Buy now

31 C
Semarang
Selasa, November 26, 2024
spot_img

Kuasa Politik Feodal di Kampus Kita

Opini%2BIca

Sayanganya saya bukanlah Adolf Hitler yang bisa menghancurkan orang-orang Yahudi dan menyisakan segelintir mereka untuk hidup, agar seluruh dunia tahu kekejamannya pada saat itu. Andai saja saya memiliki kekuatan dan keberanian semacam itu, saya ingin menghancurkan bangsa ini karena negeri ini sudah tidak pantas di jadikan repubilk melainkan feodal dalam sistem pemerintah dan organisasi politiknya.

Namun jika negeri kita seperti kerajaan atau keraton, saya akan tetap biarkan feodal itu ada. Karena, kelompok feodal secara umum seperti, contoh,  sistem pemerintahan Portugal, Inggris dan Indonesia sebelum merdeka polanya masih seperti membawa sisa-sisa politik orde baru yang kini mulai terasa di kalangan masyarakat.

Dinasti politik di Indonesia yang sengaja di bangun oleh elit politik semakin menguat. Tidakkah miris negeri ini, setiap menjelang pergantian pemimpin ataupun dalam pemerintahannya, kepemimpinan negeri kita seperti harta warisan yang di perolah dari mereka sebagai keluarga sendiri.

Baca juga: Mencela Manusia Sama Saja Menghina Penciptanya

Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan, jika yang mendapat warisan itu memiliki kualitas, persoalan yang terjadi saat ini seperti di kampus-kampus besar di Indonesia. Misalnya, UIN Walisongo, banyak yang tidak merelakan jika kepemimpinan diserahakan kepada kelompok lain yang bukan satu ideologi dan kelompoknya. Hal inilah yang sangat menyesatkan, karena, memilih pemimpin saat ini haruslah lebih selektif dan kualitas tinggi.

Sayangnya praktik politik kampus saat ini sudah di susupi oleh golongan-golongan tertentu. Pemilu Kampus sebagai ruang pendidikan demokrasi secara langsung bukan lagi seperti cita-cita mahasiswa, yakni, sebagai kampus rakyat yang akhirnya jauh dari kata Republik, melainkan monarki.

Setiap satu tahun sekali, kita sama-sama menyaksikan praktik feodal itu di bisarkan terjadi. Mahasiswa yang akan mencalonkan dirinya sebagai ketua Sema, Dema, HMJ dan UKM, jika tidak mengikuti golongan tertentu tidak akan mempunyai ruang untuk tampil dan terpilih, meskipun tidak secara menyeluruh.

Kuasa politik feodal di kampus kita, terasa tidak hanya di tingkat mahasiswa, di jajaran Dekanat dan Rektorat pun misalnya, polanya hampir sama seperti di tingkat mahasiswa. Di dalam kuasa politik pemerintahannya ada semacam pembagian kursi kepemimpinan. Itulah yang di maksud warisan kekuasaan yang di anggap penulis sebagai tindakan feodal.

Baca juga: Pro Kontra Permenristekdikti No 55 Tahun 2018

Amat disayangkan memang, idealnya perguruan tinggi sebagai penelur produk pemimpin bisa meberikan solusi, bukan menjadi pabrik feodal. karena, pemimpin-pemimpin yang terlahir dari kampus jika sejak dini sudah mempelajari kuasa politik feodal di lapangan, tentunya generasi bangsa akan semakin jauh dari kata baik sesuai dasar republik ini.

Jadi, seorang pemimpin dalam partai politik di pemerintahan negara maupun kampus seharunya bisa sinergi dengan masyarakat (Warga Kampus), tidak mengedepankan egonya. Jika ada kesalah dan di kritik  saran tentunya harus bisa menerimanya. Namun apa daya kuasa kita, kenyataannya, mahasiswa dan pejabat kampus menerapkan diri sebagai pejabat kampus bukan karena ingin menjadi wakil mahasiswa, melainkan dirinya dan golonganya, dengan selimut tujuan lain, yaitu ingin menguasai kampus.

Sejatinya di perguruan tinggi pasti muncul kelompok atau orang-orang feodal, namun banyak indikasinya yang menyertai mereka. Bagi mereka yang menjadi sosok kuasa di kalangan mahasiswa, juga bisa di katakan feodal seperti raja-raja di setiap tanahnya.

Untuk meperjelas hal itu, mereka senantiasalah yang akan menentukan siapa yang jadi Priyai. Andai saja tidak menurutnya mereka akan mendapatkan hukuman seperti diasingkan, mereka harus ikut apa kata snipernya dalam ranah kekuasan misalnya. Disinilah kemunduran karena tidak mebuka secara intelektual melainkan menghadirkan semacam feodalisme mahasiswa.

Baca juga: PKI Punya Cerita, Begitu Pula Soekarno

Di Islam sendiri sebenarnya sistem kultur sosial politik feodal harus ditinggalkan hingga komunitas warga yang paling kecil. Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, Rasulullah Saw menyampaikan “tidak pula non-Arab atas orang Arab, serta tidak pula orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah. Yang membedakan adalah taqwanya” (HR. Ahmad).

Di sinilah bahwanya rasulullah yang sekalipun tidak boleh melakukan feodalisme terhadap umatnya dan Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya SAW, “Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Q.S. Al Ghasyiyah: 21-22).

Oleh: Khoirun Nisa

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini