yang sedang digaungkan oleh Nadiem Makarim. Apa seperti di Finlandia yang memiliki sistem jam istirahat yang panjang, peserta didik lebih banyak bermain diluar daripada di kelas. Atau seperti di Selandia Baru, sistem pendidikan mereka tidak mengutamakan membaca dan menghafal, melainkan praktik agar peserta didik menjadi lebih kreatif dan inovatif.
Baca juga: Membangun Metode Pembelajaran di Tengah Pandemil
Sistem merdeka belajar adalah sebuah harapan untuk mengubah sistem pendidikan kita yang cenderung monoton. Jam pembelajaran yang panjang serta banyaknya tugas yang diberikan hanya menjadi cambuk bagi peserta didik itu sendiri.
Memang tidaklah mudah untuk merubah sistem pendidikan di Indonesia. Tentu membutuhkan waktu yang lama dan strategi yang tepat. Pada intinya, kita harus bersama-sama mengembalikan ruh pendidikan sebagai tempat untuk memanusiakan manusia, bukan sebagai robot yang tak mempunyai hati dan perasaan.
Oleh: Fitroh Nurikhsan